Jembatan Gawat Darurat

“Raa.. itu si Wono kakinya berdarah”

“Ha, kenapa?”

“Ngga tau habis nyangkul jadi kaya gitu kakinya”

“Sekarang Wononya di mana?”

“Tuh, di jembatan”

Sita, sang psikolog kampus memberikan kabar itu padaku. Lagi-lagi Wono mahasiswa dari pucuk kandang alias peternakan kembali berulah. Kemarin lusa tangan kanannya kena timpukan palu, kemarin banget kaki kirinya luka, hari ini kaki kanannya terkena kayu, lalu besok apa lagi? lelaki.. lelaki.. luka kok jadi hobi.

Segera aku beranjak dari peristirahatan ternyamanku. Kamar kayu itu. Tak lupa aku membawa senjata utamaku, tas P3K lengkap dengan seperangkat pembersih lukanya. Ku hampiri Wono yang sedang duduk termenung di ujung jembatan sana. Jembatan yang biasa kami sebut dengan UGD, karena hanya di sanalah anak medika dapat leluasa mengobati kaki dan tangan mereka yang terluka. Disamping tempatnya yang terang dan terbuka, di sana mereka tak perlu khawatir diteriaki para penghuni pondokan wanita.

“Gimana Won? Apa lagi yang luka? Seneng banget sih jadi langganan anak medika.” teriak sosok di pondokan wanita.

“Hehe… tadi kena kayu pas nyangkul-nyangkul,” jawab Wono.

“Jangan galak-galak to… ” Kata Enu membela temen satu jurusannya.

“Lah aku galak po?”

Tanyaku sembari membersihkan luka yang dibalut dengan lumpur yang mulai mengering itu. Sudah hampir menjadi kebiasaan dalam tim, selepas melakukan program kerja yang mengandalkan fisik, ada saja yang sakit dan terluka.  Alasannya beragam, sakit perut lah, kena paku lah, kena kayu lah, jatuh dari ‘Viar’lah (semacam gerobak motor, kendaraan andalan anak-anak KKN) sampai terperosok jembatan pun ada. Terlebih para manusia ganteng pondokan sebelah. Sepertinya luka-luka itu sudah menjadi hobi yang mereka tekuni sepanjang anak-anak KKN ini disini.

Beruntungnya, kami mahasiswa klaster medika selalu diberi kesehatan oleh Allah SWT. Sehingga kami selalu siap sedia jika ada yang terluka, selalu siap ngomelin mereka ketika ngeyel semua. Tapi menurutku disitu lah sisi bahagia yang didapatkan seperti membantu membersihkan luka mereka, memberi obat pada mereka, membalut luka mereka, dan menjawa pertanyaan-pertanyaan mereka yang sering membuatku tertawa. Semua hal itu rasanya berbeda. Ya hanya dengan hal-hal kecil seperti itu saja aku merasa lebih bermanfaat di sana.

“Nah, udah selesai” Kataku

“Udah? Gitu aja?”

“Iya udah. Mau apa lagi?” Tanyaku.

“Ngga mau apa-apa sih” Kata dia dengan nada cuek-cuek gimana gitu.

“Tangan kanan udah, kaki kiri udah, kaki kanan udah. Tinggal tangan kiri” Lanjut Wono dengan bangganya.

“Terserah kamu lah Won” Kataku sedikit jutek dengan menahan tawa. Gimana ya mau  ketawa takut dosa. Mau ngga ngomel tapi gemes. Ya sudahlah. Terserahlah. Sebahagianya dia.

Sempat terbesit rasa sedih di hati ketika mendengar teman-teman sakit dalam waktu yang hampir bersamaan di saat sekitar minggu ke 5-6 kami berada di sana. Waktu tanggung dimana masa-masa KKN hampir usai, saat dimana tubuh mulai merasa jenuh, saat dimana kami berlomba dengan waktu untuk menyelesaikan program dan laporan yang entah bagaimana nasibnya. Cuaca yang tidak menentu, Kegiatan yang padat ditambah dengan rapat pagi dan evaluasi malam hari, serta rindu sanak keluarga menjadi alasan yang mendukung bahwa tubuh kami seakan mengisyaratkan rasa lelah.

Dari sinilah aku mendapatkan banyak pelajaran berharga. Pelajaran yang tidak aku dapatkan ketika di kelas dan praktik lapangan lainnya. Saat Isya sesak napas sedangkan dia tidak punya riwayat sesak dan kami tidak membawa oxican, saat Falah demam sampai harus mendekam di pondokan, saat Wawan sakit dan dia mencoba tetap kuat, Saat Enu panas tinggi hingga kejang, saat Nunung demam sampai harus kekota untuk berobat, saat Ipang gatal-gatal sampai harus rawat inap di RS, saat kaki Bimo terluka sampai dikelilingi oleh semut, saat kaki dan tangan Wono penuh luka tapi dia malah bangga, saat kaki Ari infeksi hingga harus operasi di Jogja. Semua itu membuat saya belajar, introspeksi diri, dan  memahami profesi saya kedepannya. Terima kasih teman-teman. Terima kasih Sepunggur.

Oleh : Arina Nursafrina Rahmatina
Editor : Novania Wulandari
Illustrator : Mufardisah

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment