Indonesia hingga hari ini masih dilanda pandemi virus yang belum terjawab kapan berakhirnya. Meski banyak para pakar dan para ahli memprediksikan secara data atau secara imaginer agar masyarakat terhibur, tidak cemas terus menerus menanyakan kapan berakhirnya pandemi. Hal tersebutlah yang membuat hampir semua aktivitas mendheg jegrek termasuk salah satunya proses belajar-mengajar di sekolah.
Hari ini anak dikembalikan ke orang tuanya, pembelajaran di sekolah menggunakan sistem daring lewat rumahnya masing-masing. Kemendikbud dan pemerintah setingkat memang mengkerutkan dahi agar koneksi pembelajaran berjalan terus demi berjalanya perkaderan bangsa.
Tentu mencari solusi tidak mudah semudah membalik telapak tangan. Lembaga pendidikan swasta diprotes habis karena sistem pembelajaran daring. Orang tua banyak yang mengeluh tentang finansial, kenapa harus bayar penuh tanpa menikmati fasilitas sekolah langsung. Memang tidak semua institusi sekolah berbayar. Banyak juga sekolah yang gratiskan biaya pendidikan. Jika dikembalikan pada kondisi yang ada, siapa juga yang mau dilanda virus seperti ini?
Otokritik yang harus disampaikan hari ini adalah tidak semua anak bisa daring untuk sekolah dan tidak semua guru nyaman dengan sistem daring. Paling tidak para guru amat sangat menahan kangen kepada murid-muridnya. Kenyamanan yang diperoleh satu-satunya adalah pembelajaran tatap muka, bercanda secara langsung.
Melihat anak-anak SD pada jam istirahat main bola dan ada yang jatuh kemudian nangis masuk UKS, Guru Tatib menjumpai murid sekolah menengahnya coba membolos melompati pagar sekolah. Begitu pula sang murid yang ketahuan dan berupaya memberikan alasan-alasan kadang lucu dan tidak masuk akal.
Mungkin kalau tidak ada pandemi, saat Hari Anak Nasional (HAN) seperti ini, sekolah dengan serunya mengadakan peringatan HAN. Murid dan guru saling berkolaborasi secara langsung, mengadakan lomba-lomba seru di sekolah. Berkumpul penuh keceriaan, bergurau tidak karuan.
Bagaimanapun esok momentum seperti itu akan tergores menjadi kenangan saat mereka belajar di Sekolah, bukan di rumah. Kalau ada guru yang nyaman dengan sistem daring di rumah, artinya bisa menikmati hari-harinya seperti itu.
Kasihanya yang tidak punya ponsel android ditambah orang tuanya tidak bisa mengoperasikan ponsel. Kemudian bagaimana para anak suku di pedalaman sana yang belum ada ODP internet masuk daerah hutan/ LMDH. Pasti ada yang seperti itu?
Kita lagi ngomongin Indonesia dengan jumlah pengguna internet yang bisa tersambung 10 juta dari 60 juta penduduk. Melihat berita di televisi atau membaca koran, ada guru yang menjadi fasilitator murid karena keterbatasan mereka untuk pembelajaran daring. Para guru datang ke rumah kelompok murid yang bernasib sama, dikumpulkan pada satu rumah dan menjalani proses belajar-mengajar, begitulah dedikasi guru.
Peran keluarga/orangtua dengan perkembangan anak didik memang tidak bisa di pisahkan. Tidak berarti jika sekolah tidak bertatap muka secara langsung maka anak menjadi makin tidak paham. Namun tetap Guru yang mempunyai peran profesional mengajarkan nilai kebaikan, kebenaran dan keindahan.
Hakikat pendidikan bagi anak adalah pemisah antara kebaikan dan keburukan. Sekolah sebagai institusi perkaderan, penanaman dan penyadaran anak didik. Sebagai anak yang sekolah kelak akan menjadi generasi penerus bangsa.
Keluarga sebagai praktisi kehidupan di mana anak akan kembali kepada masyarakat. Sedangkan guru sebagai profesional yang memberikan teori, nilai dan falsafah dalam kehidupannya kelak.
Paulo Freire bilang saat berdiskusi dengan praktisi pendidikan Amircal Cabral, mengatakan bahwa perkaderan di hasilkan dari kesatuan teori dan praktik. Bisa atau tidak ya kader bangsa lahir dari pendidikan berbasis daring? Ya nggak tahu di masa mendatang bagaimana.
Kita apresiasi bersama antara orang tua, guru dan elemen yang sudah memutar mutar otak demi berjalanya pembelajaran. Jangan lupa berterima kasih kepada semua anak yang memiliki semangat belajar tinggi dan berani jujur di setiap keadaan. Mengapa? Karena tujuan belajar pada tingkat dasar (anak-anak) baik itu dari guru atau orang tua adalah penanaman kesadaran tentang aturan-aturan moral.
Saya mengkhayal kalaupun Aristoteles masih hidup pasti tidak akan muluk-muluk memandang masalah ini. Kemungkinan dia akan bilang “Pembelajaran daring nggak daring, moral adalah pendidikan yang harus diberikan sejak dini dan harus ditanamkan kesadaran atas hal itu.”
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id