Farhan Aji Dharma
Penulis Lepas
Tulisan ini adalah hasil refleksi semata. Jelas subjektif. Tapi saran saya, baca saja sampai akhir.
Jadi gini.
Selama Ramadan kemarin, jujur, saya malas Tarawih. Dalam banyak kesempatan, saya memutuskan untuk tidak melakukannya.
Sebentar. Saya tidak sedang menyepelekan ibadah sunah. Keliru besar jika saya melakukannya. Tapi mau gimana? Mendirikan salat wajib saja saya masih aras-arasen. Bukankah pantas jika saya merasa pakewuh sama Tuhan?
Meskipun saya sadar, rasa pakewuh ini sebetulnya karena ulah saya sendiri.
Saya tahu, Tuhan akan sangat murah hati menerima segala bentuk peribadahan saya tanpa peduli alasan hukum apa yang melandasinya. Dan lagi, saya merasa Tuhan tak butuh ibadah saya. Saya yang butuh. Maka dalam sedikit kesempatan, saya berjuang sekuat tenaga untuk tetap sembahyang Tarawih. Siapa tahu Tuhan berkenan menerimanya.
Masalah Tarawih selesai. Tapi kegelisahan lain muncul.
Menurut banyak pendapat babon, nikah itu hukumnya juga sama dengan Tarawih: sunah.
Wah, tapi kenapa keinginan menikah tak pernah surut dalam diri saya?
Apa karena saya tahu kalau Tarawih itu melelahkan? Tapi masa iya? Padahal jelas lebih capek nikah sekali daripada “hanya” salat delapan rakaat beberapa hari.
Di titik inilah saya sangat menyesal. Harusnya saya kan tinggal Tarawih saja, kenapa juga saya harus mikir panjang lebar?
Untung otak saya sedikit bau santri.
Saya lekas sadar, kalau ternyata sunah juga punya rumus matriksnya sendiri. Sebagaimana salat wajib bisa jadi haram misalnya kalau saya lagi rebahan di kos siang-siang dan tiba-tiba saya kangen salat Magrib dan saya melakukannya. Saya pastilah berdosa. Juga dapat bonus diketawain Iblis.
Salat Tarawih sama menikah tingkat pengaplikasian sunahnya ternyata juga beda. Tidak melaksanakan tarawih, akan berbeda situasinya dengan meninggalkan anjuran menikah. Berbeda pula jika keduanya dilaksanakan. Kecuali jika syarat mas kawin bisa diganti pakai wudu.
Kalau meninggalkan tarawih, yang rugi jelas cuma saya. Bahkan saya mungkin tidak bisa merasakan secara langsung kerugiannya. Wilayah untung-rugi soal salat, hanya Tuhan yang layak menilai.
Tapi kalau meninggalkan pernikahan? Bahkan bagian-bagian tubuh saya juga akan merasakan kerugian. Terutama perangkat saya yang satu itu. Apa iya seumur hidup cuma saya pakai kencing?
Mungkinkah menikah dianjurkan hanya demi mencari alternatif pekerjaan baru buat perangkat lunak itu? Jelas tidak. Rata-rata lelaki pasti punya alternatif kerjaan sampingan untuknya.
Tapi memang dulu, selugu itu saya memandang pernikahan. Saya hanya ingin terhindar dari perbuatan zina. Sampai saya pernah nekat matur ke bapak, yang selain mengepalai keluarga juga mengepalai Kantor Urusan Agama (KUA), tentang keinginan saya menikah setelah lulus SMA. Jawaban beliau,
“Oke. Tapi Bapak beri tiga pilihan. Satu, diizinkan. Dengan syarat, tanggung sendiri biaya pernikahan dan biaya hidup keluargamu. Dua, peliharalah kambing, Bapak beri modal. Tiga, kuliah. Bapak akan bantu biaya kuliahmu. Pilih mana?”
Hati saya kacau. Lebih kacau dari meletusnya balon hijau. Lebih baik sekalian dijawab tidak, daripada diberi pilihan-pilihan yang tidak pantas dibanding-bandingkan itu.
Coba, menikah kok disejajarkan dengan angon wedhus. Bapak ini ada-ada saja.
Memang saat SMA dulu, satu dua kali puisi saya tayang di sebuah majalah cetak khusus pelajar. Dapat honor 70 ribu sekali tayang. Sudah lumayan buat menambah uang saku. Tapi pasti sangat tidak lumayan untuk menyejahterakan keluarga. Kecuali istri saya sakti, bisa kenyang makan puisi.
Memelihara kambing? Hmm. Lantas apa gunanya sekolah enam tahun di Yogya? Mending setelah lulus SD dulu, saya langsung jadi penggembala. Atau saya tak usah sekolah sekalian. Karena pasti jauh lebih bermanfaat saya angon wedhus daripada sekolah.
Tapi ya sudah, saya sadar, saya tidak kebal wirang untuk menikah dan di saat yang sama saya gengsi menggembala kambing. Yang saya pikir saat itu, hanya kuliah, jalan hidup yang bisa saya tempuh tanpa harus menanggung nyawa makhluk hidup lain. Jadilah saya daftar kuliah.
Saya menangis sejadi-jadinya waktu tau saya diterima. Tangisan kegembiraan tentunya. Saking gembiranya, saya tiba-tiba pengin salat dua rakaat. Entah salat apa itu. Semoga saja Iblis tidak menertawai saya.
Dan sampai tahun keenam ini, urusan kuliah saya belum selesai, saya juga belum nikah, dan tak punya kambing satu pun. Berengsek!
Namun ada beberapa hal yang, meskipun kurang bisa mengganti kesia-siaan hidup saya selama ini, membuat saya mengerti seberapa pentingnya pernikahan. Karena selain kuliah di Jurusan Hukum Keluarga, saya juga banyak mendengar cerita tentang kehidupan pascamenikah.
Saya akui, alasan menikah yang semata-mata demi menghindarkan diri dari perilaku zina itu terkesan naif, tapi juga tak sepenuhnya salah.
Istilah nikah dalam Islam memang banyak dibatasi pada alasan-alasan itu: supaya halal behubungan badan, supaya terhindar dari zina, atau agar dapat melangsungkan keturunan.
Batasan-batasan itu sebenarnya tafsir manusia belaka, dalam hal ini, manusia-manusia itu ialah para ulama fikih yang tentu menguasai ilmu tafsir.
Tapi kalau kita baca di Al-Quran, Tuhan gamblang sekali menerangkan tujuan dianjurkannya pernikahan:
Supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepada pasanganmu dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah (rasa saling asih).
Manis sekali.
Rasanya tujuan menikah yang paling masuk akal ya memang apa yang Tuhan firmankan di Al-Quran. Namun, pendapat ulama-ulama fikih itu juga tidak bisa diabaikan.
Fakta bahwa banyak perzinaan tanpa ikatan perkawinan, tidak bisa dibilang sedikit. Dan, tidak terhitung berapa jumlah perzinaan yang dilakukan meskipun telah menikah.
Saya kembali teringat tiga pilihan yang Bapak saya berikan tujuh tahun yang lalu. Bahwa menikah itu ternyata ya sama dengan angon. Memelihara. Agar hubungan kasih sayang terjaga. Bagaimana caranya? Selain saling terbuka, bijak dalam berbagi peran dan lain-lain, salah satu cara yang paling mudah dan (mungkin) nikmat adalah bersetubuh secara sah dengan pasangan masing-masing.
Badai prahara dalam hubungan suami istri pasti tidak bisa dielakkan. Untuk itulah, kepandaian untuk angon kahanan dibutuhkan. Diperlukan kesabaran, dibutuhkan ketelatenan, dibutuhkan pengertian.
Satu lagi yang penting, dibutuhkan kesadaran satu sama lain untuk saling menguntungkan. Seperti memelihara kambing, kita untung karena bisa menjualnya jika perlu dan kambing untung karena dapat menuntaskan takdir penciptaannya dengan baik: disembelih, diolah, dan disantap.
Lalu apakah pantas disamakan antara menikah dengan kuliah? Jelas pantas.
Dalam perkara kuliah, kita hanya perlu: lulus di waktu yang tepat. Tidak terlalu cepat tapi tidak berlama-lama.
Lah, bagaimana nasibnya kalau DO?
Apa masalahnya DO? Banyak orang besar menemukan titik baliknya setelah dicoret status kemahasiswaannya. Maka kalau tidak menikah ya urusannya sendiri. Sunah ini.
Setelah menulis tulisan ini, saya baru sadar kalau Bapak saya serius memberi tiga pilihan itu.
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id