PUCUKMERA – “Gak masuk kelas lu tong?” “Gak, pelajaranya gak penting”. Disela-sela jam pelajaran yang sarat akan ilmu pengetahuan ada percakapan-percakapan jujur namun dianggap penuh dosa bagi guru BP.

Hal itu lumrah dan selalu ada disetiap sekolah entah itu berstandar internasional atau kecamatan. Bahkan diwariskan secara masif dari angkatan satu keangkatan yang lain. Jika sekolah merupakan wujud usaha pemeritah dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa. Lantas bagaimana dengan anak-anak yang tidak tahan dengan kelas? Bosan dengan mata pelajaran? Dan menganggap hubungan sosial pertemanan itu jauh lebih penting ketimbang mempelajari rumus logaritma dan bahasa asing. Jelas cita-cita luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut terancam. Bagaimana tidak jika sebagian siswa lebih suka nongkrong dikantin ketimbang mendengarkan guru, sebagian yang lain akan berteriak “Yes!” saat mengetahui jam kosong, dan seluruh siswa tanpa terkecuali akan sumringah sepanjang hari ketika kabar burung “Besok pulang pagi” terdengar dari mbok penjaga kantin atau pak tukang kebon.
Anehnya jika siswa menyukai jam kosong dan menyambut dengan hangat setiap kabar pulang pagi, kenapa mereka tetap berangkat ke sekolah? Yup, sekolah hanya soal uang jajan, pertemanan, tuntutan lingkungan, dan ijazah yang dianggap mampu menjadi jaminan masa depan serta ilmu yang bermanfaat (soal ilmu yang bermanfaat ini entah menjadi prioritas ke berapa bagi sebagian besar siswa di Indonesia). Mari berangan-angan andai orang tua tidak memberi uang jajan, tidak ada tuntutan lingkungan, dan sekolah tidak pernah mencetak ijazah sebagai tanda kelulusan maka masih adakah anak-anak Indonesia yang ingin dicerdaskan? Mungkin sebagian lebih suka nongkrong di warung kopi atau kerja untuk membantu orang tua dan sebagian yang lain akan tetap belajar hal-hal yang mereka sukai dan dianggap penting.
Terus jawaban dari pertanyaan judul diatas itu apa? Ya itu siswa tahu bahwa pendidikan itu penting tapi sebagian mata pelajaran mereka tidak suka dan sebagian yang lain mereka anggap tidak penting. Maka untuk para pegiat pendidikan dan orang tua harus dipahami bahwa otak manusia tidak sama dengan komputer. Manusia jauh lebih kompleks ketimbang komputer, wujud dari ke-kompleks-an otak manusia adalah mereka dapat memilah memori apa yang harus mereka pertahankan untuk kelangsungan hidup mereka dan memori apa yang mereka anggap tidak penting dan harus segera dihapus setelah ulangan kenaikan kelas usai. Bayangkan selama pagi hingga siang selama TK hingga perguruan tinggi (kurang lebih 16 tahun) anak-anak Indonesia selalu dikekang dengan kurikulum. Mereka sama sekali tidak diberi pilihan untuk menetukan apa yang penting dalam kehidupan mereka selanjutnya. Dan hanya mengekor pada orang tua yang mereka anggap lebih superior dalam hal ilmu pengetahuan tanpa tahu alasan mengapa mereka harus belajar ini itu, tanpa pernah ditanya apakah mereka suka atau berminat mempelajarinya. Maka jangan heran jika masyarakat Indonesia akan lihai sekali dalam hal mengekor negara-negara yang dianggap lebih superior dari mereka tanpa perlu mempertanyakan kenapa meraka harus mengekor. Mulai dari model rambut hingga kebijakan negara.

Oleh : Husni Hardiansyah
Illustrator : Didin Mujahidin