Fahrul Rozi
Tinggal di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY)
Sore itu jalanan lengang seperti biasa. Lastri menemukan warung sembako tutup dan penjual kaki lima mulai berangsur hilang dari tempatnya. Beberapa ruas jalan ramai dikerumuni oleh tukang ojek dan calon penumpang yang sedang tawar menawar. Sementara di depan warung kecil di sudut jalan, terdapat lima lelaki yang dua di antaranya bertelanjang dada dengan tato naga di lengan kiri dan satu lainnya botak licin.
Tiba-tiba saja jalan menjadi sesak, tak beraturan. Motor Supra 125 miliknya sudah sampai di pasar. Becak yang membawa penumpang dengan bejibun belanjaan, berjalan tertatih-tatih menyibak kendaraan yang mulai memanas. Di saat seperti itu, Lastri kembali memperhatikan lima lelaki di depan warung kecil yang sedang bermain kartu tadi. Pikiran Lastri mulai melayang ke satu bulan lalu. Ketika Sukri pergi meninggalkan rumah tanpa memberi sepeser pun uang.
“Jika kau ingin uang, antarkan mereka padaku dan aku akan memberimu uang yang cukup banyak.”
“Jadi, kau pikir, aku akan menjual anak-anaku pada mereka, begitu?”
“Itu jika keadaan semakin memburuk. Aku hanya sekedar mem—“ belum sempat Sukri menyelesaikan kalimatnya, Lastri telah melayangkan tamparan tepat di wajahnya. Tapi Sukri hanya tertawa, lalu balik menampar Lastri.
Lastri terjungkal ke samping dan ia temukan hidungnya berdarah. Santi, anak perempuannya, berlari setelah mengetahui mamanya menangis. Tak lama berselang, Anto sang anak sulung, datang dari sekolah. Anto mendadak getir melihat darah yang berjatuhan di lantai. Anto segera berlari ke arah Lastri yang menutup hidungnya dengan lengan. Sembari telunjuknya menunjuk ke atas menyumpahi Sukri.
Sukri keluar membanting pintu. Terdengar tawa Anto yang ringan dan menyakitkan.
Lastri terkesiap ketika suara klakson opelet di belakangnya memekakan telingnya. Ia melihat lelaki botak licin yang bermain kartu di seberang sana hampir mirip dengan Sukri. Tapi Sukri lebih kurus dan tidak gendut sepeti lelaki botak licin itu.
Motornya kembali melaju melewati pasar yang kumuh, bau, dan tentu saja macet. Ia sudah terlepas dari cengkeraman pasar. Ia melajukan motornya ke kiri jalan, berhenti, lalu membeli beberapa cabai di situ. Ia terima uang kembalian, dan motor Supra mulai membawanya pergi lagi.
Semenjak Sukri pergi, ia harus bekerja sendiri, mengajari anak-anaknya sendiri, makan sendiri, tidur pula sendiri. Ia kerjakan semuanya serba sendiri. Tapi beban yang ia keluhkan selama ini perlahan-lahan sirna. Beban yang awalnya seberat dua puluh lembu, kini seringan rumpun. Ia sudah terbiasa bangun sebelum subuh, memasak nasi, menyiapkan barang jualannya, mengecek apa motornya tidak rusak, atau kurang angin. Dan ketika subuh, ia bangunkan anaknya kemudian bergegas salat setelah mematikan kompor.
Setelah semua pekerjaan rumah rampung, ia pergi berjualan jamu dengan motornya hingga pukul 10.00. Ia menjajakan jamunya dengan berkeliling dari gang, kompleks, dan kecamatan. Setelah berjualan ia akan berbelanja untuk besok dan menyiapkan makan siang untuk anaknya di rumah.
Semenjak wabah menyerang Negara, Anto yang sedang bersekolah dituntut untuk memiliki ponsel agar bisa mengikuti pelajaran secara daring. Sayangnya, Lastri tidak punya banyak uang untuk membeli ponsel dan kuota internet. Lastri memutar otak. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminjam uang kepada saudaranya yang kaya dengan janji yang berbuih-buih. Namun sekeras apa pun ia bekerja, ia tetap tidak bisa merubah nasib keluarganya. Sukri sudah pergi dan tak mungkin kembali membantunya.
***
Santi demam tinggi. Beberapa tetangga menganjurkan agar Santi dibawa ke rumah sakit. Tapi Lastri tidak punya banyak uang untuk membawa Santi ke rumah sakit. Ia pikir berobat ke dokter pasti akan mengeluarkan banyak uang. Ia urung. Dan memilih merawat Santi dengan obat tradisional.
Satu minggu kemudian, Santi sembuh. Ia mulai bisa berjalan seperti biasa, tidak lagi merasa pusing, demamnya menurun, bahkan sudah bisa tertawa seperti biasanya.
Di tengah bahagia yang singkat itu, tiba-tiba Sukri datang dengan mata memerah, baju compang camping, dan bau alkohol yang menyeruak dari mulutnya. Dengan segera, Lastri memapah Sukri masuk ke dalam kamarnya. Di sana ada Santi yang sedang bermain boneka. Lastri menyuruhnya keluar dan ia menurut.
Sore harinya, Lastri pergi untuk mengantar perasan kencur ke rumah Abina. Entah untuk apa Abina memesannya. Lastri bertemu Riki, teman lamanya yang kini sudah sukses jadi miliyader. Lastri melakukan sedikit perbincangan dan mengundang Riki untuk berkunjung ke rumahnya. tapi Riki terlihat buru-buru dengan dua lelaki perkasa di kanan-kirinya. Riki berjanji akan ke rumahnya kalau ada waktu.
Lastri tidak bisa pulang cepat. Abina memintanya membantu membuat jamu untuk para tamu arisan, alhasil ia sampai rumah sedikit malam. Sesampainya di rumah, Lastri bingung. Semua barang di rumahnya berantakan, kotor, dan banyak jejak kaki. Ia jadi teringat Santi dan Anto. Beruntungnya mereka baik-baik saja. Lastri menemukan mereka bersembunyi dengan aman di bawah kolong dipan. Tapi keberadaan Sukri tak ditemukan. Lastri menduga bahwa Sukri biang keladi atas kekacauan rumahnya. Setelah Sukri pergi malam itu, Lastri segera memeluk Anto dan Santi. Ia sangat takut kehilangan mereka berdua. Sehingga malam-malam berikutnya ia tidak pernah keluar lagi.
***
Motor supra Lastri berhenti yang kedua kalinya. Ia merasa ada yang luput ia beli. Ia memutar kemudi dan kembali ke pasar, sebelum akhirnya bergabung pada lima lelaki, dan menantang mereka bermain kartu.
***
Negara menambah angka kematian akibat wabah dan memerintahkan masyarakat untuk melakukan karantina. Kegusaran masyarakat semakin dalam dan parah. Tapi Lastri tidak bisa diam saja di rumah, dia tetap berkeliling menawarkan jamu saat pagi dan berjualan gorengan dari sore hingga malam hari. Namun, dari dua usahanya tidak ada yang mujur. Ada kalanya gorengan habis, ada kalanya tersisa banyak. Mau tidak mau Lastri membagi-bagikan sisa gorengan tersebut atau menyimpannya untuk dimakan besok pagi.
Keadaan semakin rumit ketika Lastri mendapat kabar bahwa Santi kembali demam. Jadi sebelum pulang, ia harus membeli obat terlebih dahulu. Sedangkan Santi sudah dibawa oleh tim rumah sakit untuk melakukan tes darah dan pemeriksaan lain. Mereka suntikkan cairan berwarna kuning—yang entah apa, ke lengan Santi. Sesampainya di rumah, Lastri bingung mendapati Santi tak ada. Ia hanya mendapati Anto yang tercengang di kamarnya. Kepanikan Lastri semakin memuncak.
Akhirnya Anto bercerita juga soal tim medis berjubah yang menurutnya seperti alien membawa paksa Santi ke dalam ambulan. Anto yang tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa memaki-menyumpahi seperti Sukri, bapaknya. Tim petugas rumah sakit itu malah memasangkan masker pada mulutnya, sehingga makiannya tak lagi terdengar. Yang tersisa hanya tangis sedu Anto sendirian.
Lastri mulai mengerti dan berangkatlah ia ke rumah sakit. Di sana ia dan Anto berjalan buru-buru dari satu kamar ke kamar yang lain. Sampai-sampai beberapa suster menegur mereka. Setelah beberapa menit mencari, akhirnya ia temukan Santi di balik ruangan kaca dengan sinar lampu menyorot pada wajahnya.
***
Lastri melemparkan kartu truf. Ia tertawa sambil melihat air muka lima lelaki itu seolah-olah ada yang lucu dari wajah mereka. Dan permainan pun berakhir atas kemenangan Lastri, Tapi kemenangan apapun sama sekali tidak lagi berarti. Hidupnya telah mati setelah Sukri membawa kabur Anto dan Santi dari rumah sakit kala itu.
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.
2 Comments
Utivafe
A similar proportion of patients 25 for denosumab, 26 for placebo had AEs considered by the investigator as possibly or probably being related to investigational product, the most common being pain in extremity 2 for denosumab, 4 for placebo, arthralgia 5 for denosumab, 2 for placebo, bone pain 1 for denosumab, 4 for placebo, fatigue 2 for denosumab, 2 for placebo, and pain 3 for denosumab, 1 for placebo priligy united states and Eunice Yu disagree with the Reardon s conclusion that TMS is safe and effective in the treatment of major depression
código de indicac~ao da binance
Thanks for sharing. I read many of your blog posts, cool, your blog is very good.