Muhammad Yusril Ihya’ Maksum
PUCUKMERA.ID — Indra Kenz, dalam sebuah cuitan di akun Twitter-nya, menyebut bahwa hidup miskin adalah sebuah privilese. Ia menyatakan bahwa hidup dalam kemiskinan membuat manusia lebih mampu merasakan usaha yang ia pertaruhkan. Bagi saya yang menerapkan prinsip bebas berpendapat, terserah dia mau bilang apa. Tapi, saya juga punya hak penuh atas ketidaksetujuan terhadap pendapat beliau.
Saya jelas-jelas tidak setuju dengan apa yang coba dicuitkan selebgram tersebut. Pasalnya, sebebas-bebasnya cuitan jika mengundang sakit hati banyak orang sama dengan sebuah permasalahan, menurut saya. Indonesia memiliki jumlah masyarakat dengan taraf ekonomi kelas bawah yang cukup banyak. Bahkan, untuk para kategori ekonomi kelas menengah/cukup, mereka masih harus menghemat-hemat dan pandai meminimalisir pengeluaran yang mereka miliki.
Tentu saja ini menunjukkan bahwa cuitan dari beliau mungkin belum cocok untuk dilontarkan di khalayak umum. Selain menyakiti hati banyak orang, tentu saja cuitan ini juga bisa menyakiti hati para pejabat dan pemimpin negara. Secara tidak langsung ini mungkin bisa menjadi sebuah satir bagi kepengurusan negara terkait taraf ekonomi warganya, ada-ada saja.
Berbicara mengenai privilese, ini adalah sebuah kata yang melambangkan hak istimewa yang dimiliki seeorang karena suatu kondisi yang menyertainya. Kondisi ini beragam dan bervariasi, bisa jadi kondisi karena fisiknya, ekonominya, kecerdasannya, atau bahkan agamanya. Kalau konteks yang Mas Indra ini coba sampaikan adalah berupa hak istimewa orang miskin. Sepertinya Mas Indra harus coba dulu ketidakistimewaan yang menyertainya.
Mas Indra mungkin bisa menyimpulkan bahwa lahir dalam keluarga miskin bisa menjadikan seseorang penuh dengan semangat juang, bersungguh-sungguh meraih kesuksesan dan bangga atas setiap pencapaian. Tapi dalam proses yang menyertai perjuangan kami, ada duri ganas yang sudah bosan kami rasakan, Mas.
Coba diambil sebuah perbandingan antara orang kaya dan orang miskin, tentu perbandingan itu benar-benar terasa jauh sekali. Ibaratnya mereka sama-sama mengejar sebuah kesuksesan, dua golongan ini jelas memiliki problema masing-masing. Bagi orang kaya, mungkin tekanan mental dari keluarga menjadi masalah utama (saya juga kurang tahu, rata-rata cerita populer menggunakan konflik seperti itu, dan saya belum merasakan jadi orang kaya).
Sementara masalah utama orang miskin adalah pada kesempatan menjadi sukses itu sendiri. Memang bukan hal yang mustahil bagi orang miskin untuk meraih kesuksesan, buktinya juga sudah banyak. Namun, dari sekian banyaknya orang sukses, saya yakin privilese dari keluarga orang yang mampu jauh lebih mendominasi. Bukan jaminan, tapi jelas itu sudah menjamin lebih banyak dari yang kami punya.
Kondisi setiap privilese saling memiliki benang merah dengan kondisi ekonomi seseorang. Contohnya saja privilese pendidikan, masyarakat miskin tentu memiliki rintangan yang begitu tajam untuk menentukan hak atas pendidikannya. Beberapa waktu lalu ada kasus terkait seorang guru yang tega menghina salah satu siswi yatim piatu yang belum bisa bayar buku sekolah. Tentu ini bukan sebuah keistimewaan, Mas, ini sakit bagi kami yang mendengarnya, apalagi bagi dia yang merasakannya.
Dalam contoh lain bisa kita sebutkan pada ranah pekerjaan. Masih banyak pekerja yang tertekan oleh gaji yang tidak sesuai dengan beban pekerjaan yang mereka miliki. Jika Anda pikir tertekan adalah bentuk pemicu semangat juang, anda salah. Tertekan tidak enak, sakit mental dan fisik tentunya. Jika boleh memilih, kami lebih ingin punya semangat juang tanpa harus mengalami tekanan.
Tapi tak apa, saya yakin yang dimaksud Mas Indra ini baik, ia berharap agar masyarakat yang memiliki taraf ekonomi rendah bisa lebih giat dan semangat untuk memperbaiki kehidupan keluargannya. Ia yakin pasti akan ada satu orang yang mampu menjadi perubah nasib hidup keuargannya.
Tapi, bagi saya jika usaha yang penuh semangat dikatakan sebagai sebuah privilese, menurut saya itu kurang tepat. Itu adalah sebuah bukti perjuangan. Perjuangan bukan sebuah privilese, perjuangan adalah sebuah kewajiban. Setiap orang wajib berjuang, tanpa pandang kondisi sosial ekonominya. Kalau kemiskinan mendatangkan semangat juang sebagai sebuah keistimewaan, kami tentu kurang senang, yang kami butuhkan adalah sebuah kesejahteraan. Itu lebih istimewa bentuknya.
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.
1 Comment
Registro
Your article helped me a lot, is there any more related content? Thanks!