Kita Belum Merdeka Seratus Persen

Abie Dhimas Al Qoni Fatarrudin


Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Terdiri dari berbagai suku bangsa, ratusan bahasa serta kaya seni budaya. Semboyannya Bhinneka Tunggal Ika, mempunyai arti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semua merupakan materi pelajaran yang pernah saya dapat waktu menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) dulu.

Indonesia selalu dicitrakan sebagai negara yang memiliki berbagai keunggulan dan keunikan dalam berbagai hal. Namun, semua itu hanya citra yang dibuat menutupi berbagai kerusakan alam dan ketimpangan yang dialami masyarakat. Berdasarkan data dari Forest Watch Indonesia, luas hutan di Indonesia mengalami deforestasi sebesar 1,47 juta hektare pertahun pada periode 2013-2017. Angka ini menunjukkan adanya peningkatan dibanding periode 2009-2013 sebesar 1,1 juta hektare pertahun. Deforestasi yang terjadi secara terus menerus mengakibatkan turunnya kondisi kualitas dan kuantitas hutan.

Deforestasi menyebabkan keanekaragaman makhluk hidup yang tinggal di hutan terancam. Ekosistem tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, berakibat ketidakseimbangan alam. Makhluk hidup seperti hewan dan tumbuhan yang tidak bisa beradaptasi akan punah. Deforestasi juga mengakibatkan hilangnya wilayah masyarakat adat yang menempati hutan selama ratusan tahun. Wilayah adat merupakan tempat sakral untuk upacara adat sekaligus sumber kehidupan.

Tahun 2017 wilayah hutan adat yang dipetakan oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencapai 8,9 juta hektare. Data tersebut kemudian dihimpun melalui Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Wilayah adat tersebut terancam hilang karena tumpang tindihnya wilayah adat dengan izin konsesi.

Izin konsesi secara langsung akan menghilangkan ruang hidup masyarakat adat serta secara sengaja memiskinkan masyarakat adat. Berdasarkan data dari Forest Watch Indonesia, ditemukan sekitar 3,4 juta hektare atau 39 persen wilayah adat sudah dipetakan dan tumpang tindih dengan izin pemanfaatan hutan dan lahan.

Selain deforestasi hutan, usaha tambang menjadi ancaman serius kerusakan alam yang mengerikan. Tambang telah mengakibatkan terjadinya bencana banjir dan tanah longsor. Catatan Akhir Tahun 2019 dan Proyeksi 2020 diterbitkan oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), sepanjang tahun 2019 telah terjadi tujuh bencana besar di berbagai daerah disebabkan oleh usaha pertambangan.

Selain bencana besar, masuknya usaha tambang di Indonesai melahirkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan, masyarakat dengan masyarakat sendiri dan masyarakat dengan pemerintah. Konflik yang sengaja dibuat untuk memuluskan bisnis tambang dan melemahkan gerakan perlawanan rakyat.

Berdasarkan temuan JATAM dari tahun 2014-2019 terjadi 71 konflik untuk luas lahan 925.748 hektare. Konflik tersebar dibeberapa daerah, Kalimantan Timur 13 kasus, Sulawesi Tengah 9 kasus, dan Jawa Timur 8 kasus. Komoditas konflik terdiri dari emas 23 kasus, batu bara 23 kasus, pasir besi 11 kasus dan nikel 5 kasus. Pola yang sering dimainkan dalam konflik adalah penembakan oleh aparat negara sebanyak 12 kasus, bentrok fisik 15 kasus dan aksi blokir jalan tambang 9 kasus.

Cara lain untuk memperlemah gerakan perlawanan rakyat adalah menyerang dan mengkriminalisasi pejuang anti tambang. Dari tahun 2014-2019 terdapat 33 kasus. Tahun 2019 ada 10 kasus dengan rincian 4 kasus kriminalisasi, 2 kasus penyerangan menyebabkan kematian dan 4 kasus tindakan intimidasi preman.

Pembuatan regulasi perundang-undangan pro tambang digunakan untuk mempermudah investasi masuk. Revisi UU Minerba yang disahkan beberapa waktu lalu merupakan salah satu wujud regulasi pro tambang. Legislatif telah dibajak oleh oligarki politik untuk kepentingan mereka.

Omnibus law juga menjadi aturan untuk mempermudah investasi di segala bidang termasuk tambang. Omnibus law adalah regulasi yang merugikan dan menyengsarakan masyarakat ketika berhasil disahkan. Untuk menggagalkan omnibus law berbagai protes telah dilakukan oleh masyarakat. Meskipun mendapatkan banyak protes, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih tetap saja membahas di masa pandemi Covid-19.

Negara tidak hadir untuk memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat. Aturan dan kebijakan dibuat untuk menguntungkan sebagian kecil kelompok oligarki politik yang berkuasa. Masyarakat kecil dan minoritas terancam ruang hidupnya, sebab kebijakan yang berpihak pada oligarki politik.

Muncul sebuah pertanyaan, apakah kita sudah merdeka seratus persen? Jika melihat keadaan hari ini, masyarakat kecil belum bisa merasakan kemerdekaan. Merdeka hanya diartikan lepas dari penjajahan. Sejatinya kemerdekaan harus diperjuangkan tiap waktu.

Melawan segala bentuk penindasan dan berjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan. Melawan penggusuran, perampasan tanah, dan privatisasi air adalah bentuk perjuangan. Ketika masyarakat berdaulat atas ruang hidupnya sendiri, mengelolah secara kolektif dan tidak bergantung pada sistem kapitalisme neoliberal itulah kemerdekaan sesungguhnya.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

1 Comment

  • binance referral code
    Posted April 11, 2025 at 10:13 pm 0Likes

    Your point of view caught my eye and was very interesting. Thanks. I have a question for you.

Leave a comment