PUCUKMERA – Menjadi manusia di zaman sekarang sangatlah susah, penuh dengan tantangan. Tantangan dari lingkungan, tantangan dari situasi dan kondisi yang ada, bahkan tantangan dari diri sendiri. Menjadi manusia di zaman sekarang sangatlah berat, kayak rindunya Dilan. Tapi sayangnya tak ada timbangan yang mampu menimbang beratnya kehidupan ini. Pada akhirnya kita hanya bisa mengira ngira taraf beratnya hidup di dunia ini. Pada akhirnya yang kita lakukan adalah membuatnya terasa tak berat ‘versi’ kita masing-masing.
Banyak dari kita yang kemudian melakukan defense terhadap diri kita sendiri ke lingkungan sekitar. Kita menyadari bahwa perubahan yang terjadi di kehidupan ini sungguh sulit di terka. Oleh karena itu memiliki ‘prinsip hidup’ merupakan salah satu upaya agar tidak tergerus oleh zaman.
Akhir akhir ini saya banyak ‘membaca’ dan ‘menonton’ berbagai status maupun postingan di berbagai media sosial. Baik Instagram, Whatsapp, maupun YouTube. Ternyata benar, banyak dari kita yang memulai membangun prinsip hidup tersebut. Katakanlah para influencer di YouTube maupun Twitter. Mereka berlomba-lomba untuk mempertahankan image brandingnya dengan prinsip hidupnya masing-masing yang kemudian di share ke media sosial mereka. Biar apa? Ya kali ajah ada pengikutnya yang menyetujuinya kemudian menjadikannya sebagai panutan dalam kehidupan sehari-harinya, tentu saja dengan prinsip-prinsip yang dia tularkan, as the goals of influencers. Tak ada salahnya, ini baik baik saja sungguh. Kecuali jika yang ditularkan adalah prinsip hidup yang akan merugikan dirinya sendiri.
Orang yang berprinsip pasti melalui lika-liku dalam hidupnya. Suatu hari ia akan dihadapkan oleh suatu pilihan untuk meninggalkan prinsipnya atau mempertahankannya. Dalam tulisan saya kali ini akan membahas suatu prinsip yang sedikit lucu. Beberapa waktu lalu saya menemui teman saya, kemudian dia bercerita banyak hal, termasuk tentang prinsipnya yaitu dia ingin menghindar dari media sosial dan media media yang ada di smartphonenya. Ini Gila! Gumam saya dalam hati. Kemudian saya bertanya padanya ‘bagaimana kalo saya hubungi kamu?’ dia jawab ‘sepertinya bertemu lebih baik’, lalu saya bertanya lagi ‘kalo ada bahasan di grup?’ dia menjawab ‘saya akhir akhir ini sukanya jadi silent reader, saya lebih suka rapat langsung’, kemudian saya bertanya lagi ‘kalo kamu pengen baca berita?’, ‘saya beli koran lebih enak bacanya’. Inilah contoh orang yang berprinsip garis keras, pikir saya.
Bagaimana tidak, di zaman sekarang yang perkembangan teknologinya sangat cepat bukannya memanfaatkannya dengan baik malah lebih memilih untuk menghindarinya. Kita sudah hidup dizaman dimana mau tidak mau kita akan menghadapi perubahan gaya hidup, salah satunya melalui media. Menurut saya sah sah saja apabila kita lebih menyukai pertemuan langsung daripada chatingan lewat media sosial. Namun, perlu diingat bahwa kita tidak hidup sendirian. Mayoritas anak muda sekarang adalah kaum milenial yang notabenenya merupakan kaum sakti mandraguna dengan keaktifannya di media. Kemampuan multitaskingnya mampu menghadiri tiga rapat online skaligus dalam satu waktu. Atau belajar di luar negeri tanpa harus mengahbiskan uang untuk membeli tiket pesawat. Hanya bermodal paketan internet beberapa gigabyte yang kian kemari kian di jual murah meriah, bahkan ada bonus gratisnya. Media sosial yang kini sudah menjadi kebutuhan primer manusia dalam berkomunikasi telah menghubungkan yang jauh, menghubungkan yang rindu karna tak mampu bertemu. lantas mengapa harus dihindari?
Beberapa dari mereka mengatakan bahwa mereka takut akan tenggelam dalam gemerlapnya media. Terombang ambing dengan faham aneh yang tersebar melalui media atau takut boros lantaran akan menghabiskan banyak kuota internet. Seramnya lagi ada yang bilang bahwa suka main medsos itu kayak anak-anak alay. Haduh!… Baiklah, mari kita uraikan satu persatu agar kita semua sadar akan hadirnya media sosial di kehidupan yang fana ini bisa jadi merupakan suatu anugrah terindah yang pernah kita miliki (macam lagunya Sheila On 7). Media sosial yang memang dapat diakses oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mempertimbangkan siapa bapakmu dan siapa Tuhanmu ini kerap kali menjadikan media sosial memiliki konten yang sangat heterogen. Semua informasi bisa masuk baik itu baik maupun buruk (menurut kita masing-masing). Akses yang cukup mudah dan tanpa batas membuat kita kadang terbuai untuk terus mencari-cari apa saja yang ada di dalamnya. Hal inilah yang kemudian membuat seseorang menjadi tak terkendali dan mulai mengakses konten konten negatif. Inilah yang perlu kita jadikan prinsip dalam bermedia sosial, yakni menahan diri agar tidak terbuai dengan hal-hal yang negatif serta senantiasa membuat filter yang canggih di otak kita. Agar dapat memilah mana informasi yang baik dan yang tidak baik (versi kita). Sebisa mungkin kita mulai open mind bahwa media sosial dapat membantu kita menerima informasi yang kita butuhkan atau informasi yang perlu kita ketahui dengan mudah dan cepat.
Baik, untuk alasan terseram yang bilang bahwa suka main media sosial itu kayak anak alay. Secara tidak langsung dia mengatakan 3,8 miliyar umat manusia di dunia atau setidaknya 140 juta manusia di Indonesia adalah anak alay. Padahal perlu kita ketahui bahwa banyak sekali startup di dunia ini yang bermula dari media sosial, yang bekerjanya juga melalui media sosial. Berapa banyak portal website di dunia yang sekarang menjadi perusahaan yang memiliki keuntungan bermiliar miliar setiap tahunnya, berapa banyak para Youtuber atau Selebgram yang menjadi sukses dan mampu membawa perubahan positif di dunia ini, berapa banyak orang yang mendapatkan pekerjaannya melalui media sosial, berapa banyak orang yang bertahan hidup berkat bantuan donasi dari berbagai macam website fundraising seperti kitabisa.com, berapa banyak anak-anak pedalaman yang kini mampu mengakses konten pendidikan yang sama seperti anak-anak di kota melalui media sosial?.
Pada akhirnya media sosial menjadi sebuah alat yang mempu mempermudah kehidupan sehari-hari kita, bahkan kita mampu mengharmoniskan hubungan antar sesama. Memang akan ada siss baik dan buruk dalam segala hal di dunia ini, begitu juga dengan media sosial. Semua itu kembali kepada diri kita masing-masing. Bila kita mampu proaktif, inisiatif serta memanfaatkan filter canggih dalam otak kita, maka media sosial bukan menjadi masalah dalam hidup kita yang harus dihindari. Sebaliknya malah akan menjadi sesuatu yang menguntungkan dan bermanfaat untuk kita sendiri dan orang lain. Tak salah apabila kita ingin mengurangi intensitas bermedia sosial sebab tak ingin kecanduan daripada kita menghindari seutuhnya. Ibaratnya kita diberi emas berton ton, tapi karna kita nggak bisa bawanya karna terlalu berat kita nyerah dan memilih untuk pulang. Padahal kalau kita ambil sedikit yang bisa di bawa kemudian memanfaatkannya, kita tak rugi bahkan malah untung. Tak acuh itu bukan karna ingin mencari selamat, tapi membuang sesuatu tanpa mempertimbangkan banyak hal. Masih yakin mau menghindari media sosial hanya karna prinsip hidup yang tidak dipirkan secara matang?. [mufardisah]