Jangan Paksa Anak untuk Mengejar Prestasi

Sidiq Wahyu


Beberapa waktu lalu, saya membaca grup Whatsapp sekolah. Ada salah satu wali siswa yang menanyakan, “Mau nanya. Apakah tahun ini tidak ada pembagian piala, Bu?” Pesan singkat itu ditujukan ke salah satu pengajar.

Kemudian dijawab, “Mohon maaf untuk tahun ini tidak ada pembagian piala.” Orang tua wali kemudian membalas dengan emoticon menangis.

Memang setiap awal tahun, ajaran sekolah saya selalau memberikan apresiasi kepada peserta didik yang mendapatkan prestasi dalam akademiknya berupa piala. Wajar jika sang jawara bertahan kelas mempertanyakan hal tersebut.

Saya tahu betul siapa jawara kelas itu. Seorang anak yang selalu perfect dalam setiap nilai akademiknya. Ditambah, orang tuanya juga selalu menuntut agar anak selalu mendapat nilai sempurna. Orang tua mana yang tidak puas dan senang jika anaknya mendapat nilai sempurna?

Hal serupa dapat dijumpai di sekolah manapun, Orang tua yang menuntut anaknya mendapat nilai sempurna. Orang tua akan menempuh segala cara agar anaknya mendapatkan nilai sempurna.

Cara yang digunakan orang tua agar mendapatkan nilai sempurna beragam, ada yang sampai anaknya mengikuti beberapa bimbingan belajar sampai mengundang guru ke rumah. Ada yang marah jika si anak tidak mendapat nilai bagus. Satu hal yang orang tua mau, pokonya nilai harus sempurna. Memang baik belajar, tapi jika semua berlebihan tidak menjadi baik.

Orang tua pasti bangga anaknya mendapat nilai sempurna, tapi jika kesempurnaan itu dicapai dengan cara yang salah, malah akan merusak kesempurnaan itu. Cara yang salah adalah dengan memaksa anak mendapatkan nilai sempurna.

Pernah suatu ketika saya mendapat cerita ketika Ibu-ibu dan anak mereka sedang berkumpul. Ada seorang ibu memarahi anaknya, “Kok kamu cuma dapat nilai 90, kenapa gak dapat 100?” Katanya dengan nada sedikit marah.

Ibu lain membalas “Oalah Bu, anaknya dapat nilai 90 aja dimarahi. Lha anak saya yang dapat 60 saja biasa saja.”

Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan anaknya ketika dimarahi. Tentu, tidak menyenangkan. Orang tua seperti itu, adalah orang tua yang lebih mementingkan hasil yang tampak, ketimbang proses perjuangan anak dalam berusaha.

Dengan memaksa anak seperti itu sama saja dengan mengambil kemedekaan anak. Padahal, dunia anak adalah dunia yang penuh kebebasan. Bentuk kebebasan anak adalah mereka bebas mengekspresikan diri mereka masing-masing.

Anak memiliki caranya masing–masing dalam mengekspresikan dirinya. Anak suka belajar, membaca, bermain atau bahkan hal –hal lain di dunia anak adalah bentuk mereka mengekspresikan diri mereka. Sudah sepantasnya setiap bentuk ekspresi anak perlu kita apresiasi dan kita arahkan. Yang salah adalah ketika kita tidak pernah mengapresiasi anak dalam hal sekecil apapun.

Kita sering mendengar sebutan anak nakal bagi yang memiliki keaktifan lebih atau aktifnya di luar jalur wajarnya. Sebutan anak nakal memiliki konotasi negatif bagi anak dan sama sekali jauh dari kata apresiasi.

Jika anak sering dijuluki anak nakal, maka dalam alam bawah sadarnya anak pasti akan merasa bahwa dirinya tidak layak untuk menjadi manusia yang lebih baik, dan pada akhirnya ia akan melakukan hal yang di luar wajar.

Inilah pentingnya apresiasi bagi anak, dengan apresasi alam bawah sadar anak akan terbangun framing yang positif. Dengan apresiasi, anak akan merasa dihargai sekecil apapun itu. Karena anak merasa dihargai pasti anak akan melakukan hal yang lebih baik lagi.

Saya kebetulan pernah mendapingi 40 anak selama tiga tahun hidup di asrama bersama mereka. Bagi saya mereka adalah anak yang spesial. Saya belajar dari mereka, bahwa anak-anak harus sering kita dengarkan.

Kita memiliki dua telinga artinya kita harus lebih banyak mendengarkan mereka dari pada memarahi mereka. Mendengarkan anak adalah salah satu bentuk apresiasi, meskipun sederhana itu akan sangat membekas dalam diri mereka.

Dengan kita serirng mendengarkan mereka, kita akan lebih mengenal potensi mereka. Potensi itu yang kemmudian kita arahkan agar mereka melakukan hal yang lebih baik lagi.

Pendidikan adalah mengarahkan bukan membentuk. Kembali kepada fitrah manusia yang memiliki karakteristik yang berbeda–beda. Begitu pula dengan orang tua, saya yakin bahwa orang tua tidak bisa membentuk anaknya sesuai denga keinginan orang tua. Tidak harus memaksa anak menjadi apa, biarkan anak bahagia dengan jalannya sendiri. Tugas kita sebagai orang yang lebih tua adalah mengarahkannya.

Tinggal bagaimana kita bisa mengarahkan anak untuk lebih baik lagi. Kunci dari semua itu adalah membangun komunikasi yang baik dengan anak. Berangkat dari pengalaman saya, awal membangun komukasi yang baik adalah lebih banyak mendengarkan dari pada menasehati.

Dengan didengarkan, anak merasa lebih dihargai. Ketika anak merasa dihargai itu adalah titik di mana kita akan mudah mengarahkan anak menjadi lebih baik.

Biarkan anak kita mengekpresikan dirinya dengan bebas sesuai potensi mereka masing – masing. Karena dengan kebasan anak akan merasa lebih bahagia.

Memang bangga mendapat nilai sempurna, tapi angka bukan segalanya. Pendidikan bukan hanya sekedar dari angka, tapi lebih luas dari itu. Pendidikan adalah tentang hakikat menjadi manusia yang sebenarnya. Pendidikan akan berhasil ketika manusia hidup dengan cara yang benar dan bahagia.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id

What's your reaction?
2Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment