Gunung Mutis Terbelah

Honing Alvianto Bana
Lahir di Kota Soe – NTT. Saat ini sedang aktif di Komunitas Embun Molo dan Pokja OAT Nausus. 


Pucukmera.id — Seorang perempuan berambut putih dengan sepotong kain tenun yang melilit kepalanya masih termenung di kaki Gunung Mutis. Sebilah tongkat yang ujungnya menyerupai kepala ular tergeletak di sampingnya. Ia menatap gunung itu lekat-lekat. Sejurus kemudian, ia hunjamkan tongkatnya ke tanah. Sontak, gunung itu terbelah, menampakkan sebuah jalan menuju kampung Uis Pah yang sangat subur, tempat para leluhur orang Timor bersemayam.  Ironinya, tak ada satu pun masyarakat yang berani bertandang ke sana.

Hampir seluruh masyarakat yang berdiam di sekitar Gunung Mutis percaya bahwa jalan itu—yang tampak setelah gunung itu terbelah—merupakan jalan ujian. Barang siapa yang dapat melewatinya dengan lancar, maka ia termasuk orang jujur. Dan, barang siapa yang gagal, ia termasuk orang-orang munafik yang sarat akan kebohongan.

Kepercayaan masyarakat tumbuh ketika setahun yang lalu, seorang pemuda desa bermaksud melewati jalan itu—menuju kampung Uis Pah. Sebelum melewatinya, Nenek Amfutus, perempuan tua penjaga gunung itu, telah berpesan padanya bahwa jalan itu hanya dapat dilalui oleh orang jujur. Pesan itu ia anggap sebagai mitos. Ia tak percaya dengan hal-hal semacam itu. Tanpa basa-basi, ia lalu meminta Nenek Amfutus untuk membelah gunung itu. Beberapa menit kemudian, gunung itu terbelah hanya dengan sekali pukulan tongkat.

Pemuda itu lalu berjalan perlahan dengan segudang kecemasan yang mengungkung dirinya. Ia sangat takut jika gunung itu menyatu, lalu menelan tubuhnya. Sebab, ia sadar bahwa ia bukanlah orang jujur yang dimaksud. 

Benar saja. Belum dua puluh langkah ia berjalan lebih jauh, ke tengah jalan, gunung itu tiba-tiba menyatu, mengunyah dirinya dengan sangat cepat. 

Setelah kejadian itu, bergidik sudah ratusan masyarakat di sekitar gunung yang ikut menyaksikannya. Alhasil, masyarakat yakin bahwa jalan yang memotong gunung itu hanya dapat dilalui oleh orang jujur.

Tiga puluh tahun setelah kejadian itu, tak ada seorang pun yang berhasil melewati jalan yang membelah gunung tersebut.  Pada mulanya, masyarakat tak peduli dengan kenikmatan hidup di desa Uis Pah, desa seberang yang mereka lihat dari kejauhan. Memang dari kejauhan tampak desa Uis Pah ditumbuhi bahan pangan seperti kelapa, jagung, pepaya, pisang dan lain sebagainya. Namun, seiring berjalannya waktu, Desa Nenas kehabisan bahan pangan juga.

“Bahan pangan yang ada di setiap lopo1 masyarakat hampir habis. Jadi, menurut saya, sudah semestinya kita mencari bahan pangan di tempat lain.” resah seorang masyarakat.

“Ke mana kita mencari bahan pangan?”

Seorang yang lain terdiam. Tampak dahinya mengernyit dan sejurus kemudian, tebersit sesuatu, “Kampung Uis Pah. Jelas sudah, bahan pangan melimpah ruah di sana.”

“Lalu, bagaimana kita ke sana? Bukankah hanya orang jujur yang dapat pergi ke kampung seberang itu?”

“Uuuh… kita cari saja orang jujur di kampung kita.”

“Mana ada orang jujur di sini?”

***

Makin hari desa Nenas makin padat. Ketersediaan pangan di sana juga kian tipis. Jagung-jagung yang ditanam sejak tiga bulan lalu gagal panen. Banyak hama menyerang tanaman mereka. Tak cukup sampai di situ, jumlah air bersih terus berkurang. Kemarau panjang telah menyerang. Tanah-tanah jadi kering dan retak.

Anen Ausnakan, seorang kepala suku di wilayah tersebut menyarankan salah satu dari warganya supaya bertandang ke desa Uis Pah untuk mencari buah-buahan yang menguning, jagung, pisang, kelapa, pepaya, atau apa pun demi mencukupi kebutuhan pangan di kampungnya. Tentunya, itu cuma dapat dilakukan dengan melewati jalan setapak di tengah gunung setelah gunung itu terbelah—yang artinya, Anen Ausnakan dan beberapa penduduk harus menemukan orang jujur.

Amanat itu pun jatuh ke Tinus Fafinisin, seorang lelaki sebatang kara yang tinggal di selatan kampung. Kepribadiannya terbilang baik. Ia adalah seorang pendoa yang dipercaya mendapat ilham dari Uis Neno2. Tak sedikit penduduk yang percaya bahwa Tinus Fafinisin bakal berhasil melewati jalan tersebut. Maka, untuk urusan yang sangat genting ini, beberapa penduduk membekali Tinus Fafinisin dengan bekal jagung bose3, karung, parang dan sebuah katapel. 

Akhirnya, di bawah terik matahari yang menyengat ubun-ubun, tugas berat itu pun ia laksanakan. Tinus Fafinisin berjalan kaki menuju kaki gunung, dan belasan laki-laki mengikutinya di belakang dengan perasaan berdebar. Perempuan dan anak-anak hanya melihat dari kejauhan tanpa ada keberanian untuk mendekat.

Tinus Fafinisin kemudian berlalu ke timur. Ia menyeberangi tiga buah sungai sebelum akhirnya menuju  tempat Nenek Amfutus. Dari kejauhan ia melihat Nenek Amfutus yang tengah duduk bersila bersama tongkat kepala ular yang ia tancapkan di sisi kanannya.

Tinus Fafinisin kemudian duduk di sisi kiri Nenek Amfutus, lalu ia menaruh bekalnya. Ini adalah pertama kalinya ia berjumpa dengan Nenek Amfutus, orang tua sakti yang sering jadi perbincangan masyarakat di desa Nenas. Ia pandangi perawakannya: wajah keriput, sarung lusuh yang ia kenakan, dan sepotong selendang yang melingkari kepalanya. 

“Apakah kau bermaksud melewati jalan ini?” Sepertinya, tanpa dijelaskan, Nenek Amfutus telah mengetahui maksud kedatangan Tinus Fafinisin.

Tinus Fafinisin membisu. Tak menjawab sepatah kata pun.

“Kenapa Nenek menunggu gunung ini?” Tinus Fafinisin memberanikan diri untuk bertanya. 

Nenek Amfutus menarik napas panjang-panjang dan menatap langit biru sebelum mengembuskannya. Ia lalu mengambil sirih-pinang, mencampurkannya dengan kapur dan beberapa akar pohon sebelum mengunyahnya. 

“Desa Uis Pah adalah tempat tinggal para leluhur Timor. Itu sebabnya saya ingin menjaganya. Sudah seratus tahun lebih saya hidup di kaki gunung ini. Saya menjaga tempat ini karena saya merasa resah hidup di desa Nenas. Sudah tidak ada lagi orang yang jujur.  Oleh sebab itu, saya sengaja bermukim di kaki gunung ini, menjadi penunggu bagi orang-orang jujur yang hendak menyeberang ke kampung para leluhur Timor bersemayam.”

“Apa benar, Nenek dapat membelah sungai ini dengan sekali hentakan tongkat?” selidik Tinus Fafinisin. “Mm… seperti Musa?”

“Ya, seperti Musa, orang-orang jujur selalu punya jalan.” kata sang nenek.

Mendengar hal itu, Tinus Fafinisin lalu menganggukkan kepala. 

“Saya dengar, kau satu-satunya orang yang dianggap jujur di kampung ini. Maka, mereka memintamu melewati jalan ini untuk mengambil beberapa bahan pangan dari kampung para leluhur ke kampungmu. Apa benar begitu?”

Tinus Fafinisin mengangguk perlahan untuk kedua kalinya.

“Baik, kita buktikan, apakah kau dicintai leluhur atau tidak, dan apakah kau termasuk orang jujur atau munafik.” pungkas Nenek Amfutus.

Dan beberapa saat kemudian, Nenek Amfutus meludahi telapak tangannya, dan dengan ludah merah darah itu ia menggosok tongkat yang ia pegang. Ia lalu memukul tongkat tersebut ke tanah. Byaaar! Gunung Mutis itu pun terbelah. Terbukalah sebuah jalan menuju kampung para leluhur.

Sejurus kemudian, mulailah Tinus Fafinisin berjalan secara hati-hati. Di sepanjang jalan, Tinus Fafinisin melihat sisi tebing. Ia jumpai rusa Timor yang hampir punah dan binatang-binatang lainnya yang tak pernah ia lihat selama hidup. Ia lalu tersadar kalau tebing ini sangat curam. 

Tiba-tiba, Tinus Fafinisin berhenti tepat di tengah jalan. Pikirannya berkelana. Tebersit sesuatu yang membikin ia terdiam cukup lama. Ia sadar bahwa dirinya dianggap jujur dan baik oleh masyarakat desa Nenas. Tapi, apakah itu perlu? Apakah ia perlu dan butuh dianggap seperti itu? Kadang anggapan seperti itu bisa jadi jebakan. Bilamana ia dianggap jujur, tak semestinya ia sepakat. Anggapan hanya akan membuat dirinya seakan suci. Seakan tak perlu lagi bersifat jujur dan berperilaku baik. Tinus Fafinisin memikirkan hal itu.

Karena itulah, Tinus Fafinisin lekas mengurungkan niatnya untuk melanjutkan perjalanan ke desa Uis Pah. Ia lalu berbalik. Belasan penduduk yang melihat dari kejauhan mulai kebingungan ketika Tinus Fafinisin tiba-tiba membalikkan punggungnya, memutar arah, berjalan kembali ke desa Nenas. 

Di tengah perjalanan kembali, Tinus Fafinisin merasakan hawa dingin menjalar dari kepala hingga tumit. Rambutnya yang kerontang seakan terbakar. Keringat mengucur, bersamaan dengan bajunya yang lambat laun jadi basah. Tinus Fafinisin melihat ke kiri. Seketika, ia jumpai tebing makin lebar dan menganga seperti mulut. 

Sedetik kemudian, gunung itu menyatu kembali, mengunyah tubuh Tinus Fafinisin hingga sirna tak tersisa.  Belasan penduduk yang melihat kejadian itu bergidik. Mereka tak menyangka, orang sebaik Tinus Fafinisin gagal juga melewatinya.

Setelah kejadian itu, tak ada satu pun penduduk yang berani menyeberang jalan di tengah gunung itu. Mereka sadar, sampai kapan pun, kejujuran memang sulit diterapkan. 


Keterangan : 

[1] Lopo: Rumah tradisional penduduk Timor. Digunakan juga sebagai lumbung dan tempat pertemuan.

[2]. Uis Neno: Tuhan atau Allah dalam bahasa daerah masyarakat Dawan, Pulau Timor.

[3] Jagung Bose: Makanan tradisional penduduk Timor. 


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
3Suka10Banget
Show CommentsClose Comments

1 Comment

  • Binance美国注册
    Posted March 24, 2025 at 12:44 am 0Likes

    Your point of view caught my eye and was very interesting. Thanks. I have a question for you.

Leave a comment