Kenyataan Yang Kita Benci Perihal Cinta

Irsyad Madjid
Redaktur Pucukmera.id


PUCUKMERA.ID – Judul yang mendayu-dayu ini memang menggelikan. Tak terhitung berapa kali saya memikirkan ulang judul di atas. Sembari menulis, saya juga meyakinkan diri agar tak usah malu membuat esai dengan tema romansa. Sebab, ini adalah hal yang wajar. Punya niatan untuk menulis di bulan Februari itu jebakan. Februari adalah bulan yang penuh gairah cinta, bukan hanya karena kehadiran Valentine’s Day.

Februari, sering kali jadi puncak dari musim hujan pada negara beriklim tropis. Beberapa orang bilang, hujan punya daya magis tersendiri. Lihat saja, hanya dengan pemandangan rintik air hujan, lahirlah salah satu puisi tersohor, Hujan di Bulan Juni, idola para pencinta. Pun di beberapa negara beriklim empat musim. Februari punya kesempatan yang spesial–menjadi puncak dari musim dingin/salju. Maka sebentar lagi, hujan, salju dan momen 14 Februari akan membuat obrolan manusia akan dipenuhi kisah-kisah cinta yang indah.

Saya pun hendak memberi peringatan dini. Ada beberapa hal yang mungkin kita benci soal cinta. Saya mendapatkan ilham tentang ini pada suatu malam di hari ke tujuh bulan Februari. Saya yang terbangun selepas tidur habis isya, iseng memutar film “He’s Just Not That Into You” di akun Netflix yang saya peroleh dari promosi jualan di Twitter. Tertegun, saya menyadari bahwa bukan cuma dari Rachel Vennya kita belajar soal cinta.

Tidak ada “cinta pertama dan terakhir”

Sebelumnya, film ini berasal dari sebuah buku non-fiksi karangan Greg Behrendt dan Liz Tuccilo yang rilis pada tahun 2009 dan berisi kompilasi beberapa kisah sekaligus. Salah satu tokoh utama adalah gadis bernama Gigi. Gigi adalah gambaran anak muda jaman sekarang yang ceria, optimistis, dan begitu menggebu-gebu agar segera menemukan pasangan. Suatu hari, Gigi bertemu dengan seorang bernama Connor. Setelah pertemuan pertama tersebut, Gigi sangat berharap agar hubungan mereka bisa berlanjut.

Tapi sayang, Connor si pria, malah menganggap pertemuan dengan Gigi sebagai kencan biasa. Kesal tak juga dihubungi, Gigi berusaha amat keras. Dia berulang kali menghubungi Connor duluan, bahkan inisiatif mendatangi bar tempat Connor biasa menghabiskan waktu. Padahal, semua temannya menentang hal itu, sebab Gigi akan kelihatan sebagai wanita freak yang amat frustasi men-jomblo. Pemilik bar, Alex, secara tidak sengaja mengamati apa yang terjadi. Karena kasihan, Alex lalu menghampiri Gigi dan memberikan nasihat bagaimana seharusnya menghadapi pria.

Di lain pihak, Connor (yang gagal dengan Gigi) sebenarnya sangat berharap dengan wanita bernama Anna. Namun, Anna tak menganggap hubungan dengan Connor begitu serius. Tetapi, Conor justru mengira bahwa Anna menyukainya sebab hubungan mereka sangat “intim”. Ia pun berencana membelikan Anna sebuah rumah demi membuktikan keseriusannya dan berharap Anna terpikat.

Meskipun begitu usahanya tetap gagal. Anna lalu menceritakan soal ini pada sahabatnya bernama Mary. Mary adalah tipe perempuan yang sama dengan Gigi. Wanita karier yang punya kehidupan layak namun merasa kurang karena belum punya pasangan.

Dulu, saya selalu menganggap bahwa hubungan percintaan itu one shot journey. Kisah sekali jalan dan tidak butuh pencarian yang lama. Inspirasi ini saya peroleh setelah menemani kakak sepupu saya nonton film Titanic pada saat kelas 3 SD. Perjalanan cinta itu harus seperti Rose dan Jack. You find the one and keep it until you die. Namun, akhir dari kisah Gigi, Alex, Mary dan Connor membuktikan bahwa cinta itu berjalan diatas hukum kausalitas.

Gigi, akhirnya menemukan kekasihnya dalam diri Alex, bukan dengan Connor. Sedangkan Connor akhirnya menjalin hubungan dengan Mary, setelah ditolak oleh Anna. Maka, saya rasanya ingin meretas jalan pikiran orang-orang pada umumnya: cinta pertama dan terakhir yang ketemu dalam sekali jalan itu fantasi. Ibarat sedang tersesat pada jalan yang lurus, kita, nampaknya perlu punya pengalaman dengan orang yang salah agar tetap berada di jalur yang benar. Malah, justru dengan tidak ingin tersesat, kita mungkin tidak akan menemukan cinta sejati (?)

Pernikahan bukan puncak dari percintaan.

Selanjutnya, saya ingin menjejakkan kaki pada wilayah yang tidak popular;keseriusan cinta tidak harus diikat dengan pernikahan. Tapi, ini bukan berarti saya mendukung gaya pacaran seumur hidup dengan pasangan masing-masing. Sebab, saya tahu, ini tidak lazim dilakukan dalam budaya timur. Namun, sejatinya saya belajar dari kisah cinta Beth dan Neil.

Beth adalah rekan kerja Gigi di kantor. Berbeda dengan Gigi yang selalu gagal, Beth menjalin hubungan yang awet dan mesra selama tujuh tahun dengan kekasihnya, Neil. Namun, meskipun mereka bahagia, Beth merasa bahwa puncak dari hubungan adalah pernikahan. Sehingga, dia menuntut agar Neil meresmikan hubungan mereka dalam ikatan pernikahan.

Tetapi, Neil tak sepakat dengan hal ini. Menurutnya, hubungan mereka akan baik-baik saja walaupun tidak menikah. Dia berjanji akan tetap setia selayaknya suami tanpa harus menikah. Beth memaksa, menikah atau mengakhiri hubungan bahagia itu selamanya. Namun karena tidak bergeming, akhirnya Beth meninggalkan Neil. Suatu hari, ayah Beth tiba-tiba mengalami serangan jantung dan harus terbaring lemas di rumah Beth.

Di tengah kesibukan merawat ayahnya, saudari-saudari Beth hanya bisa meratap tanpa ikut membantu. Parahnya, suami mereka malah memilih sibuk menonton tv. Beth akhirnya frustasi karena harus mengurus segalanya. Ketika ia mulai tak tahan dengan kondisi yang ia hadapi, Neil muncul dan berinisiatif membantu Beth. Berbeda dengan “suami” para saudarinya, Neth bersedia membawa barang-barang belanjaan dan mencuci piring.

Pada momen ini, kita dipertontonkan sebuah adegan paradoks. Pernikahan ternyata tidak mesti membuat hubungan menjadi lebih bahagia. Sebab, kebahagiaan adalah soal menemukan orang yang tepat, bukan status yang tepat. Perihal ini, saya teringat oleh sebuah buku yang biasanya jadi idola para aktifis muda yang ingin berfilosofi soal cinta, The Art of Loving.  Erich Fromm yang seorang ahli psikoanalis menekankan “Kita harus menghormati. Hormat bukanlah rasa takut atau kagum. Hormat berarti peduli bahwa orang lain harus bertumbuh dan berkembang sebagai dirinya”

Hal yang sama juga terjadi pada kisah Janine dan Ben. Janine juga merupakan rekan kerja Beth di kantor. Ia telah menikah dengan pacarnya sejak di kampus, Ben. Suatu hari, Ben bertemu dengan seorang wanita cantik ketika berbelanja di supermarket bernama Anna (yang menolak cinta Connor). Mereka berkenalan dan menemukan bahwa pekerjaan mereka berdua berkaitan. Diam-diam, mereka justru saling tertarik pada satu sama lain dan akhirnya berselingkuh.

Ketika sedang berselingkuh, Ben merasa gelisah. Ia sangat bersalah karena hubungannya dengan Janine sudah berlangsung lama. Namun, Ben berusaha melakukan apologi. Ia mengungkapkan bahwa dia adalah korban dari sebuah hubungan yang harus diikat dengan pernikahan. Sebab, dulu Janine mengancam akan mengakhiri hubungan jika Ben tidak bersedia menikahinya.

Karena terus gelisah, Ben akhirnya mengakui bahwa ia berselingkuh di belakang Janine. Pada momen ini saya terperangah, sebab meskipun terkejut dan marah, Janine justru mengaggap dirinya juga bersalah atas ketidakbahagiaan Ben. Janine merasa pernikahan mereka selepas lulus kuliah dulu terlalu terburu-buru. Mereka akhirnya terjebak dengan rutinitas yang sempit dan tanggung jawab yang besar di saat berusia masih muda.

Soal rasa tertekan dalam suatu hubungan, Fromm juga memberikan filosofi tersendiri “Aku ingin orang yang kucintai bertumbuh dan berkembang demi dirinya sendiri. Dan dalam caranya sendiri, bukan agar bisa melayaniku. Jika aku mencintai seseorang, aku merasa satu dengannya, tapi dengan dia sebagai dirinya” Dalam kasus ini, Janine merasa bahwa Ben sudah tidak menjadi dirinya sendiri. Ben kelihatan murung padahal dia adalah seorang yang ceria. Sambil menangis Janine juga bercerita bahwa mereka tidak pernah berhubungan seks lagi selama beberapa bulan, sebab Ben seakan tidak berhasrat lagi dengan dirinya.

Dihantui rasa bersalah itu, Janine memutuskan untuk menahan diri agar tidak bercerai. Dia bahkan mengambil inisiatif untuk memperbaiki keadaan. Tapi ternyata dipaksakan pun tak berhasil. Janine akhirnya mengambil keputusan untuk berpisah. Mungkin akhirnya dia membaca buku Fromm. Pada pembahasan soal hakikat mencintai, Fromm memberikan kalimat pamungkas yang menyihir, “Cinta, adalah anak dari kebebasan, bukan kekuasaan”


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment