PUCUKMERA – “Bagiku, kata-kata hiburan hanya sekedar membasuh kaki, memang menyegarkan, tapi tiada arti”.
Kata-kata Pramodya membuat tersadar dari sebuah bencana banjir informasi yang sedang berlangsung hingga saat ini. Waktu demi waktu, informasi tiada henti terus diproduksi memenuhi layar televisi hingga genggaman pintar terkini dengan berbagai variasi. Masyarakat dipertontonkan aktraksi jungkir balik pada layar televisi, peran televisi ditinggalkan untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Adanya kebebasan pers yang lahir setelah Orde Baru tumbang pada 1998 dan munculnya pasal 28 F UUD 1945, melalui amandemen kedua, yang berbunyi,” setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran yang tersedia”
Setelah tumbangnya rejim Suharto yang berkuasa selama 32 tahun, media khususnya televisi seperti menghirup nafas segar. Setelah sekian lama terkekang dan memiliki ruang gerak yang terbatas dikarenakan intervensi dari penguasa yang melalui departemen penerangan untuk membatasi hak penyiaran dan mengontrol media massa.
Pasca orde baru, kebebasan dan arus informasi seperti air deras yang mengalir dari setiap sisi. Media televisi bermunculan dengan ragam siaran, konten dan informasi yang tanpa batas. Menyasar ke berbagai elemen masyarakat baik di kota maupun di pelosok desa. Sisi baiknya kita bisa mendapatkan informasi dalam negeri maupun dari belahan dunia lain tanpa ada batasan dan campur tangan pemerintah.
Tapi sisi buruknya, informasi yang kita dapat tak selamanya informasi yang baik untuk kita konsumsi. Tak sedikit informasi yang menyesatkan, berpihak pada suatu golongan atau kelompok dan parahnya lagi informasi yang kita dapat kadang hanya berupa kebohongan belaka.
Kemunculan media sosial dan kencanggihan teknologi informasi memberi warna baru dunia media, praktik jurnalisme warga mulai menjamur, media cetak dan elektronik mulai ditinggalkan, dari cetak menuju elektronik hingga online.
Media online menjadi sebuah media massa yang mempunyai kecepatan akses paling tinggi, begitu pula dengan media sosial yang mampu meproduksi informasi dalam waktu sekejap, dalam hitungan detik suatu hal yang terjadi sudah dapat diakses dalam media sosial namun belum tentu dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Mendekati kontestasi politik 2019, media menjadi alat yang cukup efektif untuk menaikkan elektabilitas dan menggali lumbung suara. Berbagai cara untuk memblow-up paslon dilakukan. Mulai dari membuat buzzer, perang hashtag, dan masih banyak lagi cara yang dilakukannya.
Menengok kembali peran media televisi menjelang pilpres 2014. Surya Paloh adalah pemilik stasiun televisi yang paling masif menjadikan media miliknya sebagai sarana politik. Hal ini bisa diidentifikasi dari beberapa hal.
Pertama, Surya Paloh adalah pemilik stasiun televisi yang paling masif memberitakan dirinya sendiri. Metro TV menayangkan 15 judul berita dengan durasi 6297 detik mengenai Surya Paloh (dari durasi tersebut sebanyak 2745 detik memberi penonjolan padanya). Dari jumlah tersebut, 10 berita bernada positif dan lima lainnya netral.
Kedua, frekuensi pemberitan Partai Nasdem di Metro TV adalah yang kedua tertinggi setelah partai Golkar, yaitu 21 kali. Ketiga, pemberitaan mengenai partai lain cenderung bernada netral atau bahkan negatif. Hal tersebut bukan hanya dilakukan oleh Metro TV, begitu pula dengan TV One dan ANTV yang dimiliki Aburizal Bakrie, MNC TV, Global TV, dan RCTI yang dimiliki Harry Tanoe, praktik tersebut menunjukkan keikutsertaan media televisi menjadi sarana propaganda politik.
Praktik propaganda media hampir terus diulang menjelang agenda politik, mari kita simak bersama praktik media televisi menjelang kontestasi politik 2019. Perkembangan era digital memberi dampak yang signifikan, bukan lagi pemilik media elektronik yang terus memblow up koalisi dan diri mereka. Kehadiran media sosial membuat semua orang mempunyai akses untuk berpendapat pada akun media sosial mereka masing-masing. Namun kebebasan berbicara pada media sosial ini terkadang dipersalahgunakan.
Mulai dari politisi hingga akademisi men- tweet bebas pada akun mereka, pendapat yang dituliskan tekadang menjadi bumerang bagi mereka saat kegagalan berpendapat dilakukan. Semakin parah lagi ketika produksi pendapat terkait dukungan politik dan golongan diutarakan, perang media sosial dimulai, amunisi tagar disiapkan, trending topic jadi acuan.
Gelombang informasi yang begitu kuat, berhasil memporak-porandakan pandangan publik terkait fenomena politik yang terjadi. Penggiringan opini berhamburan dalam berbagai sudut media sosial. Seolah air sungai yang keruh, terus mengalir hingga hilir, bermuara kekeruhan. Bau tak sedap ditimbulkan, menghindar jadi pilihan.
Hanya orang yang mampu menahan bau dan punya kepentingan bisa bertahan. Relawan pembersih mulai dikerahkan berharap kejernihan. Berbagai alat didatangkan, namun siklus kembali berulang. Pencemaran dilakukan dari hulu, penjernihan tak kunjung bergerak dari muara kekeruhan.
Seperti itulah gambaran media menjelang kontestasi politik 2019. Menjadi salah satu pelaku pencemar media atau sebagai pasukan penjernih kekeruhan media adalah sebuah pilihan. Semua ini akan terus berlangsung, informasi yang sehat harus segera disebarkan. Menjadi bagian pengguna media sosial yang sadar dan cerdas harus dilakukan dan segera ditularkan. Bukan lagi soal viral, tapi kebenaran wajib ditegakkan. [Didin/Mufardisah]
Referensi :
1Arus Balik: Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal Abad 16
2Arief, Wisnu, Prasetya Utomo. 2015. Orde Media, Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru. INSISTPress & Remotivi.
3heychael, Dhon, Rafika Holy. 2014. INDEPENDENSI TELEVISI MENJELANG PEMILU 2014: Ketika Media Jadi Corong Kepentingan Politik Pemilik. Remotivi