“Sebel banget deh, Nis. Masa ya dospemku itu cuek banget, aku whatsapp tadi malam balasnya baru pagi ini. Abis itu tiba-tiba langsung nyuruh aku bimbingan hari itu juga lagi.”
Sahabatku, Rara, tidak berhenti mengomel sejak kami memasuki warung bakso urat di depan Hotel Tentrem untuk mengisi perut di siang terik Kota Jogja. Aku yang masih memotong-motong bakso di hadapanku menggunakan garpu dan sendok, kewalahan, memutuskan untuk tidak terlalu menghiraukan celoteh yang keluar dari mulutnya.
“Terus ya, anehnya lagi, halaman yang kemarin nggak kena revisi eh sekarang malah minta revisi lagi.”
Rara melanjutkan omelannya. Aku masih tidak bergeming, memilih untuk menyesuaikan rasa kuah bakso di lidahku. Aroma kuah bakso yang menguar sangat menggoda lidah. Aku menambahkan sedikit saos, sedikit kecap dan cuka, kemudian mencicipinya.
“Nah, udah pas nih rasanya,” kataku dengan ekspresi gembira.
Kini gantian Rara yang terdiam. “Tumben nggak pake sambel yang banyak, Ra?” tanyaku sambil menyodorkan tempat sambal ke arah Rara, kalau-kalau dia kesulitan menjangkaunya. Rara masih saja diam, hanya mengaduk-aduk kuah baksonya dengan ekspresi cemberut.
“Atau mau pake saos aja? Sini aku yang tua…”
“Nis, kamu itu dengar curhatanku dari tadi nggak sih?” Rara memotong pembicaraanku, sepertinya kali ini ia benar-benar jengkel. Aku terdiam. memutuskan untuk melahap bakso pertama yang berhasil kupotong.
“Nisaaaaaa, halooooo, anybody here?”
Rara yang tidak bisa menahan emosinya ketika aku tidak memberikan respon kini sedikit meninggikan suaranya sambil melambaikan kedua tangannya di depan mukaku.
“Iya, Ra. Denger kok,” kataku singkat. Merespon Rara demi menghentikan tindakannya yang menyita perhatian banyak orang, termasuk mas tukang bakso yang sedang terdiam menunggu pelanggan. Tak lama kemudian aku memutuskan kembali melahap bakso.
Rara hanya mengambil napas panjang, ia yang terlanjur bad mood memilih membuka ponselnya. Kami sudah bersahabat sejak semester awal perkuliahan, jadi kami sudah saling mengerti tabiat masing-masing. Aku memang tidak pernah merespon sesuatu secara berlebihan, dan itu bertolak belakang sekali dengannya.
“Liat nih, Nis. Si Putri udah sidang, lho. Bulan depan dia wisuda. Gila cepat banget, perasaan kita sempronya bareng, kok dia bisa secepat itu ya, Nis? Keren!” Nisa menyodorkan ponselnya ke arahku, di layar ponsel itu terlihat Putri, teman sekelas kami, menyunggingkan senyum dengan baju khas sidang skripsi, hitam putih, sambil membawa beberapa buket bunga, dan tak lupa selempang kebanggaan.
“Oh, iya. Keren.” kataku datar.
“Gitu doang responnya? Nggak asyik banget kamu jadi orang. Nisaa, kita gimana nggak ada progres dan kemajuan bulan ini, mau wisuda kapan?”
“Nanti juga sampai waktunya kok, Ra. Dah habisin baksonya, tiba-tiba mendung nih, kayaknya mau hujan deh.” kataku sambil melahap beberapa suapan terakhir bakso milikku.
“Iya, kulkas!” kata Rara, sambil menyuapkan potongan bakso besar ke mulutnya dan mengunyahnya kasar.
Aku hanya tertawa melihat tingkahnya.
***
“Lho kok malah berhenti di sini, Nis. Katanya mau hujan, bukannya ngebut malah markirin motor, gimana sih?” Rara si tukang ngomel tentu saja mengeluarkan jurus utamanya ketika aku tiba-tiba memarkirkan motor begitu saja di pojokan alun-alun.
Seperti biasa, aku hanya diam. Melepas helm di kepala, dan bergegas berjalan menuju bapak penjual sabun gelembung. Aku hanya harus memastikan Rara berjalan mengikutiku juga, selebihnya omelannya terdengar seperti angin di telingaku.
“Pak, beli sabun gelembungnya dua ya, Pak.” kataku pada bapak penjualnya. Ia menyodorkan dua gelas sabun gelembung beserta peniupnya.
Aku menyodorkan satu gelas sabun gelembung kepada Rara.
“Ih kayak anak kecil deh, Nis. Mainan kaya gini.”
Aku berjalan mendekat ke gerombolan anak kecil yang juga sedang bermain gelembung. Duduk di pinggir, dan mencoba meniup sabun gelembung yang tadi ku beli. Rara masih mematung di dekat bapak penjual sabun gelembung. Mungkin ia masih heran dengan tingkahku. Tak lama, Rara berjalan mendekat. Duduk persis di sebelahku, dan melakukan hal yang sama denganku.
“Ra, segala sesuatu dalam hidup kita memang nggak bisa selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan.” Rara hanya menoleh, memperhatikan raut mukaku yang kini terlihat serius.
“Maka dari itu, terkadang kita perlu jeda, melambat, menikmati proses, mencoba beradaptasi sama alur yang nggak berjalan sesuai sama harapan kita.”
“Dan yang perlu kita ingat, hidup kita adalah tentang apa yang kita perjuangkan, hidup kita bukan sebuah perlombaan. Nggak ada yang kalah dan menang, atau pun si lamban dan si cepat. Ini hanya soal waktu, kita akan menemukan bahagia kita masing-masing.”
Aku melirik Rara yang duduk di dekatku. Rara terdiam. Kulihat air bening jatuh dari kedua sisi matanya.
“Coba kamu lihat anak-anak itu, betapa senangnya mereka bermain, tanpa memikirkan pekerjaan rumah yang menumpuk atau omelan ibunya kala mereka terlambat pulang.” kataku melanjutkan sambil memandangi segerombolan anak kecil di depan kami.
“Hidup kita harus seperti itu, etss, bukan berarti tidak memikirkan masa depan, tapi sebisa mungkin kita nikmati apa yang ada hari ini, saat ini. Dan mensyukurinya, cukup membahagiakan bukan?”
“Nisa, ma..ka..sih.. su..dah..men..ya..dar..kan..ku..ya..” Kini Rara memelukku dari samping sambil terisak.
“Iya, bawel, tapi nggak ingusan di pundakku juga dong,” kataku sambil menyunggingkan senyum.
“Ih, situasi kaya gini aja masih bisa judes, dasar Nisa.” Kami kemudian tertawa bersama-sama.
Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.