*) Diah Ayu Puspita
Beberapa waktu terakhir ini batin saya sering tertohok karena banyaknya ulasan ketidakseimbangan alam akibat ulah manusia. Ketidakseimbangan tersebut kerap kali berujung pada bencana yang merugikan banyak pihak. Isu-isu tersebut mendorong munculnya gerakan-gerakan sosial peduli lingkungan.
Salah satu bentuknya, adalah kemunculan akun-akun media sosial pro-lingkungan. Akun-akun tersebut mengampanyekan dampak buruk penggunaan plastik, memberi peringatan bahwa ‘Indonesia darurat sampah plastik’. Bahkan, tak jarang, akun tersebut menyebut parahnya kerusakan ekosistem laut akibat sampah plastik.
Sebenarnya tak ada salah dengan ragam gerakan dan postingan media sosial mengenai isu lingkungan. Lebih-lebih, postingan tersebut sangat diperlukan untuk menyadarkan masyarakat agar lebih bijak dalam mengelola sampah.
Selain itu, seperti yang kita ketahui, para pemangku kebijakan kita biasanya baru peka setelah ditampar oleh potret (lingkungan) yang memprihatinkan, bukan? Akan tetapi saya kurang sependapat apabila plastik diposisikan sebagai ‘terdakwa’ yang paling ‘berdosa’ dari permasalahan lingkungan yang ada.
Surat edaran Pemerintah Daerah yang berisi larangan kepada kantin-kantin sekolah untuk menjual produk makanan dan minuman berkemasan plastik, menurut saya cukup berlebihan karena di samping pemberitaan negatif media mengenai plastik, juga perlu kita sadari bahwa plastik adalah produk kemajuan ilmu pengetahuan.
Nyatanya, plastik telah menyumbangkan banyak keuntungan di bidang ekonomi, sosial, bahkan lingkungan. Rochlan Josep, mentor saya di Program Mahasiswa Wirausaha Universitas Negeri Malang, pernah menyajikan perbandingan dua perusahaan minuman ringan kelas dunia yang saling bersaing. Sebut saja produk minuman merek CC dan BC.
BC sebagai pemain baru di dunia bisnis minuman ringan, meluncurkan produk minuman berkarbonasi kualitas internasional dalam kemasan PET (polyethylene terephthalate), kadar CO2 lebih ideal, dan harga yang lebih terjangkau. Rochland menuturkan, kemampuan BC menjual dengan harga murah disebabkan efisiensi produksi botol plastik yang digunakan.
Sampai tahun 2015, BC tercatat eksis di 20 negara dengan 22 pabrik dan menyerap banyak tenaga kerja. Sebenarnya, berdasar analisis ahli, biaya produksi botol kaca tidak terlalu mahal dibandingkan botol berbahan PET. Namun, produk berkemasan botol kaca membutuhkan proses panjang untuk pengangkutan dan pengaturan sampai botol kaca siap dipakai lagi.
Botol minuman plastik berukuran 330 ml beratnya 18 gram sementara untuk botol kaca beratnya rata-rata antara 190—250 gram. Mengangkut minuman dalam wadah yang lebih berat membutuhkan energi 40% lebih banyak yang dapat menghasilkan lebih banyak pencemaran karbon dioksida dan meningkatkan biaya transportasi hingga lima kali lipat per botolnya.
Rochlan menambahkan, cukup banyak tahapan produksi yang bisa dipangkas oleh perusahaan minuman BC yang menggunakan kemasan botol plastik, dibandingkan produk CC yang kala itu masih menggunakan botol kaca.
Selain kelebihan bahan plastik sebagai kemasan produk minuman yang paling efisien, kita juga tidak boleh meremehkan manfaat plastik dalam mengurangi produksi limbah makanan.
Contoh manfaat plastik lainnya adalah penggunaan cling wrap untuk mengurangi limbah makanan. Sayur atau buah yang dibungkus dengan cling wrap dapat bertahan di lemari es hingga 15 hari. Produk daging yang umumnya hanya bisa bertahan antara 3—7 hari, kini bertahan sampai 45 hari. Contoh-contoh itu menunjukkan keberadaan plastik menghindarkan kita dari kemubaziran.
Kebijakan melarang penggunaan kemasan plastik bukanlah sebaik-baik penyelesaian masalah darurat sampah plastik di Indonesia. Hal yang lebih penting untuk dipertimbangkan sebagai solusi dari permasalahan tersebut adalah membangun mental manusia agar memiliki budaya bijak mengelola sampah. Memang hal tersebut tidak mudah dan perlu waktu yang lama, tetapi bukan berarti tidak mungkin.
Dalam hal pengelolaan sampah kita bisa belajar dari pengalaman negara Jepang yang berhasil menjadi salah satu negara terbersih di dunia. Jepang sukses menjadi salah satu negara terbersih di dunia karena keberhasilannya mengelola sampah. Bagi orang-orang Jepang, plastik tetap harus diproduksi karena mereka merasa perlu menggunakan plastik untuk berbagai kebutuhan. Namun, masyarakat Jepang sangat disiplin memisahkan sampah sesuai jenisnya.
Di negara tersebut setiap keluarga diwajibkan membeli kantong sampah dari pemerintah dengan warna-warna yang berbeda untuk masing-masing jenis sampah. Untuk sampah botol plastik, masyarakat harus mengelompokkan botol, label kemasan, dan tutup secara terpisah. Selain itu, botol plastik yang berwarna putih bening juga tidak boleh dicampur dengan botol yang berwarna lain dalam satu kantong sampah. Semuanya dilakukan demi mempermudah proses pengelolaan.
Sampah-sampah yang terkumpul dari masyarakat tersebut sebagian didaur ulang dan sebagian lagi dikelola menjadi energi pembangkit listrik. Dalam sebuah forum kuliah tamu yang diselenggarakan oleh S2 Pendidikan Geografi UM dengan tema sustainability, seorang pemateri yang berprofesi sebagai dosen dan peneliti di ilmu teknik lingkungan, Universitas Kitakyushu menyebutkan bahwa untuk menjadikan masyarakat Jepang sadar lingkungan butuh waktu 60 tahun.
Selain itu, diperlukan program edukasi yang serius dimulai sejak dini. Anak-anak di Jepang, sejak kelas 3 SD sudah dilatih dan dibiasakan untuk membuang sampah sesuai dengan jenisnya. Pembiasaan sejak dini itu rupanya ampuh membudayakan buang sampah sesuai ‘jenisnya’.
Daripada melarang penggunaan kemasan plastik, akan lebih efektif bila pemerintah menjalin kerjasama dengan masyarakat untuk membagun budaya bijaksana mengelola sampah, mengalokasikan dana khusus untuk penelitian dan pengembangan teknologi pengelolaan sampah, serta mempertegas sanksi bagi warga yang tidak membuang sampah pada tempatnya.
Maka, tidak perlu kita ‘meninggalkan’ plastik dalam praktik kehidupan sehari-hari, karena sejatinya bukan sampah plastik yang jadi masalah, tapi kita aja yang belum bijak mengelolanya. []
*) Owner Diari Sociopreneur
4 Comments
Agit Wisnu
Wah bagus dan renyah tulisnnya. Sekalipun perlu kita tinjau kembali mengenai pengelolaan sampah yang disebutkan. Melalui Dinas Lingkungan Hidup, pemerintah sudah mencoba untuk mengelola sampah atau pelastik yang sudah tidak terpakai agar bernilai ekonomis.
Salah satunya dengan cara memilahnya dan kemudian dijual kembali. Penyuluhan dan edukasi ke masyarakat pun sudah sering dilakukan, sebari mendorong masyarakat membentuk bank sampah.
Respons ini positif, namun bank sampah tidak menyelesaikan masalah, justru memindahkan masalah di tempat yang satu ke tempat lain.
Artinya kita tetap perlu pelastik dengan kadar kebutuhannya. Ini perlu keterlibatan tegas dari pemerintah agar menekan pelaku produksi yang menghasilkan pelastik agar tidak berlebihan.
Dan yang perlu diperhatikan lagi, limbah pelastik tidak seperti sampah lainnya. Butuh waktu ratusan tahun agar dapat terurai. Sekalipun begitu, pelastik hanya bertransformasi menjadi micro plastic yang justru lebih berbahaya bagi kehidupan mahluk bumi.
Azhar
menarik 🙂
Ilf
Hi Diah.. Aku sependapat loh kalau hidup kita emang susah utk tidak menggunakan plastik tapi aku juga sependapat dg beberapa komunitas yg say no to plastik. Dalam satu tahun terakhir, semenjak ada isu kresek berbayar (yang nyatanya gak berjalan mulus dan tetep aja gratis) aku sudah menerapkan meminimalkan penggunaan plasti, dan ternyata sampah plastik di rumah bener2 berkurang. Pola hidup tdk menggunakan plastik bisa diterapkan lo, meskipun tidak 100% karena beli gula aja pake plastik,. Bener sih mindset seseorang tidak mudah dirubah tetapi BISA. Meskipun butuh waktu 60 tahun minimal anak kita nanti punya pola hidup tidak menggunakan sampah. Apalagi sekarang produk ramah lingkungan semacam tumblr, sedotan stainless, bag buat belanja, banyak banget. Pernah baca di beberapa tulisan satu2nya cara untuk mengurangi sampah plastik ya gak menggunakan plastik. Minimial diri sendirilah… 🙂