Kakek Aki

Sayyidah Zahratul Aulia


Sarah berbisik, “Kapan dia akan pulang?” Setelah itu, aku diam, lalu menegakkan punggung sambil berpura-pura mendengarkan celotehan Kakek Aki, sahabat kakek kami. Kakek itu menyuruh kami untuk memakan kue yang tersaji, padahal kami tidak sedang bertamu di rumahnya.

Sarah merengut kesal, menampakkan raut muka bosan. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan tidak sabar, berharap Kakek Aki selesai bercerita dan pulang. Dia telah kehilangan waktu untuk tidur siang, tapi Kakek Aki masih belum menamatkan ceritanya.

Kakek berseru dari luar, menandakan bahwa dia sudah pulang dari membeli gas. Kakek Aki menoleh sebentar ke sumber suara, lalu melanjutkan cerita. Mulutnya kering, napasnya terengah-engah. Sesekali dia meminum teh hangat dengan tergesa sehingga membuat baju bagian atasnya basah. Kakek Aki, dengan semangat yang membara, bercerita kepada kami bagaimana dia menyemangati induk ayam di rumahnya yang sedang bertelur.

Kakek langsung menuju dapur sambil membawa tabung gas. Sarah merengut kesal. Kakek Aki kembali bercerita. Kali ini tentang rambut anak sapi. Kakek kembali ke ruang tamu. Aku dan Sarah melenguh pelan. Sebentar lagi kami akan bebas.”Aku ingin membawa dua cucumu itu jalan-jalan, boleh, kan?” pinta Kakek Aki. Kakek mengiyakan. Kami hanya bisa mendengus kesal

***

Setelah agak lama berjalan tanpa percakapan, tiba-tiba Kakek Aki berhenti. Kami segera menyusulnya karena sebuah paku tak sengaja menusuk kakinya yang tanpa alas. Namun, tanpa kami sangka, orang tua itu tersenyum sambil mencabut benda yang menancap di kaki dengan santai. Kami pun Kembali melanjutkan perjalanan.

“Aku senang kakiku terluka,” katanya sambil membalikkan badan, menatap kami bergantian, lalu kembali menghadap ke depan.

Sarah mendekat padaku. Bulu kuduknya merinding. Pemandangan perlahan berubah. Di depan sana terlihat banyak gundukan tanah serta batu nisan. Lokasi perkuburan yang jauh dari aktivitas orang-orang membuat tempat ini sepi.

Kami tidak kabur—walau takut, justru terus mengikutinya dari belakang. Kakek Aki berhenti di samping salah satu makam, menatapnya sendu, lalu berjalan ke pohon beringin besar. Kakek Aki menghela napas pelan saat berhadapan dengan batang pohon. Tangannya masuk ke saku celana, kemudian mengeluarkan pisau lipat.

Tubuh Sarah menegang. Prasangka buruk dengan cepat bertebaran di pikiran kami. Aku menelan ludah. Tingkah aneh, wajah Kakek Aki yang berubah menjadi serius, serta pisau di tangannya adalah sesuatu yang mengerikan. Itulah alasan mengapa kami berpikir dia akan melakukan sesuatu yang aneh pada kami.

“Kakek, aku ingin pulang!” teriak Sarah.

Kakek Aki membalikkan badan, lalu menatap kami dengan tajam. Aku dan Sarah tersentak. Adikku mundur selangkah, lalu menyembunyikan tubuh dan wajahnya di balik punggungku. Aku menahan napas. Jantungku berdegup kencang. Kakek Aki mendekat dengan pisau tergenggam di tangan. Sarah mencengkeram bajuku. Tangannya bergetar hebat.

Kakiku tak bergerak. Sarah mulai terisak. Kakek Aki tak akan menyakiti kami. Tak lama, kakek itu sudah berada di hadapanku. Tatapannya masih tak berubah. Aku mundur selangkah. Tatapan aneh Kakek Aki benar-benar membuatku merinding. Sarah memejamkan mata, tangannya masih mencengkeram bajuku.

Saat mengalihkan pandangan, aku tak sengaja menangkap sebuah gambar di lengan kiri Kakek Aki. Bekas luka? Sepertinya Kakek Aki sengaja membentuknya menggunakan benda tajam seperti pisau atau cutter. Saat aku lengah karena memikirkan gambar di tangannya, Kakek Aki melesatkan pisaunya ke dahiku. Jantungku berdentum. Napasku tertahan.

Beberapa helai rambutku jatuh. Tangan keriput itu memegangi kepalaku, membuatku tak bergerak sedikitpun. Kemudian, dia memotong rambutku yang agak panjang. Aku tertegun.

“Aku tak suka kamu,” kata Kakek Aki sambil menatap Sarah. Dia membuang helaian rambutku ke tanah. “Kamu harus tahu tata krama.” Sarah kecil memang takut, tapi dia tetap memberontak. “Apa yang kita lakukan di sini? Tidak ada. Kita sudah berjalan-jalan jauh, Kek. Saatnya pulang!”

Kakek Aki menggenggam pisaunya dengan erat. Sarah masih berdiri di belakangku. Tiba-tiba, wajah Kakek Aki memerah. Dia mulai marah.

“Kamu tak usah banyak bicara!” Nadanya meninggi. Kami tersentak. Gigi Kakek Aki bergemeretak. Sarah kembali menyembunyikan wajahnya di balik punggungku. “Kami minta maaf,” kataku pura-pura tenang. Tatapan Kakek Aki perlahan melunak. “Mungkin Sarah sedikit kelelahan. Tadi dia belum tidur siang.”

Setelah itu, Kakek Aki kembali ke pohon beringin. Dia meraba batang pohon besar yang menjulang di hadapannya, lalu berpindah ke sisi yang lain. Setelah menemukan apa yang dicari, dia mengukir sesuatu di sana.

Ada gambar wajah laki-laki dan perempuan tua di batang beringin. Kakek Aki mengukirnya kembali menggunakan pisau sehingga gambar itu terlihat lebih jelas. Tiba-tiba, wajah Kakek Aki terlihat sedih. Tangannya membelai ukiran dengan lembut. Matanya berkaca-kaca.

Sarah mencengkeram tanganku. Kakek Aki berbalik, lalu menatap kami sambil tersenyum. “Aku suka bila kakiku terluka. Paku itu tak menyakiti kalian, kan?” Kakek Aki tertawa kecil. Tangannya belum lepas dari ukiran wajah perempuan di batang pohon beringin. Lalu, setetes air mata jatuh di pipinya.

***

Sesampainya di rumah kakek, Kakek Aki pamit pulang. Sarah langsung pergi ke belakang untuk mencuci wajah. Aku berdiri di teras bersama kakek sambil menatap punggung Kakek Aki yang perlahan menjauh.

“Bagaimana jalan-jalan sorenya, Radi? Menyenangkan?” tanya kakek. Matahari turun. Langit dihiasi warna jingga yang indah.

Aku mengangguk pelan. “Aku rasa Kakek Aki sedang merindukan seseorang.”

Entahlah. Aku merasa seakan tahu apa yang dirasakan Kakek Aki saat dia membelai ukiran dua wajah itu. “Istrinya meninggal lima tahun yang lalu. Wanita itu meninggal dunia karena serangan jantung. Dulu, di sini tak ada dokter. Kami harus meminjam mobil milik Pak RT untuk pergi ke klinik yang terdapat di desa seberang yang jauhnya bisa berkilo-kilometer. Saat itu kami tak bisa menolong istri Aki karena tak ada mobil yang bisa dipakai.”

“Apa yang dia lakukan setelah itu? Mengukir sesuatu di lengannya sendiri?” tanyaku.

Kakek terkejut. Kemudian menjawab, “Aki memang merasa sangat kehilangan. Dia sering mengigau, membenturkan wajahnya ke dinding. Dia juga mengukir wajah istrinya di lengan kirinya. Pada saat acara pemakaman, Aki menggambar hal yang sama di batang pohon beringin di area pemakaman istrinya. Tingkahnya yang aneh tak bisa hilang. Syukurlah, sekarang dia tak lagi melukai diri sendiri.”

Tiba-tiba, Sarah memegang tanganku. Matanya menyorotkan perasaan bersalah. Tapi waktu tak bisa diulang. Kakek Aki sudah pulang ke rumahnya, sedangkan besok kami harus pulang ke kota.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment