Kita Semua adalah Hanoman dalam Kehidupan Politik Indonesia

Nur Fahmi Nur
Penulis Pucukmera.id


PUCUKMERA.ID – Pilih satu dapat dua apakah sama dengan kalimat diskon “Beli satu dapat satu?”

Begitulah kondisi perpolitikan hari ini. Saya sengaja menulis ini jauh setelah Pak Sandi resmi bergabung ke dalam squad istana. Pak Sandi yang menjadi lawan Pak Ma’ruf Amin dalam suatu debat akbar untuk berebut kursi, sekarang berbagi kursi dalam istana.

Sebelum Pak Sandi, Pak Prabowo sudah lebih dulu memasuki istana. Tentunya banyak sekali pendukung yang kecewa dengan tindakan Prabowo yang ikut bergabung ke dalam koalisi Indonesia maju. Alih-alih berharap Prabowo menjadi oposisi yang rajin mengkritik Pak Jokowi, malah ikut menjadi barisan istana. Tidak salah juga. Toh, politik isinya bukan benar salah, melainkan menang-kalah. Politik tidak lebih dari sekadar sengketa kepentingan.

Saya jadi ingat novel Hanoman karya Pitoyo Amrih. Dalam novel itu, Pitoyo Amrih bercerita tentang kisah hidup seorang Hanoman yang berkelana mencari arti kehidupan. Hingga di suatu titik, Hanoman bersama temannya, Anila, bergabung dalam pasukan yang akan menyerbu Alengka, tempat sang raja yang kuat nan perkasa.

Sang raja yang digdaya dan sakti mandraguna itu, Rahwana namanya. Hanoman bersama pasukannya yang dipimpin oleh Sri Rama menyusun strategi. Dari bagaimana caranya mereka melewati lautan yang dijaga oleh si bajak laut Baruna, hingga bagaimana penyerangan di Alengka nantinya. Hanoman yakin dan percaya bahwa apa yang dia lakukan adalah untuk membela kebenaran. “Rahwana telah menculik istri Sri Rama. Rahwana adalah raja yang semena-mena. Rahwana harus dijatuhkan.” begitulah pikir hanoman kala itu.

Pasukan Hanoman pun bertambah dengan berkhianatnya adik Rahwana, Wibisana. Semua informasi tentang Alengka diberikan kepada Sri Rama dan Hanoman beserta pasukan. Hanoman yang diminta untuk menyusup ke dalam Alengka, berhasil menembus dan bertemu Putri Sinta. Ketika akan diajak untuk pulang, Sinta menolak, dan menginginkan Sri Rama sendirilah yang datang menolongnya. Dan permintaan itu pun di-iya-kan.

Pertarungan antara pasukan Sri Rama dan pasukan Alengka pun terjadi. Pertumpahan darah di mana-mana. Banyak sekali orang yang mati hanya untuk menolong seorang putri bernama Sinta. Hingga pertemuan Sri Rama dengan Rahwana, yang ternyata tidak berselera untuk bertarung. Walaupun pada akhirnya juga bertarung. Seperti sejarah dan dongeng yang sering kita dengar, bahwa Sri Rama-lah pemenangnya. Rahwana mati ditangan Sri Rama. Tapi masalah tidak selesai begitu saja.

Pertemuannya dengan Sinta menimbulkan masalah baru. Sri Rama merasa curiga dengan Sinta. Sri Rama berpikir bahwa Putri Sinta telah ternodai oleh Rahwana yang kotor. Sehingga pada akhirnya Sri Rama menolak Putri Sinta.

Tragis bukan, bertarung dengan mempertaruhkan banyak nyawa, yang salah satu tujuannya adalah menolong Putri Sinta, tapi ketika berhasil, Sri Rama tidak bersama kembali dengan Putri Sinta. Hingga di akhir cerita Hanoman berkesimpulan bahwa peperangan yang semula didasarkan semangat perjuangan untuk membela kebenaran, sebenarnya tidak lebih dari sekadar benturan kepentingan.

Lalu apa bedanya dengan kita ketika 2014 dan 2019 lalu? Kita gontok-gontokan. Kita berkelahi. Bahkan ada orang tua dan anak yang sampai ribut karena perbedaan pilihan. Julukan seperti cebong dan kampret pun muncul sebagai pengelompokan untuk mereka yang mendukung paslon secara getol. Tanpa ampun mereka membombardir media sosial. Semua hal dicocok-cocokkan, atau kalau dalam bahasa cerdasnya “Ilmu cocoklogi”. Dari isu soal Jokowi yang hadir dalam pidato akbar seorang toko besar Partai Komunis Indonesia, Hingga Pak Ma’ruf Amin yang hanya sebagai calon untuk merebut suara masyarakat salah satu ormas.

Padahal akhirnya hidup kita ini persis dengan cerita Hanoman. Orang-orang seperti Wibisana muncul dan berkhianat. Mereka yang dari koalisi Indonesia hebat pindah ke koalisi Indonesia maju, begitu pula sebaliknya, saling berbagi informasi dan berharap mendapat kursi. Kembali lagi saya ucapkan, bahwa politik adalah sengketa kepentingan.

Kita hanyalah Baruna yang menjaga lautan Alengka dari serangan musuh, kita hanyalah Rudraka, pemimpin pasukan yang mati di medan perang, dan kita hanyalah Hanoman, yang percaya bahwa apa yang dilakukan adalah untuk membela kebenaran, padahal tidak lebih dari sekadar konflik kepentingan. Yang membedakan cuma satu, ketika Prabowo dan Sandi bergabung ke dalam barisan Jokowi, sedangkan Rahwana tidak bergabung di dalam barisan Sri Rama, tapi mati dan menyisakan bangkai busuk yang dimakan serigala. Oh, malang sekali nasibmu Rahwana, harus mati dicabik gigi tajam para serigala.


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment