Chusnus Tsuroyya
Pucukmera.id

Selama dua hari ini, berita mengenai jumlah karyawan positif korona di pabrik rokok PT HM Sampoerna, Rungkut, Surabaya mendominasi timeline bacaan saya. Berawal dari meninggalnya dua karyawan pabrik rokok Sampoerna pada 24 April 2020 lalu yang dinyatakan positif korona. Sebelumnya, dua karyawan tersebut sempat berstatus pasien dalam pengawasan (PDP).

Penyebaran virus korona di pabrik rokok Sampoerna menjadi kian masif karena ketidakjujuran dua karyawan tersebut. Lantaran, mereka tetap memilih bekerja dan tidak melakukan isolasi diri meskipun berstatus PDP.

Hingga kini, per 4 Mei 2020, setelah dilakukan dua kali tes swab/polymerase chain reaction (PCR), terdapat 63 karyawan pabrik rokok tersebut yang positif korona dan terdapat 123 dari 506 karyawan dinyatakan reaktif tes cepat.

Ketika membaca berita-berita tersebut, saya tidak mempermasalahkan tentang bagaimana virus tersebut menyebar. Karena saya tahu betul, bahwa virus korona ini memang mudah menyebar dan dapat menginfeksi puluhan orang. Terlebih, virus ini telah menyebar di sebuah pabrik, yang jika diamati merupakan tempat kerumunan yang susah dihindari dan susah untuk diterapkan physical distancing.

Saya lebih menyoroti alasan kedua karyawan tersebut. Bagaimana jika alasan ketidakjujuran mereka adalah untuk bertahan?

Dalam situasi seperti ini, bukan hanya pelaku usaha yang dirugikan, tapi juga buruh/pekerja. Bagi pelaku usaha, mungkin, cara bertahan mereka adalah dengan bekerja dari rumah. Tapi tidak dengan buruh. Mereka tidak bisa bertahan hanya dengan bekerja dari rumah. Pundi-pundi yang mereka hasilkan ada di pabrik. Upah mereka tergantung pada sebatang rokok yang mereka linting. Jika mereka tidak bekerja, bagaimana mereka bisa melanjutkan hidup?

Pada akhirnya, mereka sendiri yang harus bertahan. Bertahan dari virus yang diidapnya dan bertahan dari rasa lapar.

Jika saja pemerintah lebih mengutamakan jaminan sosial yang memadai terhadap orang-orang rentan –seperti buruh, mereka pasti mengindahkan imbauan untuk swakarantina di rumah. Dan mereka tak perlu cemas memikirkan hari esok.

Namun, karena selama ini pemerintah nampaknya belum memberikan jaminan pasti, mereka mungkin berpikir, percuma saja di rumah jika tidak bisa memakan sesuap nasi, percuma saja di rumah jika ujung-ujungnya terpaksa dirumahkan karena PHK, percuma saja di rumah jika tanggungan hidup masih terasa berat dan percuma saja jika pada akhirnya mereka akan mendapatkan pemotongan atau penundaan gaji.

Hingga pada akhirnya, tetap bekerja dengan mengambil risiko sebagai penular virus, menjadi pilihan terakhir bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Dan jalan satu-satunya untuk bertahan di tengah keimpitan ini adalah ketidakjujuran.

Kondisi demikian seakan menjadi sentilan tersendiri bagi pembuatan kebijakan. Agar ke depannya lebih memihak pada mereka yang rentan. Karena kelompok pertama yang paling terpukul dan tidak bisa bertahan selama krisis maupun pandemi seperti ini ialah buruh/pekerja.

Sudah seharusnya pemerintah menyiapkan skema bantuan dan jaminan sosial agar dapat menjamin kesejahteraan buruh selama pandemi. Seperti konsep UBI (Universal Basic Income) dari WALHI yang disarikan oleh Irsyad Madjid misalnya. Irsyad menjelaskan, konsep ini bertujuan pada pemberian bantuan kepada masyarakat berdasarkan 3 prinsip: Unconditional, Universal dan berbentuk Cash.

Bantuan diberikan secara tunai (cash) disalurkan dalam jumlah tertentu pada setiap individu (universal) tidak peduli kaya atau miskin, dan disalurkan tanpa adanya syarat apapun (unconditional). Setidaknya, jika hal buruk menimpa kelas buruh/pekerja, konsep ini dapat membantu mereka untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasarnya.

Jika hal-hal ini sudah terjamin, tidak akan ada lagi ketidakjujuran serupa dan tidak akan ada lagi korban lain yang berguguran. Sehingga, semua kelompok masyarakat bisa sama-sama bertahan di tengah pandemi, tanpa harus merugikan kelompok-kelompok yang lain.

Ya, seperti kata MM Ridho, penulis Asumsi.co, “Kata bertahan terdengar sangat berbeda hari-hari ini. Bagi sebagian orang, maknanya mungkin ratusan kali lebih kuat dibandingkan sebelum kehadiran pandemi.” Lanjut kata dia, “Saya tak tahu, bahwa kata bertahan bisa terasa sesentimentil ini.”

Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id