Ikhtiar Menyelamatkan Lingkungan

Irsyad Madjid


Ajakan untuk bergabung ke dalam tim redaksi pucukmera dari pimrednya, Kak Didin Mujahidin, beberapa waktu lalu datang kepada saya. Tanpa banyak pertimbangan, saya melihat momen ini sebagai sebuah kesempatan emas. Dengan berada di tim redaksi, saya bisa menulis esai (dan diterbitkan) dengan gaya populer, seperti khasnya Pucukmera. Selain ajang pengembangan diri, ini adalah privilege yang sudah lama saya idam-idamkan. Wkwk.

Tak lama berselang, saya menerima media guide Pucukmera yang berisi berbagai macam pilihan rubrik untuk dieksplorasi. Setelah membaca panduan itu dengan lengkap, ada satu rubrik yang menarik perhatian saya. Namanya pun cukup unik, rubrik “Tumbuh”. Bagian ini diharapkan berisi tulisan segar tentang tips dan trik yang kiranya bermanfaat mendorong pembacanya ‘tumbuh’ menjadi pribadi yang lebih baik.

Sebagai seorang environmental enthusiast, saya langsung mencari sosok inspiratif sebagai bahan tulisan. Tentunya, orang yang punya tekad untuk berkontribusi merawat lingkungan. Beruntungnya, pencarian saya tak perlu jauh-jauh. Adalah kawan saya, Andi Akbar Tanjung, si sarjana pendidikan yang kemudian tertarik memulai bisnis yang sifatnya ramah lingkungan.

Selemah-lemah perlawanan

Mari saya ceritakan, kenapa awardee Magister LPDP yang masih bingung ingin kuliah di Toronto, Cambridge atau Nanyang University ini memutuskan untuk membuka bisnis yang ramah lingkungan. 

Awalnya, kami hanya sering berdiskusi hangat mengenai masalah di negeri ini, layaknya anak muda lain yang sedang berada di fase paling idealis dalam hidupnya. Karena ketertarikan saya pada isu lingkungan, sering kali diskusi kita menyerempet soal krisis ekologi.

Suatu malam, tiba-tiba dia menghubungi saya lewat WhatsApp dan mulai bercerita panjang lebar soal industri sawit yang merusak lingkungan. Sayangnya, industri ini awet karena mayoritas produk konsumsi sehari-hari masih menggunakan sawit sebagai bahan utama. Salah satunya adalah kandungan minyak sawit pada produk pembersih seperti sabun mandi ataupun sabun cuci. 

Saat bercerita, sesekali dia mengeluarkan kalimat sarkas tentang tipe aktivis yang menurutnya tidak kaffah. “Percuma jadi aktivis lingkungan, teriak-teriak soal deforestasi hutan akibat penanaman sawit, tapi toh tetap aja jadi pengguna rutin dari apa yang sering dikritik.” Meskipun ada benarnya, tentu saya tidak sepenuhnya sepakat dengan kalimat ini. Ada banyak dimensi yang perlu kita pahami untuk menilai esensi dari sebuah perlawanan. Ceilah.

Misalnya, fakta bahwa sekitar 73 % hasil sawit Indonesia itu tidak ditujukan untuk penggunaan dalam negeri tapi malah untuk diekspor ke pasar internasional. Diketahui bahwa bersama dengan Malaysia, Indonesia menguasai 85 hingga 90% pasar sawit dunia. Jadi, menekan konsumsi sawit pada  sektor lokal mungkin hanya berguna sebagai daya kejut, tapi tidak akan efektif jika kita mengharap perubahan yang radikal.  

Belum lagi jika menilik pada fakta bahwa industri sawit di negeri ini sebenarnya dikuasai oleh perusahaan swasta, dengan total persentase 52,88 %. Maka jangan heran, jika pembukaan lahan secara ilegal seperti membakar hutan sembarangan, mayoritas pelakunya adalah korporasi swasta. Realitas ini yang membuat saya kekeuh kalau ‘teriak-teriak’ soal industri sawit masih merupakan sesuatu yang substansial untuk dilakukan.

Namun, kawan saya ini masih semangat melanjutkan ceritanya soal dunia per-sabun-an dan kaitannya dengan lingkungan. Selain fakta bahwa sabun mandi/cuci ini mengandung sawit, komposisi bahan kimiawi lain seperti deterjen, sulfat dan zat paraben juga berakibat buruk pada biota-biota di aliran air. Alhasil, ini berdampak pada buruknya kualitas air yang diperoleh rumah tangga.

“Jadi Syad, saya mau ajak Ko bisnis sabun ramah lingkungan.” katanya dengan mantap. Ia melanjutkan, “Coba Ko bayangkan nah, bagaimana rusaknya kalau masyarakat yang masih menjadikan sungai itu tempat cuci baju, cuci piring, tapi yang mereka pake sabun biasa, bagaimana mi itu kadar kebersihan airnya?” Sampai pada bagian ini saya ikut tergugah. Jika anda juga merasakan hal yang sama, silahkan langsung kunjungi produknya di @busaalam.id, eh.

Saya kemudian menyadari, menaruh perhatian pada lingkungan itu sebaiknya memang harus dimulai dari hal-hal kecil, meskipun itu mungkin adalah selemah-lemah perlawanan. Tekad yang Akbar perlihatkan pun mengingatkan saya pada sosok pejuang lingkungan lain, peraih penghargaan Ocean Heroes tahun 2018 dari PBB. Adalah Mbak Tiza Mafira, insiator gerakan Pay for Plastic Bag, yang di kemudian hari meluas menjadi Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP).

Sepuluh tahun yang lalu, Mbak Tiza memulai gerakan “Diet Kantong Plastik” dari Kota Bandung. Fakta bahwa ada sekitar 9,8 miliar lembar kantong plastik digunakan oleh masyarakat Indonesia per tahunnya dan 95 % hanya berakhir sebagai sampah, membuat gerakan ini punya daya ledak yang luar biasa.

Buktinya, uji coba kebijakan kantong plastik berbayar untuk mendukung gerakan ini, diagendakan oleh Kementerian LHK pada tahun 2016 di 23 kota di seluruh Indonesia. Efeknya cukup mengagetkan, penurunan penggunaan kantong plastik berhasil mencapai angka 55 %.

Berhenti saja tidak cukup untuk menyelamatkan

Celakanya, berbagai usaha yang dilakukan nampaknya tidak cukup untuk mengobati kerusakan lingkungan. Dua contoh gerakan di atas misalnya, hanya mampu mengurangi namun tidak mampu menutupi efek sampah plastik/cairan kimiawi yang sudah terlanjur mencemari bumi.

Jika kita hendak mengambil kasus lain, situasi pandemi misalnya, sampah kantong plastik yang berkurang justru menjadi ironi jika melihat angka pertumbuhan limbah hasil medis. Jadinya, ya, sama ji saja. Maka, saya tiba pada kesimpulan: berhenti saja tidak cukup untuk menyelamatkan.

Ternyata, apa yang saya pikirkan sudah direkomendasikan sejak dulu oleh cendekiawan yang peduli lingkungan. Perlu ada usaha lebih lanjut menurut mereka. Salah satu penekanannya ada pada sistem daur ulang.

Dalam ekonomi, pola ini dikenal dengan nama Circular Economy. Kate Raworth dari Cambridge University, menyebutnya dengan model ekonomi regeneratif. Model yang tidak hanya fokus mengurangi produksi sesuatu yang tidak ramah lingkungan, namun juga sambil menciptakan sesuatu yang memiliki efek positif bagi lingkungan.

Dalam model ini dikenal dua prinsip, yakni recycling (daur ulang) dan juga upcycling (penggunaan bahan baku yang sama untuk jenis produk yang berbeda). Contoh konkretnya, hasil daur ulang sampah plastik yang tidak hanya digunakan untuk membuat produk plastik yang sama.

Namun, hasil daur ulang itu dijadikan inovasi produk lain seperti meja plastik untuk mengurangi penggunaan meja berbahan kayu. Dampaknya bisa meminimalisir perilaku menebang hutan untuk mendapatkan bahan baku kayu.

Pada akhirnya, setelah mendapatkan berbagai perspektif baru terkait usaha penyelamatan lingkungan, ada satu hal yang bisa saya sepakati. Agenda menyelamatkan lingkungan adalah hal yang harus diniatkan sekaligus dilaksanakan tepat ketika kesadaran itu muncul.

Jangan khawatir, untuk memulainya, semua jalur bisa ditempuh. Baik itu menjadi aktivis ataupun pedagang. Yang penting, tidak berhenti pada satu atau dua momentum saja. Semangat, ki!


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

1 Comment

Leave a comment