Jika Al-Quran Dipandang Sebagai Karya Seni

Romiz Alam, guru di pelosok desa


Penyakit yang menjangkiti kita dalam melakukan sesuatu yakni menjadikannya sebagai formalitas saja. Mengapa saya sebut penyakit? Karena kita menganggap hal yang sebenarnya bermanfaat bagi kita hanya sebagai rutinitas belaka. Dan parahnya, dengan kita melakukan rutinitas tersebut, kita menganggap akan mendapat feedback atau manfaat.

Sebagai contoh, saat kita melakukan salat lima waktu berjamaah di masjid. Dengan salat jamaah tersebut, kita menganggap akan mendapat pahala. Memang hal itu sesuai dengan dalil: “Barangsiapa yang salat berjamaah akan mendapat pahala dua puluh tujuh derajat”.

Namun, apakah tujuan salat hanya mengharap pahala? Kalau memang itu yang kita harapkan, boleh jadi kita hanya melakukannya sebagai rutinitas saja. Mengumpulkan pahala, semata-mata ingin memberatkan timbangan saat di akhirat kelak. Dalam hal ini, aturan “main” agama Islam berbeda dengan bisnis. Jika diibaratkan pahala adalah uang, tentu orang yang mengumpulkan uang paling banyak adalah yang mendapat untung.

Namun dalam Islam apakah orang yang salat atau melakukan ibadah mahdoh adalah orang yang selalu mendapat kebaikan? Jawabannya belum tentu. Karena, boleh jadi orang yang melakukan ibadah-ibadah mahdoh tersebut tidak mengetahui esensi yang sebenarnya, dan berhenti pada tataran formalitas saja. Secara tidak sadar kita terjebak pada pemikiran mistik, yang mengharap pahala dan sebenarnya tidak kita ketahui wujudnya.

Kemudian seperti apa esensi dari ibadah? Dalam Islam, selain kita beribadah kepada Allah juga beribadah kepada sesama manusia. Singkatnya, ibadah yang kita lakukan khususnya salat harus berimplikasi dalam kehidupan sehari-hari, itulah esensi salat yang sebenarnya. Kemudian salat yang kita lakukan setiap hari, jangan berhenti pada tataran rutinitas saja, namun harus sampai pada tingkah laku kita. Semakin rajin melakukan salat, semakin rajin pula kita menolong sesama. Semakin khusuk salat kita, semakin peduli pula kepada fakir miskin.

Jika kita runut, sebenarnya terdapat hubungan antara kebiasaan yang demikian itu dengan pola Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar (SD). Sejak dini, anak-anak mengenal Al-quran sebagai bahan bacaan dan hafalan saja. Penerapan pelajaran agama Islam yang ada di SD kebanyakan hanya sebatas teori. Mulai dari hafalan surat pendek, hafalan nabi-nabi, hafalan malaikat, atau bahkan sekadar diajarkan menghitung zakat tanpa tahu hakikat zakat.

Salah satu materi yang diajarkan di SD adalah surah Al-Ma’un. Dalam buku ajar tersebut, hanya membahas arti dan kandungannya saja. Ujung-ujungnya anak disuruh menghafalkan, tanpa melakukan praktik yang sesuai dengan makna Al-Ma’un. Jika Al-Ma’un diajarkan, seharusnya anak diajarkan pentingnya berbagi kepada sesama dan saling tolong menolong.

Sejak kecil, anak-anak hanya didoktrin bahwa Al-quran adalah bacaan, bukan sebagai mahakarya dari Sang Khaliq. Tentu berbeda, jika menganggap Al-quran sebagai sekadar bacaan dengan Al-quran sebagai karya dari Tuhan.

Sebagai orang yang menyukai seni, saya berandai jika Al-quran dapat dinilai sebagai sebuah karya seni. Menilai seni itu bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu dari aspek teknis pembuatan, konteks yang tersirat, dan konsep sebuah karya.

Lukisan Van Gogh “Self-Portrait with Bandaged Ear”

Sebagai contoh sebuah lukisan dari Van Gogh yang terjual milyaran rupiah ini. Dalam karya tersebut Van Gogh menggambar dirinya dengan perban yang melingkar di kepala.

Orang awam mungkin memandang lukisan tersebut biasa saja. Namun jika kita mengetahui konteksnya, lukisan tersebut dibuat saat Van Gogh memotong telinganya sendiri. Tentu, hal yang demikian itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.

Harusnya kita punya penilaian lain setelah mengetahui makna dalam lukisan tersebut. Alih-alih dimaknai sebagai lukisan abstrak yang asal corat-coret saja, lukisan tersebut pasti menyimpan makna tersirat.

Selain itu, yang tak kalah fenomenal adalah tulisan-tulisan dari Wiji Thukul. Setiap karya sastra yang dibuat Wiji Thukul pasti sangat mewakili sifatnya. Jadi, apa yang dilakukan Wiji Thukul sesuai dengan tulisannya. Itulah yang menyebabkan beliau dikenang sampai sekarang. Demikian pentingnya kita menilai sebuah seni agar tidak memandang seni sebagai hiasan belaka, namun ada pesan yang ingin disampaikan oleh si pembuat.

Begitu pula dengan Al-quran. Jika kita lebih mentadaburi, yakni paham bagaimana Al-quran diturunkan, kemudian konteks atau makna yang terkandung di dalamnya dan konsep yang ada di Al-quran, pasti kita akan kagum dan lebih menjiwai.

Boleh jadi kita tidak bisa mendalami al-quran karena tidak mengetahui konteks yang tersirat dalam Al-quran. Atau bisa jadi kita tidak mengetahui konsep dalam Al-quran yang sebenarnya relevan untuk setiap zaman, dan untuk setiap permasalahan. Kita sering kali hanya mengambil konsep dari Al-quran yang sesuai dengan kebenaran pribadi tanpa mengetahui seluruh bagiannya. Sehingga niat kita untuk meneladani sikap-sikap Rasul terhenti pada urusan formalistas saja.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment