Kayuhan Sepeda dan Putaran Roda Gerobak Pekerja Informal

Galih Arozak
Seorang Buruh


Apa kiranya yang dibicarakan oleh para lelaki yang telah lulus dari masa studinya; sekolah maupun kuliah? Jawabannya mudah ditebak, dan benar saja apa yang sering kali didiskusikan semasa kuliah silam. Bahwa pelajar dan mahasiswa sengaja dicetak demi memenuhi kebutuhan pasar, juga kurikulum pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan industri. Tak lama setelah saling bertanya kabar, perbincangan tentang hari-hari dan pendapatan di dunia kerja menjadi bahasan panjang bagi para lelaki yang berkumpul pasca menyudahi masa studinya.

Sekilas terkesan materialistik dan orientasinya mudah ditebak; uang. Tapi sungguh, menjadi salah sangka jika tak mengerti apa yang sebenarnya diperjuangkan. Kekhawatiran yang menyelimuti kepala lelaki bukanlah bagaimana supaya hari ini hingga lusa perutnya bisa terisi, tapi bagaimana di hari-hari yang akan datang perut istri dan anaknya tidak kosong dan kelaparan. Apa dengan kondisi dan status sosialnya saat ini, ada jaminan kebahagiaan bagi keluarga kecilnya kelak? Itulah sebab lelaki mengencangkan sabuknya, dan terus mengusap keringatnya.

Seorang lelaki tak perlu dihiraukan berlebihan, ia punya naluri untuk survive dalam kehidupannya. Perkelahian dua bocah laki-laki di taman kanak-kanak misalnya, sering dianggap wajar dan kemudian dimaklumi mengingat usia mereka yg masih belia. Di lain sisi, itulah naluri bertahan seorang lelaki yang memang telah dimilikinya sejak dini, meskipun pertahanan akan dirinya ternyata melukai orang lain karena secara emosional tentu saja belum matang, tapi naluri itu akan membaik seiring beranjaknya ia menjadi dewasa.

Di tengah pandemi Covid-19 yang merebak, dan di bawah bayang-bayang Omnibus Law yang terburu disahkan. Ada banyak orang yang nasibnya digantungkan. Para buruh yang dihantui ancaman PHK, dianggap kebal virus oleh perusahaan tapi dianggap ancaman sebagai carrier di kampung halaman. Para pekerja informal seperti tukang becak, kuli panggul, pedagang keliling, pemulung yang tak bisa hanya berdiam #dirumahaja karena tentu tak ada pemasukan jika tak bekerja keluar rumah.

Perihal ini tak hanya berimbas pada para lelaki yang notabenenya berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarga meski dalam masa-masa sulit seperti ini. Banyak buruh dan pekerja informal dari kalangan perempuan, yang keringatnya mematahkan stigmatisasi bahwa perempuan itu lemah, mereka mengiringi lelaki dalam mencari cuan maupun menjadi tulang punggung keluarga. Sebagian pekerja informal sudah berusia renta. Tapi fisik (pundak, punggung, kaki) dan batinnya lebih kuat dari kita yang masih muda. Sungguh, mereka tak khawatir akan perutnya sendiri melebihi khawatir akan perut keluarganya.

Barangkali karena berasal dari desa dan hidup di antara orang-orang yang menukar keringat demi perut agar tetap terisi. Bagi penulis, kayuhan sepeda dan roda gerobak yang terus berputar milik pekerja informal, jauh lebih menginspirasi daripada petuah-petuah yang keluar dari mulut para tokoh. Hormat bagi setiap laki-laki dan perempuan yang terus berjuang untuk menyambung hidup keluarganya.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment