Dion Kristian Cheraz Pardede
Mahasiswa Hukum
Setiap isu yang menggerahkan publik dan melahirkan sebuah gerakan kolektif pasti punya dinamika tersendiri. Namun, setidaknya kita punya satu fenomena yang jarang absen dalam dinamika tersebut. Yakni sifat edgy dari orang yang bergerak atau tergerak.
Tidak jarang, ketika kita bersama dalam sebuah kelompok, sebenarnya kita tidak benar-benar satu dalam segala hal. Kita ambil isu rasial akhir-akhir ini sebagai contoh. Diawali dengan aksi besar-besaran di seberang negeri sebagai reaksi atas terampasnya nyawa George Floyd, yang kehabisan napas di lutut polisi kulit putih.
Reaksi tidak hanya terjadi di sana. Orang-orang di dalam negeri juga turut bersuara. Tagar #JusticeForGeorgeFloyd dan #BlackLivesMatter, setia mondar-mandir di timeline media sosial kita. Kebanyakan atau setidaknya teman-teman yang saya ikuti di Instagram melayangkan protes di vitur Instagram Story-nya dengan menggunakan bahasa Inggris.
Saya senang sekaligus skeptis akan trend ini. Senang, jika benar mereka melaksanakannya sebagai bentuk solidaritas insan. Namun, juga skeptis, tatkala bentuk solidaritas tersebut hanya tampak dalam unggahan Instagram Story mereka.
Dasar keskeptisan saya sederhana. Saya gambarkan dalam sebuah pertanyaan: “Ketika ada kasus diskriminasi di negeri sendiri (Papua), ke mana mereka?” Demikian seterusnya sampai saya menuding dalam sebuah tweet bernada sindiran, bahwa mereka hanya mengikuti aksi tersebut karena merasa keren ketika melalukan protes menggunakan bahasa Inggris.
Ya, keskeptisan saya agaknya terbukti di mana baru-baru ini, seorang ketua BEM Universitas Sains dan Teknologi Papua, dikenakan pasal makar sebagai ganjaran atas penggunaan haknya sebagaimana tercantum dalam konstitusi, yakni berpendapat dan berserikat. Penangkapan ini menyusul penangkapan yang terjadi sebelumnya pada Ferry Kombo, mantan Ketua BEM Universitas Cenderawasih, pada tahun 2019 lalu.
Adakah teman-teman saya tersebut bersuara? Tidak. Story mereka kosong akan hal ini. Ya, memang bukan hanya di kasus ini saja mereka tidak melihat gajah di pelupuk mata. Beberapa dari kita mungkin sudah sadar akan diskriminasi berkepanjangan di Papua dan saya beritahu sekarang, sepanjang itu mereka tidak muncul.
Saya semakin yakin akan ketidaktulusan mereka ketika mengingat hal tersebut.
Saya tentunya bukan tidak prihatin, saya bahkan geram atas apa yang menimpa George Floyd. Tetapi dalam hal ini, saya merasa ada yang salah. Saya merasa mereka tidak pantas, saya merasa mereka sebaiknya tidak ikut dalam aksi.
Saya harus akui saya agak edgy dalam hal ini. Saya merasa tidak sudi bergerak bersama mereka. Saya menganggap kepedulian saya lebih tulus dari mereka. Saya merasa mereka tidak pantas untuk menyuarakan pembelaan atas korban penindasan di seberang negeri ketika di tanah air sendiri masih marak diskriminasi rasial.
Tetapi belakangan saya tersadar, sepanjang ada itikad baik untuk mengajak orang lain melawan sesuatu yang jelas-jelas salah, sah saja untuk ikut bergerak.
Namun, saya tetap skeptis dan terus mempertanyakan ketulusan dukungan mereka terhadap penghapusan diskriminasi. Tetapi makin hari saya makin yakin, sebenarnya ini awal yang baik untuk ke arah yang lebih baik pula.
Bergerak untuk melawan diskriminasi dan menuntut keadilan tidak perlu mengandalkan titel ‘orang lama’. Selama isu tersebut menggerahkan kita, silakan saja disuarakan.
Dalam hal gajah di pelupuk mata tidak terlihat, setelah mengelus dada saya pun bersepakat dengan diri sendiri untuk berhenti menghakimi siapa yang pantas/tidak untuk bersuara. Saya memutuskan untuk menjadikannya evaluasi, untuk lebih getol lagi mem-blow up isu dalam negeri.
Jujur, saya juga tidak terlalu sering melakukan ‘advokasi online’ atas korban diskriminasi rasial di Papua. Saya membicarakannya lebih banyak secara tatap muka atau via WhatsApp dengan beberapa teman.
Hal inilah yang menyadarkan saya, penyuaraan ini akan menjadi besar dan berdampak ketika terbentuk sebuah gerakan kolektif yang tidak hanya sekadar diskusi antar orang-orang tertentu, tetapi juga niatan dan tindakan untuk membuka lebih banyak telinga.
Eksklusivitas beberapa orang dalam sebuah kelompok hanya akan menggerogoti dan menjadi bom waktu untuk menghancurkan semangat dari sebuah gerakan.
Mungkin apa yang dialami George Floyd tidak akan berdampak terlalu besar atau membuka banyak telinga jika para pemrotes menciptakan kotak-kotak baru soal pantas/tidaknya orang untuk berunjuk rasa.
Dari situlah saya belajar untuk di kemudian hari. Selain fokus mempelajari keabsenan perlindungan hukum kepada orang Papua sebagaimana disiplin ilmu saya, saya juga harus aktif mengeksposnya agar semakin banyak mata yang terbuka. Agar isu ini semakin masif dibicarakan yang pada akhirnya pasti berimplikasi pada tindak lanjut pemerintah untuk menyelesaikannya.
Tren positif juga agaknya mulai timbul berupa tagar #PapuanLivesMatter di berbagai platform media sosial. Hal ini pastinya bisa terjadi karena banyak pihak yang mengenyampingkan ego personal demi kepentingan yang lebih besar lagi. Seperti mengajak massa #JusticeForGeorgeFloyd di Indonesia untuk turut menggalakkan tagar #PapuanLivesMatter.
Cara-cara seperti itu terbukti lebih efektif untuk menarik lebih banyak orang ke dalam sebuah gerakan. Saya yakin bukan hanya saya yang skeptis terhadap pergerakan beberapa orang, tetapi untuk nge-tweet bernada sindiran yang saya lakukan sebenarnya bisa dipikirkan ulang.
Dari hal-hal tersebut, saya belajar untuk berfokus pada tujuan. Dalam hal ini memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dengan cara dan kemampuan masing-masing.
Saya pun sadar, pada intinya mereka toh juga membela kemanusiaan. Kalaupun tidak tulus dan hanya cari panggung, setidaknya langkah mereka turut menyadarkan bahwa isu rasial bukanlah masalah yang spasial namun universal.
Pada akhirnya, saya mungkin akan tetap kesal terhadap siapa pun yang tutup mata soal Papua. Akan tetapi saya akan coba lebih dewasa dalam aksi-aksi sejenis ke depannya. Bahwa untuk bergerak, siapa saja boleh melakukannya.
Saya pun bukanlah orang yang terlalu ahli dalam mengadvokasi korban-korban diskriminasi rasial. Maka dari itu saya akan terus belajar dan tidak ada salahnya untuk belajar bersama. Demi suatu intensi yang baik adanya.
Tidak perlu merasa lebih berjasa, lebih dulu, sehingga layak untuk bersuara, kemudian menjadi hakim atas pantas atau tidaknya seseorang atau kelompok untuk turut bersuara. Semua punya peran dan signifikansi tersendiri buat sebuah gerakan. Setidaknya kita sama-sama bergerak.
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id