Sebab kapasitas dan kualitas pekerjaannya yang baik di tengah penduduk, ia sering dipanggil dengan Kiai Shalihin. Tetapi berhubung dia mempunyai perangai yang santai, santun supel, dan memang menjadi bagian yang wajar dari seluruh kebudayaan penduduk desa setempat beserta bahasa, tingkah laku, idiom-idiom ungkapnya, maka Shalihin itu disingkat menjadi Shal saja.
Ada yang memanggil Kiai Shal, secara geguyon. Ada yang manggil Pak Shal, Cak Shal. Kemudian kalangan atau lapisan penduduk tertentu memanggilnya dengan Guk Sol. Guk merupakan sinonim dengan Cak atau Gus. Guk digunakan untuk kalangan “asfala shafilin” dalam konteks budaya. Sedangkan “Sol” merupakan dari kata “Shal”. Kalangan ini memang menyebut sesuatu dengan lebih mudah dan simpel.
Hari-hari dalam bulan syawal ini, desa diributkan dengan keinginan Guk Sol untuk hijrah ke Jombang beserta keluarganya. Mereka bermaksud untuk mengurusi Rumah Yatim dan Sekolah Menengah Islam tertentu di sana. ‘Gimana sih ? Lah terus siapa yang jadi imam di masjid ? siapa yang memayungi dan mengelola TK, SD, SMP, hingga Diniyah, dan lainnya ? terus kepada siapa lagi masyarakat akan mengadukan masalah-masalahnya ? kepada siapa penduduk mengeluh soal keharusan soal tanam tebu, pertengkaran rumah tangga, organisasi olahraga kampung, dan lain lain?’. Banyak orang yang rerasan dan ada yang protes. Tetapi Guk Sol itu hampir mustahil diprotes. Ia orangnya pendiam. Gong aja kalau di-thuthug bakal bunyi, tapi Guk Sol belum tentu mau bunyi dan ngomong. Bahkan begitu mahal untuk sesekali tersenyum.
Ada kemungkinan begitu amat kelelahan hidupnya. Begitu banyak hal yang menimpa dirinya dan dilingkungan dan kebanyakan itu semua tak pernah bisa diselesaikan dengan kata-kata secara teoritis, dan empiris. Ia sudah capek untuk ngomong, dan selama ini ia hanya bekerja, bekerja, bekerja sambil ngomong amat seperlunya saja. Ia seperti ngomong kalau memang sifatnya wajib saja. Kalau omongan yang bersifat sunnat, atau apalagi makruh dan haram, pasti ia nggak mau ngomong. Jadi, atas semua protes da rerasan itu ia hanya diam seribu bahasa.
Akhirnya, sasaran protes tersebut ditujukan kepada ibunya Guk Sol. Ibu yang sudah rentan itu yang memang tahu persis keadaan itu kemudian menjawab
“Sekarang kalian baru ribut ! sekarang kalian harus merasa kehilangan ! selama Sol disini kalian sama sekali tidak pernah merasa memiliki, apalagi membantu dan menghidupi tugas-tugasnya. Sekolahan-sekolahan yang ruwet dan miskin, kelancaran dan akomodasi pendidikan di masjid, persoalan kalian dengan para pamong, dan seterusnya. Kalian bebankan hanya kepada Sol seorang, sementara kalau ada apa-apa tak seorangpun diantara kalian mau untuk membantu” Tegasnya
“Sol memang sudah salah besar membiarkan manja dan semakin tidak tahu diri. Ia berlagak menjadi juru selamat atas semua persoalan, dan problematika kalian secara sendirian dan independen, sampai ia kurus dan sama sekali tidak bisa tersenyum. Sekarang ia pun mau pergi. Tidak untuk sebuah kebatilan, dan sekarang kalian baru bisa mencak-mencak. Rupanya kalian ingin memonopolinya, tetapi disaat yang sama kalian dumeh (peduli) kepadanya. Kalau Sol sudah pergi, bagi kalian ia baru ada kehadirannya!”, Pungkas Sang Ibu tajam.
Tetapi apakah memang Guk Sol benar-benar pergi dan hijrah ke Jombang, kota kecil yang penuh dengan syarat keagungan ? ia memang sudah ter-dapuk (diangkat menjadi anggota organisasi) di sana, tetapi itu akan menguragi perannya di tengah persoalan para penduduk desa. Untunglah situasi kemudian menjadi macet. Istri Guk Sol keberatan suaminya berhijrah dalam bulan syawal, karena ada mitos desa bahwa hal tersebut itu bisa bahaya.
Guk Sol tentu bukan orang yang akan bertengkar dengan istrinya. Ia diam-diam tentu saja berfikir itu “tidak mendidik dan tidak membimbing”. Dan didalam kediamannya itu terkadang ia membayangkan mungkin ada suatu hari dimana ia terbang jauh disuatu tempat, entah dimana, yang jelas bukan disini, juga bukan disana.
Oleh : Faza Ali Provan
Illustrator : Ifan