*) Azhar Syahida
Tempo hari teman saya mengirimi pesan melalui hape, “Aku ingin ke Jakarta, Zhar.” Katanya. Saya tanya kenapa, dia jawab ingin sesuatu yang lebih. Saya tanya balik, “Lah, emang di tempat sekarang nggak maju?” Teman saya ini tinggal di Yogya. Pikir saya, dari pada di Jakarta, lebih baik di Yogya. Setidaknya masih ada kedamaian yang lebih berarti daripada di Jakarta. Boro-boro bahagia, untuk menarik nafas saja sulit minta ampun.
Saya jadi menaruh curiga, jangan-jangan teman saya ini sudah terserang ‘sindrom’ aneh yang menyebut Jakarta sebagai pusat jagat Indonesia; semua orang di Jakarta dianggap satu level di atas banyak orang, terutama soal gaji, wawasan, pergaulan dan fesyen. Juga, soal Bahasa, “which is” [?]
Saya menyebut sindrom tersebut aneh karena Jakarta sejatinya nggak begitu. Di balik ragam stigma tersebut, saya melihat Jakarta menyimpan sejuta rahasia.
Begini, Kawan. Saya beritahu, tidak sepenuhnya orang yang bekerja di Jakarta itu makmur.
Ini saya observasi sederhana saja, ya. Di Jakarta ada tiga kelas pekerja—kalau ini kita ngomong soal level gaji: ada kelas pekerja kasar yang gajinya tidak menentu, ada pekerja kantoran yang ‘asli’ gajinya sangat pas-pasan—meski nominalnya di atas rata-rata orang Indonesia lainnya, tapi biaya hidupnya?—walau, mereka bekerja di kawasan bergengsi: Tamrin dan Soedirman. Dan, ketiga, orang dengan gaji rata-rata di atas 2 digit. Oh ya, di Jakarta kita tidak mengenal “White Collar” dan “Blue Collar”, selayaknya di Amerika. Ya, ini cukup melegakan.
Kalau mau jujur, di Jakarta, orang yang bergaji dua digit itu sangat sedikit—dua digit itu maksudnya gaji mulai dari Rp 10 juta ke atas. Kebanyakan didominasi oleh kelompok pertama dan kedua. Mungkin relatif berimbang antara kelompok pertama dan kedua. Tapi, agaknya masih sedikit lebih banyak di kelompok kedua yang memperoleh gaji standar UMR Jakarta. Kelompok pertama itu di bawah UMR.
Sebetulnya, kalau kita pakai hitung-hitungan kasar, hanya kelompok terakhirlah yang layak disebut satu level di atas rata-rata. Merekalah yang disebut memenuhi kriteria hidup layak.
Kalau terjadi guncangan ekonomi karena pemutusan kerja, mereka masih bisa bertahan hidup setidaknya untuk beberapa bulan ke depan, mereka masih bisa membeli secangkir cokelat hangat di café mahal sambil ngobrol berjam-jam tanpa tahu waktu.
Sedangkan kelompok pertama dan kedua adalah orang yang sama: sama-sama berhemat ‘luar biasa’ untuk bisa bertahan hidup. Bahkan, untuk kelompok pertama, mereka dilematis.
Sekali waktu pada penghujung Agustus 2019 saya bertemu seorang ibu penjual nasi kuning di Stasiun Pasar Senen. “Sekali datang ke Jakarta, orang kayak saya ini susah pulang, Mas.” katanya. Ya, ibu itu masuk kelompok pertama; kelompok yang terjebak di Jakarta: bisa masuk, nggak bisa keluar—berbeda dengan kelompok ketiga yang berperasaan, “Sekali masuk enggan pulang”. Ha-ha-ha. Itu dari sisi level ekonomi.
Kemudian kalau melihat sisi pergaulan dan wawasan, saya kira sama saja. Malahan, saya merasa lebih nyaman untuk tinggal di luar Jakarta dengan kawasan yang tidak begitu ramai. Sebab, di situlah kita bisa leluasa belajar dengan lebih tenang dan sesekali mengendurkan urat saraf ketegangan kerja.
Apalagi? soal fesyen? Ah, sangaaat sama. Malahan, kalau Anda telusuri dengan jajak pendapat sederhana, Anda akan tahu, sebagian besar warga Jakarta sangat menghemat untuk urusan fesyen, terutama mereka yang berada di kelompok ekonomi pertama dan kedua—saya di barisan ini, sudah pasti. Sedikit rahasia, warga Jakarta adalah pemburu “diskon” akut. Saya lihat sendiri, orang ramai menyemut mencari diskon akhir tahun. Ya wajar sih, namanya juga akal rasional manusia; mencari yang termurah untuk dapat yang paling bagus.
##
Kalau itu semua adalah kriteria hebat, maka tidak semua orang yang berangkat ke Jakarta itu lantas bisa disebut demikian. Sebab, kalau kita memaksa menyebut hebat, hal itu cukup tidak adil, dan mungkin akan terasa mencela orang yang harus bertahan hidup dengan susah payah di kota yang nggak pernah bisa dijelaskan dengan perasaan “tenang” ini.
Putri, sahabat saya yang sebentar lagi mengajar di sebuah SMKN di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, bilang, konsep hidup di Jakarta adalah ‘speed‘, lari dengan cepat. Siapa yang berjuang dengan cara dan kecepatan yang sama dengan tempat sebelum di Jakarta, nggak akan mendapatkan apa-apa. Namun, bila kita bekerja dengan kecepatan tertinggi, kita akan mendapat sesuatu. Teman saya ini benar. Saya sepakat, Jakarta menuntut kecepatan itu.
Begitulah. Jakarta nggak bisa kita simpulkan sebagai sesuatu yang sepenuhnya besar, kalau pun benar ia besar dan hebat, di balik semua itu ia justru menutupi bayang-bayang segerombolan orang yang enggan menyebut Jakarta besar dan hebat. []