Savira Oktavia
Mahasiswa Fakultas Hukum UB
Semenjak Presiden Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19 pada tanggal 31 Maret lalu, COVID-19 dinilai menjadi penyakit yang perlu pencegahan dan penanggulangan ekstra di Indonesia. Hal ini dikarenakan penyebarannya yang sangat signifikan.
Salah satu langkah pencegahannya adalah diterapkannya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan PSBB mengharuskan semua lokasi atau tempat seperti sekolah, tempat kerja, tempat ibadah, dan berbagai fasilitas umum diliburkan atau ditutup. Semua orang juga wajib menjaga dan mematuhi aturan protokol physical distancing (menjaga jarak). Oleh karena itu, masyarakat diimbau agar selalu melakukan segala aktivitasnya di dalam rumah.
Bagi beberapa orang, melakukan segala aktivitasnya di dalam rumah tidak selalu terasa menyenangkan dan menenangkan. Apalagi jika terbiasa memilih bekerja di kantor sebagai salah satu pelarian. Bagi sebagian perempuan misalnya, bekerja di kantor merupakan tempat pelariannya dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh keluarga terdekatnya.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sejak 14 Maret – 22 April 2020, telah terjadi 105 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan 106 korban yang 67 di antaranya mengalami KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga).
KDRT merupakan salah satu perkara yang kurang mendapat perhatian pemerintah di tengah pandemi ini. Padahal, kondisi rumah tangga dapat sangat rentan rusak akibat terganggunya kondisi perekonomian, sosial, dan kesehatan.
Menurut Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan 2020, ranah yang masih menjadi tempat paling beresiko terhadap perempuan adalah kekerasan dalam ranah personal. Ranah pribadi selalu konsisten menduduki posisi pertama yang dilaporkan selama lima tahun terakhir ini.
Banyaknya masyarakat yang dirumahkan atau di-PHK menjadi alasan ketidakstabilan kondisi rumah tangga. Karena menimbulkan perselisihan dan penderitaan antara hubungan sesama anggota keluarga. Ketidaksiapan orang tua untuk memberi dan mendampingi sekolah anak-anaknya di rumah juga menjadi faktor penambah pecahnya pertengkaran dalam rumah tangga. Maka dari itu, diperlukan dukungan dan bantuan dari Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan penegak hukum dalam menuntaskan permasalahan ini.
Pada faktanya, Pemerintah Indonesia seharusnya selalu menjamin pencegahan KDRT, penindakan pelaku KDRT, dan perlindungan korban KDRT seperti yang termaktub dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Oleh karena itu, dalam kondisi pandemi seperti ini pemerintah tidak boleh lengah juga dalam pencegahan dan penindakan KDRT.
KDRT sendirinya memiliki empat bentuk yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga yang dilakukan seseorang terhadap korban dalam satu lingkup rumah tangga yang sama. Dengan hadirnya pandemi ini, para perempuan yang sering menjadi korban KDRT sulit mendapatkan akses untuk melapor tindakan KDRT terhadapnya. Karena terjerat dalam berbagai protokol kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mencegah dan memberantas COVID-19, salah satunya physical distancing.
Dalam hal ini, akun twitter @logos_id mencetuskan sebuah gagasan untuk membantu tindakan pelaporan korban KDRT melalui media virtual yang terinspirasi dari Canadian Women’s Foundation. Pelaporan tersebut menggunakan sinyal tangan yang ditunjukkan pada saat melakukan video call dengan kerabat atau rekan lain sebagai bentuk meminta bantuan tanpa meninggalkan jejak digital.

Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) juga aktif menerima laporan dari hotline dengan nomor 0813-8882-2669 atau melalui email lbh.apik@gmail.com. Hal ini dilakukan sebagai bentuk bantuan agar penindakan pelaku KDRT dan perlindungan korban KDRT tetap dapat berjalan secara efektif meskipun diterpa pandemi, mengingat KDRT merupakan area privat pula.
Selain itu, perlunya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) untuk disahkan juga menjadi langkah mutakhir untuk membantu pencegahan dan pemberantasan kekerasan seksual di berbagai kalangan. RUU PKS mengatur sembilan jenis kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Ruang lingkup sosial yang diatur di dalam RUU tersebut selain relasi publik, juga relasi rumah tangga, sehingga dapat mengurangi bahkan menghilangkan tindakan KDRT yang berhubungan dengan hubungan seksual.
RUU PKS sebagai Jalan Tol
Belakangan ini terdengar sontak satu kasus yang menyisakan luka besar untuk rentetan perjalanan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lampung Timur diduga menjadi pelaku pemerkosaan anak di bawah umur.
Anak korban tersebut merupakan salah satu korban pemerkosaan sebelumnya yang dititipkan kepada lembaga P2TP2A untuk mendapatkan perlindungan dan rehabilitasi. P2TP2A yang sejatinya merupakan rumah aman bagi para korban kekerasan justru menjadi tempat yang juga berpotensi melahirkan berbagai tindak kekerasan. Terlebih lagi tindakan tersebut dilakukan oleh pimpinan yang seharusnya memberi contoh yang baik bagi bawahannya dan masyarakat.
Sekali lagi, RUU PKS sangat perlu disahkan mengingat urgensi-urgensi yang melatarbelakanginya. Kehadirannya dapat menjadi sebuah jalan tol pencegahan dan pemberantasan tindak pidana kekerasan seksual yang selama ini jumlah kasusnya makin bertumbuh subur dan beragam.
Salah satu faktor terbesar yang ikut andil dalam meningkatkan pertumbuhan jumlah kasus adalah karena belum adanya undang-undang yang menaungi dan menghukum beragam tindakan kekerasan seksual. Namun, lembaga legislatif yaitu DPR mengaku bahwa proses pembahasan dan pengesahan dari RUU PKS sangat sulit, sehingga pada tahun ini tampaknya pengesahan RUU PKS hanyalah menjadi sebuah wacana semata.
Sebelumnya, kehadiran RUU PKS menimbulkan banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dari sisi kontra menyudutkan bahwa definisi kekerasan seksual dalam RUU PKS menimbulkan dukungan untuk membebaskan tindakan berzina karena melakukan perzinaan secara sukarela tidak diatur dan dilarang.
Padahal sebenarnya RUU PKS merupakan lex specialis de rogat legi generalis dari undang-undang lain yang mengatur khusus mengenai tindakan kekerasan. Perzinaan selama ini diatur dalam Pasal 284 KUHP yang isinya mengenai larangan perzinaan atas dasar suka sama suka antara seseorang yang telah menikah dengan orang lain yang juga telah menikah atau dengan orang lain yang belum menikah.
Perzinaan dalam ketentuan pasal tersebut merupakan tindakan yang tidak didahului atau dibarengi dengan paksaan atau kekerasan. Maka dari itu, RUU PKS hadir dalam rangka mengakomodir larangan segala tindakan yang berhubungan dengan hubungan seksual yang didahului atau dibarengi dengan paksaan atau kekerasan. Begitu pula dengan kesembilan tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) RUU PKS merupakan bentuk khusus dari tindak pidana yang diatur dalam undang-undang lain.
RUU PKS juga merupakan salah satu gagasan yang termajukan karena di dalamnya mengatur mengenai tambahan jenis sanksi pidana baru yang tidak diatur dalam KUHP. Agar dapat menimbulkan efek jera kepada para pelaku dengan tujuan tidak akan mengulangi kembali tindakan yang bengis tersebut dan sebagai bentuk ancaman yang berat untuk masyarakat agar tidak mencoba-coba untuk melakukannya.
Berbagai pidana tambahan baru yang diatur dalam RUU PKS yaitu restitusi, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, kerja sosial, pembinaan khusus, pencabutan hak asuh, pencabutan hak politik, pencabutan hak menjalankan pekerjaan tertentu, pencabutan jabatan atau profesi, dan pengumuman putusan hakim. Selain itu, terdapat pidana pokok berupa rehabilitasi yang ditujukan khusus agar dapat menyembuhkan pola pikir dan perilaku seksual yang telah dilakukan terpidana.
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id
1 Comment
brezplacen racun na binance
Thanks for sharing. I read many of your blog posts, cool, your blog is very good.