Chrisye Alifian
“Aku adalah bunga yang ditanam oleh Tuhan di pekarangan rumahnya sendiri.”
Manusia, sebuah kata yang sudah sering dibahas. Sebuah kata yang sudah menjadi sangat umum dan begitu klise. Pasang surut emosi selalu ada dan menyertainya dari awal hingga akhir perjalanan hidupnya. Banyak hal yang bisa dikulik dari sebuah kata manusia: Watak, sifat, tujuan, pola pikir, semangat, sedih, hasrat, eksistensi, dan masih banyak hal lain yang lucu dalam dirinya.
Semua hal yang ada di dalamnya bermuara pada satu hal. Hal yang dapat mewakilinya adalah cinta. Kecintaan memiliki makna yang luas dalam kehidupan. Menyempitkan imajinasi akan sangat bisa membunuh kebebasan makna cinta itu sendiri. Cinta itu ibarat sebuah mukjizat yang diberikan kepada para nabi oleh Tuhan. Cinta juga bisa jadi kebencian, kemarahan dan kutukan. Namun, cinta juga bisa menjadi sebuah harapan.
Menurutku, cinta itu rumah sekaligus harapan. Rumah kecil dengan pekarangan hijau yang luas. Penuh dengan warna-warni bunga dan tumbuhan. Angin gunung yang dingin menyapu setiap helai rumput dan dedaunan. Sinar merah mencoba selimuti lembut tiap jengkal kehidupan. Ia menguapkan sisa embun semalam yang mendinginkan malam. Kucing berbulu tebal berlarian kesana kemari dengan canda tawa riang tanpa tipu daya. Tawanya hanya berdasarkan rasa kegembiraan dari hatinya yang paling lugu. Manusia dengan cinta bisa menjadi apa saja. Manusia dengan cinta bisa kemana saja. Ia bisa maju, bisa juga mundur. Ia bisa bercerita bisa juga diam seribu bahasa.
Mengenal cinta bisa jadi mengenal rumahmu sendiri. Mengenal apa saja yang ada dipekarangan rumahmu. Mengetahui seisi rumahmu. Mengetahui jalan mana yang harus kamu ambil. Tapi pertanyaannya, sudahkah kau mengenal rumahmu sendiri? Sudahkah kau menyapa cintamu akhir pekan ini? karena sepekan ini kamu berjalan jauh sekali, cukup jauh dari rumahmu. Tidakkah kau ingin pulang sebentar. Menyeduh kopi panas kemudian duduk di depan rumah saat kemerahan megah itu menyapa di awal hari. Engkau menghirup lembut angin gunung yang terhembus. Hanya ada kamu dan segumpal harapan untuk hari esok.
Ada hal yang sulit untuk digambarkan. Namun, semua ini bisa dirasakan. Rumah dan manusia merupakan suatu kesamaan. Mereka berdua merupakan refleksi imajinasi dan kejiwaan. Mengenali rumahmu adalah mengenali dirimu sendiri. Apa yang terlihat dari luar rumah adalah apa yang tampak dalam luar tubuhmu. Tapi semua hal yang ada di dalam rumah adalah hal-hal yang ada dalam dirimu sendiri. Untuk sebagian orang, mungkin analogi ini begitu ganjil dan memuakkan. Tapi Tuhan suka yang ganjil. Menurutku tak ada yang menggelikan jika melihatnya dengan sebenar-benarnya sadar.
Dari semuanya, hal yang perlu digarisbawahi adalah jati diri. Mengenali rumahmu berarti mengenali dirimu sendiri. Apa dan bagaimana tujuan hidupmu, semua yang tergambar dan apa-apa yang hendak kamu perjuangkan. Mengenali dirimu adalah cara untuk menyapa jati dirimu sendiri. Seperti menyambut dirimu dalam dirimu sendiri. Sebagian ada yang bingung lalu tersesat jauh. Tapi banyak yang berhasil dan disambut dalam rumahnya sendiri.
Jati diri adalah sebuah harapan yang harus disapa setiap hari, dikenal dan diakrapi. Disayang kemudian dicintai sampai akhir. Ia harus dirawat. Dibesarkan dengan tanah penuh dengan humus. Disirami secukupnya, jangan berlebih jangan kurang juga. Pas, sesuai kebutuhan. Kadang surut kadang juga membabi buta. Harapan itu sifatnya tidak setabil, fluktuatif tergantung keyakinan seseorang. Semakin rapuh, nyalamu semakin remang memadam kemudian tersesat. Hal seperti itu sering terjadi, begitu pun juga aku.
Seringhalnya manusia itu sombong, mengangkuhkan dirinya terkadang juga melemahkan dirinya selemah-lemahnya. Hal itu yang sering aku rasakan ketika aku jauh dari rumah, jauh dari hangatnya api keimanan. Semua orang punya rumahnya sendiri. Ada yang besar ada yang kecil. Yang paling kecil mungkin seukuran luas bidang sujudnya. Oleh karenanya, rawatlah rumah yang sudah kamu bangun hari ini. Bagaimana pun bentuknya itulah rumahmu, harapanmu, dan cintamu.
Sekali lagi, tulisan ini hanya berasal dari sudut pandang seseorang sepertiku. Penuh dengan angan-angan yang tak jarang berakhir dalam kotak pemikiran saja. Tak ada yang istimewa dari itu. Kalian lebih bisa dari diri kalian sendiri. Sekarang yang perlu dilakukan hanyalah mengambil tindakan. Bangunlah rumahmu semegah mungkin sesuai dirimu. Torehkan harapan dan doamu di tiap jengkal bangunannya. Warnai sesuai dengan warna kesukaanmu. Beri tanaman yang mampu menyegarkan hatimu. Selamat datang kembali di rumahmu sendiri wahai anak cucu adam, istirahatlah, nikmati kopimu selagi masih hangat. Tinggalkan gelisah, jangan terburu-buru. Mulai semua dari awal karena kamu sudah di rumahmu sendiri. []