Holy Ichda Wahyuni
Mahasiswa Biologi Universitas Airlangga

---

Apakah engkau pernah melihat belati yang sumbang. Seharusnya tidak pernah bukan. Sebab, belati bukanlah alat musik, melainkan senjata tajam. Maka, seharusnya tak ada belati sumbang. Namun, bagiku belati itu terdengar sumbang. Melengking kadang-kadang. Belati itu berwujud lidah, lidah yang dibiarkan liar tanpa perasaan.

Namaku Nara, dan aku sering menjadi korban perisakan. Saat aku menuliskan cerita ini, aku sedang berada di kursi kerjaku, sembari menyiapkan bahan materi training of trainer untuk mahasiswa, sebelum perform menjadi narasumber esok.

Aku menceritakan aktivitasku menjadi sebuah prolog, dan seharusnya kalian akan menjadi tahu jalan cerita kehidupan seorang Nara. Seperti cerita orang umumnya pada drama, yang berujung sukses namun pernah merasakan hidup di bawah dan terhina. Ya, tebakan yang tepat. Tapi, aku tidak peduli. Aku ingin tetap bercerita meski alurnya telah diterka. Sebab, aku ingin mengajak siapa pun mengenang sembiluku, agar siapa pun tak menjadi mereka yang lisannya durjana atau tak menjadi aku yang begitu lemah dihujam hina.

Namaku Nara, dan waktu ternyata cepat berlalu, berubah sebab tak berjeda, aku selalu mengenang saat usiaku dua belas tahun, aku adalah gadis cilik bertubuh kurus, dengan kulit sawo matang terbakar matahari. Bahkan sampai menginjak remaja aku tak pandai bergaya. Aku tak paham memadu madankan baju, meski beberapa teman seusiaku sudah kelihatan lebih dewasa dari usianya. Dan, tentu saja untuk ukuran anak desa.

Namaku Nara, dan awalnya aku senang sekali saat ada acara yang riuh ramai di sekitar rumahku, apalagi ketika ada hajatan keluarga, aku adalah anak dari sekian anak lain yang akan ikut berjingkrak di bawah lampu neon panjang dengan deru musik yang suaranya akan terdengar satu kampung, bahkan sampai ke kampung sebelah.

Dan hari ini ada hajatan keluarga jauh, seorang keluarga kaya, yang anak-anaknya sukses di tanah rantau menjadi TKI. Malam itu acara akad dan resepsinya sekaligus, semua orang dewasa takzim dalam dayohan keluarga kedua mempelai. Aku pun ikut takzim. Bukan hanya takdzim, malah. Bisa dibilang aku sangat anteng, aku tidak mau membuat malu di acara keluarga, apalagi keluarga kaya raya. Namun, malam itu keponakan kesayangan dari keluarga pemilik hajat berlarian dan menyenggol sepiring semangka. Semangka berserakan. Dan, aku melihatnya dengan gugup. Jujur aku gugup karena kaget.

“Kamu itu, lihat semangka berserakan kok diam saja!” tukas Budhe Wati, pemilik hajat.

Degg! Dadaku berdesir. Aku dibentak untuk hal yang bukan salahku. Sementara di sekitarku banyak sekali orang. Namun, yang dibentak adalah aku, Nara dari keluarga tak berada. Apa karena aku miskin. Aku benci penggolongan ini. Seharusnya menurut sejarah setelah masa kerajaan sudah tiada lagi kasta. Namun, sikap sebagian manusia menciptakan kasta itu sendiri.

Aku nelangsa. Ibuku yang menyaksikan aku dibentak hanya bisa mengelus dada, lantas memunguti semangkanya, menyabarkanku dengan sorot mata teduh yang seolah berkata, “Tidak apa apa, Nak!” Dan, mulai saat itu, aku tak lagi berjingkrak jika ada hajatan. Aku benci keramaian.

***

Ternyata selain status sosial, banyak hal di dunia yang menjadi bahan empuk bagi orang-orang biadab untuk membuat konten komedi, komedi bagi mereka. Namun, penyiksaan tak berdarah bagi korban yang tak mampu melawan. Bahkan di sekolah, yang dianggap sebagai majelis ilmu, tempat bagi pendidik dan orang-orang terdidik ada juga sebuah sisi gelapnya. Saat sekolah dijadikan tempat bagi manusia yang siap mencacah-cacah segala beda, menjadi hakim bagi yang lain, menindas si lemah, satu-satunya yang dianggap sama adalah motif dan warna seragamnya, namun untuk keberagaman yang seharusnya menjadi warna pengundang kedamaian, tak jarang justru menjadi gap yang tercipta.

Aku Nara, dan di sekolah beberapa kali aku juga menjadi korban bully. Tak tanggung-tanggung beberapa kali aku dipermalukan di keramaian. Jika aku bukan siswi pintar secara akademik di sekolah, barangkali lebih kejam lagi perisakan yang kualami. Beruntung, aku tertolong oleh prestasiku, hingga sebagian masih menghargaiku, ataukah mereka hanya peduli dengan isi otakku.

“Hei Nara, kamu kalau pakai bedak kok tak pernah rata sih, kulitmu itu loh tampak hitamnya”, ujar temanku Dafa, laki-laki songong yang selalu merasa aman karena keluarganya adalah donatur tetap yayasan.

Sontak satu kelas tertawa, meski setelah ledakan tawa, ada beberapa yang mengelus pundakku, menabahkan, dan aku tak suka ditabahkan dengan cara itu.

Aku hanya tertunduk di bangku, tak sudi melihat cermin, aku malu, dan sungguh, separuh kepercayaan diriku hilang. Di forum-forum acara sekolah, aku yang seharusnya ingin unjuk gigi dengan aktif bertanya atau mengemukakan pendapat, menjadi urung saat hinaan rasis yang dilontarkan perisak terngiang-ngiang di telingaku. Sebab, itu tak hanya satu kali. Tapi, berkali-kali.

***

Namaku Nara, dalam bahasa Yunani artinya bahagia. Lagi-lagi peristiwa serupa terjadi. Saat itu aku duduk di kelas 2 SMA. Kembali pada momentum acara ekstra di sekolah, aku dipercaya teman-temanku untuk presentasi materi FGD, sebab mereka percaya bahwa aku ini selalu cepat menguasai materi.

Kali ini aku duduk berjejer dengan temanku yang konon menjadi bunga sekolah. Parasnya cantik. Kulitnya berseri merona. Mata bulat dengan bulu mata yang lentik, persis indikator cantik yang digambarkan iklan kosmetika. Sarah namanya. Kami dipanel, dan saat sesi tanya jawab berlangsung, tiba-tiba satu temanku mengangkat tangannya mantap.

“Saya mau bertanya Pak, tapi izinkan saya bertanya kepada teman saya yang ‘cantik’ saja, siapa lagi kalau bukan kepada Sarah saja, yang cantik saja loh, Pak.” Ucapnya, mantap, sambil terkekeh. Dia memicingkan mata ke arahku, menghina.

Farih namanya. Delapan tahun kemudian saat dia bertemu denganku, dia selalu menunduk. Dia canggung. Entahlah. Namun, aku berusaha menyapanya, sebab semua sudah menjadi cerita.

Baiklah, kembali pada kejadian tadi, seketika konten komedi berhasil bersambut gemuruh tawa meledak di auditorium. Aku melirik guruku yang bertugas sebagai moderator, guru pelajaran Geografi, laki-laki. Aku fikir beliau akan melindungi dan menegur perisakan ini. Rupanya salah. Beliau ikut tertawa. Dan, sama sekali tidak mempedulikan hatiku yang teriris. Dalam benakku, aku berteriak pada diriku.

“Hai Nara, jika suatu hari kau menjadi seorang pendidik, jangan seperti dia. Pedulilah, pahamilah psikologi anak didikmu yang ingin dihargai, yang ingin sedikit saja dibela agar dia berani bersuara melawan segala perisakan.”

Pada saat itu, aku berhasil tidak menangis. Hanya ada gundukan air menganak sungai yang sebisa mungkin kubendung. Paling tidak hingga aku sedang sendiri, agar tangisku pecah dalam sepi.

***

Tujuh tahun berlalu. Kini aku menjadi pengajar. Anak-anak didikku memanggil dengan sebutan ibu guru cantik. Apakah aku sudah cantik sekarang? Entahlah. Aku masih menjadi Nara yang dulu. Tapi, bukan itu yang kubanggakan. Aku begitu bahagia sebab deraan caci dan hina tak pernah menghentikan asaku. Dan, memang tak boleh.

---

Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id