Hikayat Buah Kelapa dan Kapal Tua

Ahmadiansyah
Pegiat Literasi NTB


Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam (SDA) yang luar biasa kaya. Negara dengan kelimpahan aneka flora dan fauna yang tak terhitung jumlahnya. Salah satu hasil alam yang menarik perhatian penulis adalah buah kelapa.

Buah kelapa hampir tersebar secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Secara istilah “Buah Kelapa” berasal dari Bahasa Spanyol dan Portugis pada abad ke-16 dengan kata “Coco” yang berarti “kepala atau tengkorak”. Kemudian di Indonesia dikenal dengan istilah Kelapa.

Buah kelapa merupakan buah yang biasa dimaknai sebagai simbol kemakmuran. Sebab, buah ini memang memiliki keunikan tersendiri dalam manfaat dan kegunaannya bagi keberlangsungan hidup manusia.

Mulai dari air dan buahnya yang bisa dikonsumsi secara langsung dengan kandungan khasiat yang melimpah dan tidak jarang airnya digunakan sebagai obat penawar racun. Batang pohonnya sering digunakan sebagai papan perabotan dalam rumah. Daunnya juga dapat diolah menjadi kerajinan tangan yang unik, serta batoknya sekalipun biasa digunakan sebagai alat dapur tradisional.

Bahkan hari ini, batoknya digunakan sebagai sumber energi alternatif (briket). Simpel-simpelnya, lingkungan di sekitar pohon ini dapat memberikan rasa yang begitu nyaman untuk dijadikan sebagai tempat berteduh makhluk hidup.

Namun, realitas simbol kemakmuran itu belum juga terlihat di dataran tempat kelapa itu tumbuh: Indonesia. Walaupun mungkin dalam kacamata penguasa bisa berbeda, kenapa? Karena dalam perspektif mereka, ternyata kemakmuran bisa dilihat dari seberapa banyak investor yang masuk untuk kemudian dibangunkan infrastruktur, dan dengan infrastruktur itu juga dianggap ekonomi rakyat dapat langsung melesat naik, segala kebutuhan rakyat terpenuhi, dan masyarakatnya dilihat penuh dengan kecukupan.

Sungguh tragis jika pemaknaan yang sering digaungkan ini hanya sebatas umpama belaka. Padahal jelas terlihat, masyarakat tidak lagi memiliki tempat yang nyaman untuk beraktifitas, pohon-pohon sebagai tempatnya berteduh telah hangus dibakar. Aktivitas-aktivitas produktif sudah terpangkas oleh pelarangan yang semakin diperketat oleh elit penguasa.

Lalu masyarakat harus mencari buah apa untuk memenuhi perutnya yang terus dikoyak oleh rasa lapar dan dahaga. Apakah bisa dengan buah dari janji-janji politik para penguasa? Atau dengan klarifikasi manis atas peraturan yang menguntungkan para pemodalnya? Sementara di lain sisi, bersuara saja sudah tidak didengarkan lagi. Walau suara itu sebenarnya adalah jeritan juga.

Hari ini, kata merdeka mulai diragukan kembali. Apalagi kata makmur seperti yang disimbolkan oleh buah kelapa di atas. Rasanya memang telah sirna. Karena keadaannya tidak pernah sampai seperti yang pernah dikatakan oleh Buya Hamka bahwa “kemerdekaan manusia itu harus diukur dari kemerdekaanya dalam bekerja, kemerdekaan dalam berfikir dan juga perasaan tenang akibat dari kemerdekaan jiwa yang dimilikinya”.

Dengungan suara kemerdekaan dari sang proklamator juga masih kita rasakan. Tapi ke mana rasa kemerdekaan yang hakiki tersebut. Kemerdekaan itu sebenarnya milik siapa? Rakyatkah atau memang hanya untuk para penguasa? Sebab, kemerdekaan tidak akan pernah bisa dirasakan jikalau seluruh hak rakyatnya dirampas oleh penguasanya sendiri.

Kita telah mendapati kebenaran dari ungkapan yang pernah disampaikan oleh Bung Karno, “Di masa yang akan datang, rakyat Indonesia akan melawan penjajah dari dalam negerinya sendiri”. Ini menandakan bahwa kita memang masih belum merdeka secara hakiki. Yang ada hanya pergantian dari penjajah kolonial ke penjajah pribumi.

Nasib Kapal Tua

Masa demi masa, kapal tua ini (negara) tidak pernah mendapati masalahnya terselesaikan. Yang ada malah membuatnya menjadi semakin buncah (kacau). Ia makin terasa tidak tahu arah.

Tujuh puluh lima tahun lamanya, rasanya masih belum cukup untuk dewasa. Di setiap sudut kapal selalu muncul kesan amarah dan ketidakpuasan. Seluruh atap langit mengerutkan dahinya karena asap yang begitu menyesakkan kepedihannya.

Kapal itu mulai goyah. Tidak tahu apakah sudah mulai tergoyahkan atau memang para penguasa telah salah memainkan perannya. Atau memang sudah tidak mampu lagi untuk menahkodai kapal di tengah besarnya ombak samudera yang begitu luas itu.

Ombak terus berjalan mengantarkan kapal yang membuatnya terus terombang-ambing dalam kebingungan. Bulan Agustus lalu ternyata para penguasa hanya menggelar upacara peringatan di Istana. Bukan untuk melakukan evaluasi demi perbaikan ke depan.

Pantas saja jika kapal ini terus diuji dengan mesin penggeraknya sendiri, diuji dengan bahan bakarnya sendiri. Sehingga bukan tidak mungkin kapal ini akan segera rusak diterjang badai dan ombak di lautan samudera.

Kondisi negeri ini seperti kapal tersebut. Rakyatnya dilumpuhkan. Segala indra yang dimiliki telah disita dan dipasung habis oleh elit penguasa. Tangan ditahan untuk menulis. Kaki diikat untuk tidak bergerak. Mulut dibungkam agar tidak bersuara. Mata dihadang agar tidak melihat dan membaca. Telinga dibuat tuli dengan isu-isu pengalihan yang tidak memiliki bobot. Hingga pikiran juga ingin dipenjarakan.

Kecacatan yang dialami masyarakat saat ini dibuat seakan-akan karena dosa mereka sendiri, yang tentu dianggap selalu memberikan perlawanan kepada penguasanya, yang menolak peraturan-peraturan yang dibuat. Padahal, pada hakikatnya penguasa itu adalah pelayan bagi masyarakat sehingga segala bentuk aspirasi yang disampaikan harus didengar dan diolah menjadi informasi perbaikan untuk masa yang akan datang.

Satu hal yang perlu diingat bahwa penguasa bukanlah dewa yang selalu benar dalam segala tindakannya, yang tidak butuh akan kritik dan masukan dari rakyat.

Walau kita tidak akan pernah tahu, siapa sebenarnya yang memiliki dosa besar ini. Tapi, rasa-rasanya sangat tidak mungkin ini terjadi karena dosa yang dilakukan oleh rakyat biasa. Sebab rakyat sudah diwakilkan oleh mereka, pejabat-pejabat yang telah disediakan ruang kuasa bak istana surga dalam dunia dengan tugasnya untuk menyampaikan pesan dan mengatur tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sehingga satu-satunya jawaban yang harus diterima oleh akal sehat adalah dosa penguasa yang salah dalam menggunakan hak atas rakyat demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Tapi ya sudahlah, mungkin memang penguasa telah lupa. Lupa akan tanggung jawabnya sebagai penggerak kemajuan bangsa. Kita hanya bisa berharap kepada Tuhan, untuk segera memberi petunjuk kepada pemimpin-pemimpin negeri ini. Karena satu-satunya harapan adalah kesadaran dari para penguasa sendiri.

Akhirnya, mengutip bahasa Yudi Latif, bahwa republik ini berdiri atas tiang harapan dalam undang-undangnya yaitu merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment