Beberapa waktu lalu publik sempat digemparkan oleh pernyataan Menteri Agama, Fachrul Razi soal orang yang “good looking” bisa saja menyebarkan paham radikalisme ke masyarakat. Nah, baru-baru ini muncul juga hal yang mirip, yakni ketika warganet +62 ada yang secara terbuka di media sosial Twitter, mengaku bahwa dirinya penggemar Isabella Guzman, wanita muda asal Amerika Serikat yang menikam ibunya sebanyak 151 kali.
Ya, pendek kata, mereka nge-fans sama seorang pembunuh. Lantas hal tersebut mengundang atensi warganet lain untuk turut mengomentari pernyataan aneh itu. Salah seorang warganet bilang bahwa orang yang nge-fans dengan Isabella Guzman tak lebih karena sang pembunuh merupakan wanita muda yang “good looking”.
Entah pernyataan itu memang benar adanya atau cuma bercanda, tapi patut digarisbawahi kata “good looking” kini meruak dan jadi salah satu bahan diskusi yang menarik. “Good looking” sendiri identik dengan penampilan yang sedap dipandang. Dalam hal ini, berarti bagian luar atau fisik menjadi yang utama untuk diperhatikan, misalnya dari wajah hingga pakaian yang dikenakan.
Definisi dari “good looking” sendiri kadang dipersempit hanya sebatas tampan atau cantik, tapi juga ada yang mengatakan bahwa “good looking” tak mesti tampan atau cantik yang notabene subjektif, tapi lebih mengacu pada aspek kerapian dalam berbusana.
Dari segala asumsi di atas, maka “good looking” menjadi prioritas untuk sebagian khalayak, terlebih lagi ada beberapa lowongan kerja yang menjadikan “good looking” sebagai salah satu persyaratan yang mesti dipenuhi. Ini jadi malapetaka bagi orang yang “bad looking” karena bisa saja ia memiliki keterampilan yang mumpuni namun pas lihat syaratnya wajib “good looking” eh malah ndak jadi lamar kerja dengan alasan: minder.
Ketahuilah, bahwa “good looking” sendiri menurut hemat saya dekat dengan pembentukan kesan atau citra. Tahu kan adagium, “Jangan menilai buku dari sampulnya”, nah adagium tersebut lumrah kita dengar ketika ada yang menilai orang lain hanya dari penampilan belaka tanpa harus berkenalan terlebih dahulu. Ya, itu idealnya, tapi realitas mengatakan hal lain bahwa penampilan penting untuk mengundang citra positif dan menunjang karier seseorang.
Seperti halnya sebuah iklan yang mempromosikan produk kuliner tertentu. Pasti kemasannya dibuat seciamik mungkin agar bisa tertanam di benak khalayak. Urusan enak atau enggak itu belakangan, yang penting secara penampilan dapat menggugah selera dulu, itulah tujuannya!
Kalau manusia, ya tentu dia mesti bersolek diri agar terlihat “good looking”. Misalnya dengan membeli barang-barang trendi, maka akan ikut membantu meningkatkan citra dirinya di depan khalayak. Atau bisa juga pergi ke salon untuk melakukan perawatan tubuh guna menguatkan kesan positif tersebut.
Tanpa disadari kita telah masuk menjadi masyarakat pesolek (dandy society), masyarakat yang memuja ketampanan atau kecantikan sebagai yang wahid. Di sini agaknya manusia lepas dari yang substansial dalam dirinya. Tatkala penampilan luar lebih diprioritaskan ketimbang perilaku.
Psikolog Universitas Harvard, Nancy Etcoff, dalam Survival of the Prettiest: The Science of Beauty (1999) menyebut gejala yang mengutamakan “good looking” sebagai Lookism. Lookism adalah teori yang menganggap bahwa bila lebih baik penampilan Anda, maka lebih sukses ia dalam kehidupan. Maka jangan heran banyak produk kosmetik, menjamurnya pusat kebugaran, program diet, ataupun jasa operasi plastik, sebab mungkin saja itu sebagai gejala kalau masyarakat kiwari amat membutuhkan sarana pendukung untuk mempertampan atau mempercantik rupa.
“Good looking” akhirnya hanya sekadar pertukaran simbolik di antara sekumpulan manusia. Maksudnya ia dihargai karena punya wajah ganteng/cantik, pakaian necis, otot kekar atau tubuh langsing, potongan rambut kekinian dan lain sebagainya. Masalah perilakunya terhadap orang lain itu nanti saja. Penyebaran citra positif lewat “good looking” memang tak salah.
Presiden Indonesia yang paling lama berkuasa kayak Suharto pun mengadopsi pemikiran “good looking” lewat pepatah Jawa Ajining Salira Saka Busana (Penghargaan seseorang tergantung busananya). Sebab, konon katanya penampilan itu gambaran dari watak atau kepribadian seseorang. Entah asumsi itu masih relevan atau tidak dengan kehidupan manusia saat ini.
Tapi kalau dilihat rekam jejak para koruptor yang meggorogoti uang rakyat, jelas-jelas penampilannya perlente. Bahkan kalau kita tarik pernyataan Menteri Agama, Fachrul Razi yang bilang radikalisme bisa disebarkan oleh orang “good looking” dan yang ia maksud “good looking” adalah ahli agama, maka Menteri Agama era Presiden SBY (2009-2014), Suryadharma Ali bisa jadi contoh betapa orang yang “good looking” dalam agama bisa melakukan tindak korupsi dana pelaksanaan ibadah haji tahun 2010-2013. Hal yang sangat radikal sekali, bukan? Ya radikal, karena korupsi adalah salah satu tindakan yang hingga kini menjadi akar kebobrokan suatu negara.
Berangkat dari hal tersebut, seyogianya pandangan bahwa “good looking” dalam penampilan tak serta merta menggeneralisasi bahwa “tampilan rapi, maka baik budinya”. Ada proses yang berkelanjutan agar lebih tahu karakter seseorang ketimbang sekadar melihat kulit luarnya saja. Toh, tak semua orang “bad looking” buruk perangainya. Malah di zaman sekarang, yang namanya gembel atau gelandangan bisa menginspirasi orang-orang terkenal.
Gembel atau gelandangan yang kita lihat di pinggir jalan maupun di jembatan penyeberangan orang (JPO) amat jelas dari segi dandanannya urakan, lusuh, tak rapi. Namun mereka bisa memberikan inspirasi untuk Baim Wong dan Atta Halilintar guna meniru gaya mereka – khususnya busana. Rela turun ke jalan, berjibaku dengan debu, terik mentari, dan kedekilan yang dibuat-buat. Walhasil, itu berpengaruh pada subscriber akun youtube-nya mereka yang meroket.
Kita manusia sibuk dengan istilah “good looking” sebagai batu sandaran untuk melihat katakter atau watak seseorang. Padahal Tuhan sendiri tidak menilai seseorang dari jabatan apalagi penampilan. Yang dilihat hanya satu: ketakwaan. Oleh sebab itu, sudah saatnya membuang istilah “good looking” dan membentuk pandangan yang lebih segar dalam menilai seseorang, ya kan?
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.
1 Comment
Escactaps
[url=https://fastpriligy.top/]priligy in usa[/url] Consult a healthcare provider for medical advice on the best NSAID for you