Kau Bukan Rumah

Refina Elfariana D.


PUCUKMERA.ID — Untukmu, masih untukmu dan akan selalu untukmu.

Dari berbagai tulisan yang ke sana ke mari mencari jalan untuk berpulang, menemui muara tempat rindu berujung, hingga sesak memenuhi ruang pikiran. Aku di sini, belajar untuk mengeja kalimat-kalimatmu yang masih sulit untuk dipahami.

Kamu benar, mungkin menyerah adalah jalan pintas menuju ruang bebas. Cukup membingungkan untukku, memecah teka-tekimu, menduga semua kebenaran yang tak juga bisa digenggam. Tapi terkadang kebingungan jauh lebih menenangkan daripada mengetahui kebenaran.

Dan kali ini aku memilih untuk melepaskan. Bukan lagi dengan aku yang tak terima dengan kenyataan, bahwa aku telah kehilangan, atau memang sebenarnya aku tidak pernah memilikmu. Selama ini aku terlalu sibuk menumpuk gemuruh penyesalan.

Tapi ternyata kamu bukan rumah, selamanya kamu memang bukan rumah dan bukan pula tempat untuk pulang, jadi untuk apa aku terus di sana? Jika pada akhirnya kau tidak lagi menganggap aku ada. Karena kau tidak akan pernah pulang dan itu adalah jawaban sekaligus keputusan.

Aku tidak ingin semakin bodoh dengan terus meyakini bahwa pergi selalu berpasangan dengan pulang, karena ternyata itu salah. Aku tidak ingin memenuhi sungai dengan air mata kerinduan karena menanyakan kepulangan. Cukup! Bayangmu sudah terlalu keras memukul bahagiaku.

Ini sudah bukan lagi tentang apa yang aku mau dan apa yang kau inginkan, tapi apa yang terbaik untuk jadi pilihan. Aku sudah terlalu sering berusaha, karena ternyata kegagalan selalu jadi ujungnya dan perpisahan adalah jalan keluarnya.

Selama delapan belas tahun aku ragu dan selama itu pula kau tidak berhasil membuatku yakin, jadi mungkin akan percuma jika aku memaksa ragamu untuk tinggal, tapi kau sudah punya raga lain untuk bersandar.

Pada surat ini, entah bisa sampai pada layar ponselmu atau tidak, aku ingin kau tahu, aku sedang belajar melanjutkan hidup tanpa menanyakan kepulangan yang tak kunjung kau jadikan kenyataan. Ya, belajar mengerti bahwa keadaan mengharuskan kisah ini selesai, tidak ada apa pun yang berhak untuk diselamatkan, termasuk jawaban atas pertanyaanku tentang keputusanmu yang memilih meninggalkan.

Ternyata tanpa rasa sakit aku tidak akan pernah paham caranya kuat, tanpa pernah kecewa aku akan kesusahan untuk menjadi dewasa, dan tanpa kehilangan, barangkali aku juga tidak pernah mengerti caranya merelakan.

Sepertimu yang memilih menyerah, maka aku pun menyerah, karena ternyata beberapa hal tidak sama seperti saat kita memulai. keadaan memaksaku untuk menunduk juga membalikkan badan, mencoba langkah pertamaku tanpa merindukanmu.

Mungkin akan terasa berat, tapi ini akan jauh baik daripada melangkah bersama bayangan. Sekarang semesta mengenalkanku banyak hal, bahwa terkadang melepaskan adalah cara terbaik untuk menyelamatkan.

Karena untuk tumbuh kita perlu bermetamorfosis bukan? Pun dengan aku, mimpi-mimpiku sedang menanti untukku jemput, yang tentu itu jauh lebih penting daripada merapikan persoalan masa lalu yang masih berceceran di belakang.

Pasti aku akan rindu menanyakan kabarmu pada selembar kertas tua, mencoret halaman kosong sembari bertanya, baik-baik saja kan kau di sana? Ketika itu ekspektasi berhasil mengikatku dengan rapat, padahal realita sedang membentangkan tangannya dan bersiap untuk memelukku, meski dengan duri-duri tajam di tubuhnya.

Aku berharap kau masih mengingatku di sana, serupa dengan ingatanku yang akan selalu ada, mungkin kau tidak lagi menjaga segalanya, tapi aku di sini masih menggenggam harapan itu dengan sekuatnya.

Jika suatu saat kau mengingatku, maka tengoklah langit-langitmu saat kau memejamkan mata, ada banyak harap yang aku gantungkan di sana, manifestasi dari untaian doa setiap kali namamu terlintas di kepala. Karena sudah tidak akan ada lagi tulisan ini untuk berbicara.

Terakhir, langkahku mungkin akan tertatih dan terbata-bata, tapi kau tidak perlu mengkhawatirkannya, bukankah selama ini kau terbiasa membiarkan aku sendirian? Kini aku sudah memiliki banyak teman, mereka pembacaku, merekalah yang mengantarkanku.

Jadi, pada tulisan ini aku mengikhlaskanmu. Sampai jumpa, sekalipun raga kita tidak pernah kembali saling menyapa, maka aku akan tersenyum setiap tubuhku terluka, karena setidaknya aku masih bisa melihat darahmu yang setia mengalir di sana.


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka7Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment