Kondisi Sulit Alasan Utama Keluar dari Rasa Sakit

Dian Kurniasih


Lebih dari empat bulan pandemi Covid-19 memaksa kita bekerja dan melakukan aktivitas di rumah. Virus mematikan itu sudah banyak merenggut nyawa manusia tanpa memandang usia dan jabatan. Hingga tulisan ini dibuat, telah tercatat sebanyak 10.662.536 jiwa terkonfirmasi dan 516.209 jiwa meninggal di 216 negara. Sementara itu, data di Indonesia menunjukkan sebanyak 60.695 jiwa terkonfirmasi positif, 27.568 jiwa dinyatakan sembuh, dan 3.036 jiwa meninggal dunia (WHO, 2020).

Penularan virus mematikan ini terjadi melalui percikan (droplet) yang keluar dari hidung atau mulut orang yang positif terinfeksi Covid-19 (Damhuri, 2020). Droplet menempel pada benda dan benda tersebut disentuh oleh orang sehat yang kemudian dia menyentuh bagian mulut, mata, atau hidung tanpa mencuci tangan.

Masyarakat biasa bahkan tenaga medis yang terpapar virus harus melewati masa karantina dan pengobatan selama beberapa hari sampai dapat dipastikan sembuh. Sebab itu, sebagai upaya memutus rantai penyebaran Covid-19, pemerintah menerapkan physical distancing dan work from home (WFH) sehingga waktu bersama keluarga menjadi lebih banyak dibandingkan sebelum pandemi terjadi.

Anak-anak yang biasanya banyak menghabiskan waktu di sekolah dengan sistem belajar tatap muka, kini harus belajar secara daring (dalam jaringan). Padahal, tidak semua area tempat tinggal siswa “mudah” mengakses jaringan internet.

Sistem belajar baru ini mendadak membuat orang tua juga harus berbagi peran antara menyelesaikan kewajiban kantor/pekerjaan harian dan menjadi guru yang mendampingi belajar anak selama di rumah. Tidak sedikit orang tua mengeluh kewalahan untuk mengatasi peran ganda dadakan itu.

Penulis sempat melakukan survey kepada beberapa siswa di Jogja, bahwa ternyata sebagian guru lebih banyak memberi tugas tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan anak kesulitan menyelesaikan tugas sekolah. Akhirnya, anak memilih jalan pintas yaitu mencari jawaban di Google tanpa perlu untuk memahami materi secara lebih mendalam.

“Guru cuma kasih tugas aja, Kak. Jadi, biasanya aku cari jawabannya di Google kalau nggak di YouTube”, terang Lintang, salah satu siswi SMP 3 Kalasan kelas VII saat ditanya tentang pengalaman belajar selama pandemi beberapa waktu lalu via whatsapp.   

Peran keluarga, khususnya orang tua dalam kegiatan belajar selama di rumah belum begitu signifikan. Apalagi bagi orang tua dengan profesi pedagang atau buruh kerja srabutan yang biasanya mengandalkan guru sebagai pusat pendidikan bagi anak mereka.

Orang tua Isaki mengaku kesulitan menerangkan materi Matematika kepada anaknya yang saat ini masih duduk di kelas 5 SD. “Kak, bisa ajarkan anak saya matematika? Saya sangat kesulitan untuk menjelaskan materi ke Isaki”, sebagaimana disampaikan Ibu Isaki melalui sambungan telefon bulan Maret lalu.

Belajar daring bagi siswa dari keluarga dengan kondisi ekonomi pas-pasan dirasa memberatkan. Sebab, masalah lain muncul di tengah pandemi ini yaitu semakin meningkatnya kebutuhan pengeluaran (kuota) keluarga. Sehingga tidak mengherankan jika sebagian keluarga lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan dasar harian, makan, dari pada membeli kuota internet belajar anak mereka.

Keluarga dan Masalah Baru di Tengah Pandemi

Ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan di tengah kondisi pandemi Covid-19 dapat “semakin” memicu konflik internal keluarga. Padahal konflik di dalam keluarga merupakan hal yang biasa terjadi, bahkan hampir tidak ada keluarga yang bebas dari konflik. Tidak ada keluarga terdampak Covid-19 yang tidak menemukan kesulitan yang menyakitkan, bukan? Akan tetapi, akan menjadi berbeda ketika dilihat dari bagaimana pola pikir memengaruhi tindakan dalam menghadapi kesulitan tersebut.

Matthews dalam bukunya yang berjudul Bahagia di Masa Sulit menuliskan, hidup tidak selalu harus menyakitkan–tetapi rasa sakit masih menjadi alasan utama agar kita berubah (Matthews, 2014, p. 12). Apa yang disampaikan oleh Matthews ada benarnya, bahwa dengan adanya kesulitan maka pikiran untuk keluar menuju kebahagiaan akan muncul. Sayangnya, terkadang dalam realita kehidupan ini, anggota keluarga masih terlalu mengedepankan ego atau gengsi masing-masing untuk saling mawas diri.

Seorang ibu bisa jadi menjadi lebih vokal untuk selalu mengingatkan ayah dan anak-anak agar lebih hygenis dengan rajin mencuci tangan menggunakan air mengalir apabila selesai berkegiatan, ayah melarang anak-anak untuk pergi, terlebih tanpa menggunakan masker, jika memang bukan untuk keperluan mendesak, anak melarang orang tua berbelanja karena khawatir dengan usia mereka yang rentan terpapar virus Covid-19, dan masih banyak lagi contoh sederhana lainnya.

Semua peringatan berikut alasan di atas memiliki tujuan yang baik guna melindungi anggota keluarga, namun berpotensi menimbulkan konflik baru jika tidak dikomunikasikan dengan baik. Semua hanya ingin dimengerti, ingin dipahami tanpa adanya pembicaraan. Tentu sulit dan menyulitkan karena manusia tidak bisa membaca isi hati manusia yang lain, bukan?

Peribahasa jawa berbunyi Kesandung ing Rata Kebentus ing Tawang. Kesandung ing Rata artinya terbentur di tempat yang rata dan Kebentus ing Tawang berarti tersandung di langit, terbentur di awang-awang. Peribahasa tersebut bisa menjadi peringatan bagi kita, bahwa meskipun dalam situasi dan kondisi yang damai, tentram, bahagia, nyaman dan lainnya halangan bisa saja terjadi kapan saja.

Apalagi dengan kondisi sulit akibat pandemi saat ini, potensi munculnya konflik lebih tinggi dari hari biasa. Oleh karenanya, mawas diri sangat diperlukan bahwa pandemi tidak lepas dari ujian Tuhan.

Mawas diri dapat membantu kita berdamai dengan segala situasi dan kondisi yang sedang dialami. Berusaha mengambil pelajaran yang sedang diajarkan Tuhan melalui virus tak kasat mata. Sehingga harapannya dapat terbentuk hubungan yang lebih baik di masa mendatang secara bersama. Tidak ada lagi saling menyalahkan, saling menuntut, saling mengutuk, yang ada justru saling mendukung di kala susah dan berusaha bersama mencari solusi terbaik agar segera keluar dari masa sulit.

Sebagian dari kita mungkin sering menyalahkan komunikasi, padahal dalam kesehariannya manusia selalu berkomunikasi, baik dalam bentuk komunikasi verbal atau komunikasi non verbal. Jadi, apa salah dari komunikasi?

Komunikasi tidak salah, justru yang berpotensi salah ialah pelaku komunikasi (komunikator dan komunikan) akibat merasa sudah paling benar dalam mengambil keputusan. Padahal, komunikasi juga memiliki seni tersendiri, yaitu pentingnya memerhatikan konteks waktu, situasi, dan kondisi ketika menyampaikan sebuah pesan agar mispersepsi dapat diminimalisir.

Bila suatu keluarga mau belajar dari salah satu film keluarga Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) yang diperankan oleh Rio Dewanto, Sheila Dara, Rachel Amanda, maka kita akan menemukan bahwa ternyata dalam menjalani kehidupan ini keluarga memiliki rahasia yang memiliki tujuan baik, yaitu untuk merawat keutuhan keluarga.

Namun, rahasia dalam keluarga hanya akan menjadi boomerang jika mispersepsi terjadi di dalam anggota keluarga itu. Satu-satunya cara untuk meminimalir hal-hal yang tidak diinginkan terjadi yaitu menjaga komunikasi. Bagaimana pun juga, keluarga adalah organisasi terkecil yang ada dalam tatanan kehidupan. Bukankah menjadi nyaman ketika menjadikan keluarga sebagai tempat berbagi dan rumah tempat kembali?

Mawas Diri dan Belajar Terbuka dengan Keluarga

Ibarat sebuah organisasi atau perusahaan, malam keakraban, outing, evaluasi kerja dan istilah lain yang sejenis dilakukan guna menjaga hubungan internal anggota organisasi. Aktivitas tersebut memiliki tujuan agar di masa mendatang dapat lebih tangguh menghadapi segala ujian dari Tuhan, baik yang terduga maupun tidak terduga. Tentu ada perbedaan di antara dua permisalan ini, jika kita merasa sudah tidak cocok berkontribusi di dalam sebuah organisasi, maka kita dapat mengajukan pengunduran diri. Sementara di keluarga tidak ada kesempatan itu.

Kita dapat mengadopsi beberapa pendekatan sebuah organisasi itu untuk mengevaluasi keluarga. Atau dengan cara lain, seperti; penulis meminjam bahasa psikologi, cara sederhana yang bisa dilakukan adalah berdialog untuk memahami kebutuhan inner child kita. Inner child merupakan bagian dari diri seseorang berupa hasil dari pengalaman masa kecil, salah satu bagian dari alam bawah sadar manusia.

Dialog ini sebagai cara untuk mencari tahu lebih mendalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan kejadian masa kecil, baik kebutuhan itu sudah terpenuhi atau belum terpenuhi yang akan memberikan dampak pada keadaan positif atau negatif bagi orang dewasa di masa mendatang.

Terkadang kita merasa perlu untuk mengungkapkan sesuatu pada orang lain, namun penulis merasa melakukan dialog untuk memahami kebutuhan inner child jauh lebih penting dilakukan sebelum berdialog dengan orang lain. Ketika kita sudah cukup menerima kelebihan dan kekurangan diri, keluarga, serta kondisi sulit di masa pandemi, maka pada situasi tertentu dapat menciptakan keterbukaan diri dan keluarga. Kita dapat menggunakan waktu, situasi, dan kondisi paling memungkinkan untuk saling berdialog dengan mereka.

Karena sejatinya semua manusia bercita-cita memiliki keluarga yang utuh, hidup bahagia di dunia hingga maut memisahkan, bahkan selalu melangitkan doa agar dapat disatukan di surga-Nya nanti. Oleh sebab itu, apapun situasi dan kondisi yang sedang dialami, mari sama-sama berusaha terbuka agar dapat segera keluar dari rasa sakit akibat pandemi.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment