ISLAM KONTRA PENINDASAN!



Oleh: Farhan Aji Dharma
Founder Penerbit Timur Barat
@farhanajidharma


“Al-Quran merupakan kitab suci yang pro-rakyat miskin tetapi anti terhadap kemiskinan” -Ahmad Syafii Maarif-

Mengambil petikan pernyataan Guru Bangsa sekaligus mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Ahmad Syafii Maarif di atas, tentu dapat diambil sebuah konklusi yang otentik tentang keberpihakan Islam kepada kaum-kaum tertindas yang dalam pernyataan beliau tersebut lebih spesifik ditujukan kepada kaum yang ditindas oleh perekonomian kapital yang menjerat kesejahteraan atau kondisi tersebut biasa dikenal dengan, kemiskinan. Di dalam Quran, Allah SWT memerintahkan kepada hamba-Nya untuk selalu bersedekah, berinfak, membayar zakat, dsb. Namun di sisi lain, Quran sama sekali tidak memerintahkan kepada manusia untuk menerima pemberian. Kecuali hadiah atau hibah sebagai bukti ikatan persaudaraan atas nama cinta dan persaudaraan. Hal ini menjadi bukti organik yang digali langsung dari sumber otoritatif umat Islam sebagai pondasi dari gerakan sosial kemasyarakatan yang berdampak pada keseimbangan dan kesejahteraan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Ketertindasan memiliki berbagai pengertian yang relatif dan mudah disangkutpautkan dengan berbagai fakta, peristiwa dan problematika yang berbeda. Namun kesemuanya memiliki satu simpul yang sama tentang ketertindasan, yakni kondisi di mana akses menuju kebebasan dan kesejahteraan tertutup atau sengaja ditutup oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas. Islam, sebagai agama rahmatan lil’alamin, hadir dengan berprinsip membebaskan umat manusia dari segala belenggu yang mengakibatkan kesengsaraan dan ketertindasan. Para Nabi dan Rasul, pada zamannya masing-masing telah membuktikan betapa perlawanan terhadap kedigdayaan penguasa yang mempunyai hubungan antagonistik di tengah umat dilawan dengan sangat konfrontatif dan subversif sehingga melahirkan sebuah perubahan yang sangat radikal. Beberapa contoh diantaranya; perlawanan Ibrahim ‘alaihissalam  yang dilakukan secara simbolik kepada penguasa yang tiranik dengan menghancurkan patung pujaan Namrud, subversi berupa kritik terhadap Fir’aun oleh Musa ‘alahissalam, duel fisik yang dilakukan Dawud ‘alahissalam melawan diktator Jalut, dan masih banyak lagi bentuk perlawanan terhadap kesewenang-wenangan yang dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul pada masanya. Meskipun metode perlawanan masing-masing memiliki perbedaan dan tidak selalu menggunakan pola konfrontasi dan subversi. Sulaiman ‘alaihissalam, melakukan perlawanan dengan langkah-langkah soft power yang diplomatik dan konstitusional terhadap Balqis, Ratu Saba’.

Muhammad SAW sebagai nabi yang menjadi poros ketauladanan, telah menunaikan amanah kenabiannya melalui langkah pembebasan yang revolusioner kepada masyarakat Makkah-Madinah pada masa itu. Perbudakan yang telah menjadi mimpi buruk bagi kaum kelas sosial-ekonomi rendah berhasil dihapuskan dan dimerdekakan masing-masing individunya baik secara personal maupun secara komunal. Ritus pembunuhan terhadap bayi perempuan yang dilakukan oleh kaum Quraisy sebagai pelampiasan terhadap anggapan ketidakberdayaan dan ketiadaan fungsi mereka dalam kelas elit kaum kuffar telah hilang bahkan telah diangkat derajatnya. Kemudian kepada mereka dilakukan pemberdayaan dengan memberikan porsi dan posisi strategis yang mampu perempuan perankan. Termasuk diberikannya hak waris dan legalisasi terhadap kepemimpinan perempuan dengan syarat dan kondisi tertentu.

Ajaran Muhammad SAW yang revolusioner dan bersifat egalitarian tersebut terakumulasikan dan mewujud sebagai seruan atas tatanan sosial yang egaliter baik dalam ritual (seperti salat dan zakat), kehidupan sosial, ekonomi-politik (penentangan atas akumulasi kekayaan dan monopoli ekonomi oleh sejumlah pedagang yang bersifat eksploitatif) dan hubungan antar agama (dengan para penganut agama lain). Pola gerakan kenabian semacam itu adalah bentuk dari strategi politik ketauhidan yang memiliki substansi terhadap kebebasan. Artinya, Islam sebagai teologi pembebasan sebagaimana yang dinyatakan oleh Asghar Ali Engineer, memiliki hubungan dan keterkaitan yang tidak akan pernah terpisahkan.

Berkaca pada teori pembebasan alaMarxis, menurut kajian Engineer, paham tersebut terkesan rapuh pada landasan transendetal dan teologis. Fungsi agama sebagai sarana pembebasan kerap ternegasikan oleh paham tersebut. Akibatnya, seiring waktu, paham marxisme meluntur aktualisasinya bilamana tidak dikombinasikan dengan faktor transendental berupa agama. Marxisme di era sekarang, sebatas berkontribusi pada teori-teori yang non-praksis dan menjadi sebuah paradigma yang “membingungkan” bagi beberapa kalangan. Maka di sinilah faktor agama menjadi sangat vital sebagai sarana pembebasan yang sebenar-benarnya.

Dalam era kosmopolitan sebagaimana sekarang, gerakan pembebasan yang telah dicontohkan oleh para Nabi sebagai bentuk realisasi dari beban amanah kekhalifahan manusia di muka bumi harus terus digerilyakan dan disuarakan serta dimasifkan menjadi sebuah gerakan pembebasan alaIslam yang hadir sebagai alternatif. Pasalnya, melihat realitas kehidupan beragama dan berkehidupan umat Islam saat ini, nampaknya citra Islam sebagai agama pembebasan dari ketertindasan semakin mengalami degradasi yang cukup signifikan dan cenderung beralih pada gerakan-gerakan praksis yang dipicu oleh nalar pragmatis. Sehingga terciptalah gerakan kapital baru yang tidak “pro-ketertindasan”. Mayoritas umat lebih berupaya untuk melunasi nafsu dan ambisinya dengan mengatasnamakan agama yang justru menjadi bumerang dan menimbulkan gesekan dan konflik baik dalam internal maupun eksternal umat.

Dalam berbagai kasus yang bersifat kepentingan golongan, umat Islam men-citrabaik-kan dirinya dan seolah memberikan tawaran yang efektif namun ketika bertemu dengan problematika sosial yang lebih esensial untuk kepentingan sesama, umat Islam mengambil sikap elitis dan eksklusif. Terkesan acuh tak acuh. Premordialisme golongan benar-benar mengakar dalam di tubuh umat. Akibatnya, tugas-tugas kenabian yang diwariskan untuk mewakili kaum tertindas menjadi termarjinalkan.

Untuk itulah, setelah melihat apa yang telah terjadi pada masa lampau kemudian dijadikan pelajaran untuk waktu sekarang sebagaimana yang Tuhan perintahkan dalam al-Qur’an untuk selalu melihat masa lalu sebagai pembelajaran bagi masa depan, maka semestinya umat Islam harus kembali mengatur dan merapatkan barisan. Skema pergerakan umat Islam harus rapi dan demi kepentingan bersama bukan hanya golongan. Keberpihkan pada kaum tertindas seyogyanya menjadi spirit pergerakan yang menjiwa dan mengiringi segenap napas dan langkah gerakan.

Spirit keberpihakan Islam pada kaum tertindas telah berusaha untuk dijiwai sepenuhnya oleh Muhammadiyah. Yang sejak sebelum berdirinya mendeklarasikan diri sebagai gerakan dakwah sosial-kemasyarakatan. Amal usaha yang didirikan di seluruh penjuru wilayah Indonesia bahkan hingga mancanegara merupakan bukti empiris betapa gerakan Muhammadiyah benar-benar berangkat dari spirit keberpihakan pada kaum tertindas. Upaya untuk menyejahterakan sesama dan melindungi segenap manusia dari policy-policy yang menyengsarakan telah disadari oleh Muhammadiyah sampai sekarang. Banyak hal yang telah dilakukan Muhammadiyah untuk mengentaskan kondisi manusia-manusia yang dilanda ketertindasan baik oleh kedigdayaan ekonomi kapital-liberal, pendidikan yang berorientasi pada materi nir-substansi, kesehatan, pengasuhan anak yatim, pemberdayaan masyarakat pinggiran kepada kehidupan yang lebih baik demi terciptanya kesehjahteraan bagi seluruh umat dan rahmat bagi seluruh alam.

Menjadi kekhawatiran bersama manakala keberpihakan pada kaum tertindas hilang dari kepala masing-masing individu umat Islam. Cita-cita kenabian yang telah diwariskan kepada manusia zaman sekarang sebagai sebuah misi transendental dengan mudah akan tenggelam bersama waktu dan egosentrisme serta kepentingan.

Kondisi tersebut semakin tampak mengkhawatirkan di era sekarang. Sikap umat yang “membuih” menunjukkan kemrosotan intelektual yang mengindikasikan lemahnya kekuatan individu umat. Gebyar politik negara, berhasil mengombang-ambingkan umat menuju ketaktentuan arah. Orientasi pengentasan ketertindasan dimarjinalkan. Kepentingan kekuasaan dan ambisi politik sebagian umat diprioritaskan. Umat Islam kehilangan substratum dari struktur peradaban. Nafas pemberdayaan dan pengembangan kualitas umat seakan hilang dari arah pandang gerakan. Sehingga kontribusinya pada negara dan bangsa sulit untuk dilacak. Muhammadiyah, semakin hari diuji keistikamahannya dalam perjuangan. Sangat disayangkan apabila Muhammadiyah men-talaq sikap adiluhung terutama dalam kontestasi politik di republik. Rapat dan lurusnya saf dalam Muhammadiyah dari tingkat pusat ke bawah, diharapkan tetap bertahan dalam kerapihan. Agar cita-cita luhur Kiai Ahmad Dahlan sebagai founding father, sesegera mungkin dapat diciciluntuk dicapai bersama-sama.

Namun di sisi lain, belajar dari pernyataan Prof. Ahmad Syafii Maarif pada pendahuluan di atas, umat jangan terlalu terpaku pada kepentingan manusia seluruh semesta namun melupakan keluarganya sendiri. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW sering menegur umatnya yang terlalu khusyuk bekerja dan beramal namun melupakan kehidupan keluarganya sendiri. Maka menjadi manusia yang merdeka dari segala ketertindasan adalah bekal menuju gerakan Islam yang berspirit keberpihakan kepada kaum tertindas dan mengupayakan pengentasan ketertindasan kepada kehidupan yang lebih layak dan mensejaterakan. []

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment