Adi Fauzanto
PUCUKMERA.ID Hutan beton, kata yang tepat untuk untuk menggambarkan kota-kota seperti mantan Ibu Kota, Jakarta beserta kota besar lainnya. Di balik megahnya bangunan-bangunan itu, tersimpan banyak jejak emisi. Mulai dari proses awal hingga jalannya sebuah konstruksi.
Terlihat dalam data terbaru dari Global Alliance for Buildings and Construction di tahun 2021, tercatat sektor pembangunan bangunan –dari awal hingga operasional– bertanggung jawab atas 37% emisi karbon.
Terngiang petikan bait syair Iwan Fals tentang serahkahnya kota –akan tetapi dalam konteks yang berbeda, yaitu terkait jejak emisi karbon. “Tersentuh sebuah rencana, dari serakahnya kota.”
Untuk menekan keserakahan itu, tentu, harus tahu apa yang harus kita tekan, apa yang harus kita hadapi, dan apa yang harus dilakukan terhadap keserakahan itu. Tentu untuk menyeimbangkan dan mengembalikannya menjadi asri kembali.
Apalagi jika melihat data BPS (Badan Pusat Statistik) terkait pertumbuhan perusahaan konstruksi yang terus meningkat, mulai dari skala kecil, menengah, hingga besar. Jika digabungkan dari 3 skala perusahaan konstruksi tersebut, tercatat peningkatan signifikan mulai dari tahun 2000 sebanyak 28 ribu, hingga kepada 190 ribu perusahaan di tahun 2023.
Pula, didukung juga dengan data BPS terkait peningkatan transaksi yang diselesaikan perusahaan konstruksi yang mengalami peningkatan signifikan, mulai dari 100 miliar di tahun 2007 hingga mencapai puncak tertingginya di tahun 2018 yang mencapai 617 miliar.
Tentu, ini adalah industri yang tidak akan pernah berhenti sepanjang manusia tetap hidup, bersaling taut dengan kebutuhan akan papan manusia, dan akan jadi kerisauan jika industri ini begitu ‘serakah’ seperti petikan bait Iwan Fals di atas.
Kondisi Bangunan Hijau
Tak pelik, salah satu caranya ialah dengan membangun sebuah gedung atau bangunan yang ramah akan lingkungan hidup itu sendiri.
Sederhananya ialah sebuah bangunan, yang harus dilihat dari proses perencanaan, pembangunan, pengeoperasian. Jika ketiganya direncanakan dan dijalankan dengan baik, dalam arti memperhatikan aspek lingkungan hidup, bisa dibilang gedung ini dikatakan ‘hijau’.
Secara konsep green building –sapaan yang akrab di dunia konstruksi– menurut Yuliatna dalam tesisnya ialah mengoptimalkan tingkat penggunaan energi yang diwujudkan dalam tata kelola energi listrik, sistem ventilasi atau penghawaan, tata kelola cahaya, manajemen sumber daya air, hingga pemilihan bahan untuk konstruksi yang mudah didaur ulang, juga ramah lingkungan.
Sejauh ini tercatat bangunan hijau di Indonesia berjumlah 128 bangunan, perhitungan tersebut berdasar data bangunan yang mendapatkan sertifikasi greenship yang dinilai oleh GBCI (Green Building Council Indonesia), lalu sertifikasi EDGE yang dikeluarkan oleh IFC (International Finance Corporation), kemudian pemenang Penghargaan Subroto –yang dahulunya merupakan PEEN (Penghargaan Efisiensi Energi Nasional)– oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terakhir ASEAN Energy Awards.
Dari 128 bangunan, terbanyak merupakan gedung perkantoran, baik itu swasta maupun pemerintah yang berjumlah 88 gedung, tentu jika dilihat hal tersebut masih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah gedung komersil, yang menurut data Kementerian ESDM dalam Seminar Nasional Dekarbonisasi (20/09/2023) mencatat terdapat 679 gedung komersil.
Lebih menariknya, hanya 12 bangunan yang merupakan bangunan hotel, apartemen, atau perumahan. Berbanding terbalik jika melihat banyaknya hotel di Indonesia, menurut data BPS tercatat jumlah hotel non-bintang dan bintang di Indonesia pada tahun 2000 mencapai 10 ribu hotel, apalagi jika melihat data di tahun 2022 yang mencapai 29 ribu hotel.
Pun begitu dengan apartemen –meski tak sebanyak hotel– yang cukup banyak jika melihat data Rakumen.com sebanyak 838 bangunan apartemen.
Lebih parah jika melihat rumah susun (rusun) yang ada di Indonesia, tak satupun yang mendapatkan predikat bangunan hijau. Terlebih jika melihat praktik buruk pembangunan rusun di Indonesia, seperti Rusun Marunda.
Tak terbayang jika hal tersebut terus terjadi, jika melihat banyaknya unit rusun yang dibangun Pemerintah. Tercatat jumlah unit rusun di Indonesia menurut data Kementerian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di tahun 2015 tercatat 10 ribu dan hingga tahun 2023 yang terjadi penurunan sebesar 4 ribu unit rusun.
(Data Unit Rusun di Indonesia)
Akan tetapi terdapat rusun yang dirancang oleh arsitek Yu Sing, yaitu Kampung Susun Cakung yang dibangun dengan menerapkan prinsip ramah lingkungan, “bangunannya panggung, tidak diuruk, jadi jika banjir airnya ke bawah bangunan,” ucapnya dalam wawancara khusus (27/6/2024), ditambah, “menggunakan ventilasi silang menghadap keluar.”
Ajaran Bangunan Hijau
Tentu, data tersebut sedikit menggambarkan komitmen akan bangunan hijau. Terlidik dari hasil penelitianRezky, dkk. di Surabaya, bahwa hal yang tersulit ialah berkaitan komitmen dari pimpinan untuk melindungi lingkungan.
Hal tersebut juga diakui oleh Yu Sing, “persoalannya dari bangunan hijau ketika ingin dipraktikan, kadang-kadang ditolak oleh klien developer, karena biayanya jadi tinggi dan tidak ada subsidi dari pemerintah.”
Hal tersebut, diakui oleh salah satu konsultan bangunan hijau yang juga sebagai akademisi fisika bangunan, Rifqi Ikhwanuddin, dalam wawancara khusus (26/06/2024) ia mengatakan, “memang penilaian bangunan hijau (dari GBCI) mengincar bangunan mewah dan besar,” tujuannya untuk menarik perhatian, “ini mungkin strategi dari pendahulu GBCI.”
Akan tetapi menurutnya, “banyak bangunan, ntah tempat tinggal atau restoran atau apapun itu, sudah otomatis hijau, tanpa perlu ada sertifikasi hijau, misalnya melihat bangunan tradisional yang sampai sekarang masih eksis,” dikarenakan tanggap terhadap lingkungan dan iklim.
Merujuk perkataan tersebut, setidaknya sebuah bangunan dikatakan hijau jika memenuhi prinsip-prinsip atau syarat-syarat yang ada, diantaranya yang dikeluarkan oleh Kementerian PUPR dan GBCI.
Kementerian PUPR, melalui kebijakan peraturan menterinya (Permen No. 2/PRT/M/2015 Tahun 2005)meregulasi terkait bangunan gedung hijau, dalam aturan tersebut setidaknya mengatur terkait syarat dikatakannya bangunan tersebut hijau, mulai dari pemograman gedung, perencanaan teknis gedung, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan gedung, hingga pembongkaran gedung.
Dalam hal ini menurut arsitek, Yu Sing, dalam wawancara khusus (27/06/2024) menilai, pemerintah seharusnya tidak hanya memperhatikan bangunan hijau saja, “karena kita hanya melihat aspek bangunannya, yang sangat kurang ditekankan pemerintah ialah aspek lingkungan kawasan, pemerintah harus berusaha keras untuk menurunkan suhu kota itu terlebih dahulu.”
Misalkan menurutnya, “Setiap kaveling atau komplek wajib menanam pohon berapa? nah itu menurunkan suhu lingkungan, itu akan lebih ringan untuk membangun sebuah bangunan hijau nantinya.”
Jangan sampai menurutnya seperti Singapore, “yang banyak mendapatkan predikat juara pada bangunan-bangunan hijau dalam Indeks Kota Hijau, sangat hebat sekali, akan tetapi kenaikan suhu rata-rata Singapore dua kali lipat dari rata-rata suhu global.” Ia menambahkan, itulah pekerjaan rumah yang paling berat.
Selain Kementerian PUPR, GBCI mensyaratkan tidak hanya terkhusus kepada gedung, tentu ini yang paling tepat jika melihat bangunan secara umum di antaranya:
Pertama, pengembangan lahan –atau yang biasa dikenal dengan tapak bangunan. Mulai dari memperhatikan akan datangnya cahaya matahari, mempersiapkan area tadah hujan untuk menyimpan air, mempersiapkan ruang terbuka hijau beserta tumbuh-tumbuhannya, juga memperhatikan lalu-lalang pengguna bangunan agar bisa dijangkau oleh siapapun —tanpa terkecuali.
Bagian dari aspek ini menurut penelitian Rezky, dkk. di Surabaya merupakan hal yang paling mudah menurut para pihak seperti kontraktor, konsultan, dan pemilik.
Akan tetapi, terdapat hal yang perlu diperhatikan, menurut Rifqi Ikhwanuddin, “bangunan hijau harus memperhatikan lokasi yang tidak boleh sembarangan, apakah kita boleh membangun bangunan di atas sawah? tidak boleh, tetapi faktanya pemekeran kota mengambil lahan sawah.” Jelasnya, “ya, itu tergantung pemerintah (sebagai penentu kebijakan).”
Kedua, efisiensi energi. Mulai dari memperhatikan selubung (dibaca: dinding) dan sistem ventilasi atau penyejukan ruangan terhadap bukaan udara yang masuk dan keluar, pemilihan peralatan listrik juga teknologi yang efisien dan hemat energi juga penggunannya yang tepat, hingga merencanakan prosedur pemantauan manajemen energi secara berkelanjutan seperti pencatatan konsumsi listrik.
Terkait dengan ketepatan penggunaan alat elektronik, Rifqi Ikhwanuddin mengatakan, “ketepatan instalasi elektronik juga sangat dibutuhkan untuk dapat mengefisiensi penggunaan.” Menurutnya, penempatan pendingin udara yang tidak tepat justru membuat teknologi tersebut bekerja lebih keras dan tidak hemat energi.
Menurut Yu Sing, bangunan terutama gedung masih sangat bergantung kepada pendingin ruangan, “AC ini teknologi yang menimbulkan efek gas rumah kaca, menyebabkan lingkungannya jadi panas, sebaliknya gedungnya dingin.”
Ketiga, konservasi air. Mulai dari memperhatikan sumber air yang ada, merencanakan kebutuhan akan air bersih, juga cara pengelolaannya, seperti pengadaan meteran –untuk mengekuru konsumsi air bersih, penggunaan teknologi untuk konservasi air yang terbuang, hingga kampanye dan komitmen terhadap hemat air.
Menurut Yu Sing, mengatakan konservasi air merupakan hal yang dampaknya cukup parah dan mahal jika tidak diperhatikan, “karena tidak ada pengisian ulang air tanah (yang menyebabkan kelangkaan).”
Oleh karenanya aspek konservasi air, menurut penelitian yang dilakukan Edwin, dkk. merupakan aspek yang paling mempengaruhi dalam pengerjaan konstruksi menurut para pihak seperti kontraktor dan arsitek.
Keempat, bahan konstruksi bangunan. Mulai dari pengunaan material yang ramah lingkungan dan alami sesuai kondisi sumber daya alam dan iklim, lalu memperhatikan siklus daur hidup bahan tersebut, hingga memperhatikan proses dari seluruh rangkaian pengerjaan rangkaian yang harus ramah lingkungan, mulai dari pengadaan, pembuatan, pengangkutan, hingga pemasangan.
Menurut Yu Sing, dalam wawancara khusus (27/06/2024), mengatakan, “kalau menggunakan material impor tentu akan menghabiskan banyak emisi karbon, dibandingkan menggunakan material lokal.”
Kelima, kualitas udara dalam ruangan. Mulai dari memperhatikan perencenaan desain yang tanggap akan datangnya lingkungan dan iklim dengan memperhatikan tingkat kecerahan cahaya matahari yang datang dan gangguan dari lingkungan sekitar, didukung dengan sistem ventilasi udara yang baik untuk menukar udara panas kepada udara segar di dalam bangunan, hingga ketepatan penggunaan kinerja peralatan pendingin ruangan di dalam ruangan.
Menurut Yu Sing, “hal pertama dan utama yang perlu diperhatikan ialah bagaimana mengatasi sinar matahari sebagai sumber panas ke dalam bangunan, baik itu melalui atap bangunan atau ventilasi.” Juga memperhatikan dinding sebagai penerima panas matahari.
Selain itu menurut Rifqi Ikhwanuddin, yang juga sebagai ahli fisika bangunan, mengatakan, “strategi yang diutamakan ialah menghalangi bangunan dengan sesuatu yang bisa menyejukkan, yaitu pohon, itu teknologi alam semesta.”
Keenam, manajemen energi bangunan. Memperhatikan dan merencanakan sistemen manajemen yang berkelanjutan sejak dalam tahap desain bangunan, mulai dari memerlukan standar operasional hingga baku mutu untuk mengarahkan operasional bangunan hijau, transparansi informasi operasional energi, serta menempatkan sumber daya manusia yang mengerti akan bangunan hijau dalam manajemen energi tersebut.
Alih-alih menggunakan prinsip dan syarat dari dua lembaga di atas, terdapat cara sederhana melihat dan menghitung sebuang bangunan hijau. Di antaranya:
Pertama, menggunakan rumus sistem keberlanjutan lingkungan ¬–yang diformulasikan di Kyushu University– yaitu T = W – D.
Simbol T (throughput atau hasil) harus dihitung dan menghasilkan angka semaksimal mungkin. Untuk mencapai angka maksimal maka Simbol W (Welfare atau keberlanjutan) harus dimaksimalkan dengan cara memperhatikan prinsip bangunan hijau, juga dengan menekan angka dari simbol D (Damage atau kerusakan), artinya menekan dampak atau kerugian lingkungan yang dihasilkan.
Simbol W di sini, juga bisa diartikan sebagai kenyamanan, yang menurut Tri Harso Karyono dalam bukunya, harus melingkupi aspek kenyamanan ruang gerak, kenyamanan visual atau penerangan, kenyamanan termal atau suhu di dalam ruangan, hingga kenyamanan terhadap suara dari luar.
Kedua, bersumber dari salah satu cuitan akun di media sosial X, Marlistya Citraningrum, yang juga peneliti dari IESR (Institute for Essential Services Reform). Marlistya menjelaskan sebuah bangunan efisien energi bila memenuhi 3 jenjang.
Jenjang paling dasar ialah konservasi energi seperti ventilasi dan pencahayaan yang baik, ditengah ialah efisiensi energi seperti menggunakan peralatan elektronik ramah energi, dan puncaknya ialah menggunakan energi terbarukan seperti panel surya.
Dalam konteks yang lebih praktis, saya coba membaginya menjadi 3 bagian piramida juga. Paling dasar, tetap yaitu konservasi energi. Di tengah, mengelola atau manajemen energi sebagai cara kita mengetahui dan mengatur secara keseluruhan energi di suatu bangunan. Teratas ialah, penggunaan peranti atau peralatan hemat energi, sebagai langkah terakhir setelah mengetahui titik lemah dari proses audit energi.
Konservasi Energi
Mengkonservasi energi pada prinsipnya menurut Prihandita dalam tugas akhirnya merupakan kegiatan pemanfaatan energi secara efisien dan rasional, tanpa perlu mengurangi penggunaan energi yang diperlukan untuk proses pembangunan.
Langkah pertama dan yang paling utama, untuk mengkonservasi energi dari suatu bangunan, tentu harus diubah dulu cara gaya hidup manusianya, kitanya. Menurut arsitek, Budi Faisal, “ubah dulu gaya hidupnya, baru (bahas) green building.”
Pun disetujui oleh Fadel Iqbal Muhammad, sebagai peneliti CLASP, dia menggambarkan bahwa terdapat masalah berbeda di antara pemanfaatan peralatan ramah energi dan cara menggunakan peralatan ramah energi tersebut, “memang ini tidak bisa lepas dari kultur (kebiasaan manusia), ya,” ucapnya dalam kegiatan pelatihan efisiensi energi di Bogor (10/6/2024).
Setelah dari mengubah pola pikir dan kebiasaan, ialah dengan tanggap terhadap lingkungan di sekitar, pada prinsipnya menurut Tri Harso Karyono, arsitek atau perancang bangunan merupakan representasi iklim atau lingkungan sekitar, dan karyanya merupakan hasil gambaran dari kondisi lingkungan sekitar.
Representasi iklim tersebut dilihat dari, misal di Indonesia yang merupakan iklim tropis, melihat arah datangnya matahari, lalu melihat ruang hijau (pepohonan), arah datangnya angin, hingga sumber polusi di sekitar –ntah itu polusi udara, polusi suara, polusi lainnya. Hingga ancaman lingkungan lainnya seperti hujan besar yang dapat menyebabkan banjir atau apapun hal lainnya.
Secara lengkap dijelaskan lagi oleh Tri Hasro Karoyono, ia menjelaskan perlunya langkah-langkah tersebut mulai dari organisasi ruang dan orientasi bangunan, rancangan atap, ventilasi, kondisi dinding, ketebalan dinding, hingga pemilihan material bangunan yang seluruhnya harus disesuaikan dengan kondisi iklim.
Dalam pemilihan material bangunan misalnya, menggunakan batu bata untuk rumah misalnya, atau penggunaan cat berwarna terang untuk memantulkan sinar matahari. Akan tetapi menurut Rifqi Ikhwanuddin, mengatakan warna memang baik untuk memantulkan panas, akan tetapi, “seberapa cerah material terkadang tidak bisa memantulkan 100 persen, bisa saja 50 persen dan sisanya terserap oleh bangunan dan tidak bisa menjadi strategi utama untuk bangunan hijau.”
Sejalan dengan itu semua, dalam ranah pembangunan gedung, Pemerintah telah membuat standar nasional atau SNI (Standar Nasional Indonesia). “Antara lain adalah SNI pada sistem pencahayaan, SNI pada selubung bangunan, dan SNI pada sistem pengkondisian udara,” ucap ucap Menteri ESDM, Arifin Tasrif dalam Seminar Nasional Dekarbonisasi di Sektor Bangunan Gedung (20/09/2023).
Sampai pada tahap ini, seperti apa yang dikatakan arsitektur Yu Sing, “kondisi bangunan di sini sudah harus ramah lingkungan, tanpa peralatan elektronik yang membantu sudah memiliki prinsip-prinsip hemat energi, dan penggunaan teknologi hanya pelengkap.”
Yang pada intinya menurut Eko Pratowo, bangunan tersebut merupakan hasil gambaran lingkungan sekitar atas proses pencarian potensi dan menggali kondisi tapak (lahan) –bukan memaksakannya.
Lalu setelahnya juga melihat ongkos bangunan tersebut terhadap aktivitas manusia. Misalnya, apakah bangunan tersebut ramah terhadap transportasi publik –yang artinya mengharuskan kita menggunakan kendaraan pribadi sehingga menggunakan energi lebih banyak.
Catatan terkait hal ini dari Yu Sing terkait hal ini, “agak lucu jika bilang perumahannya (bangunannya) ramah lingkungan, akan tetapi jaraknya pinggiran kota, dibangun dibekas lahan pertanian, dan jauh dari tempat kerjanya, itukan jadi percuma.”
Tambahnya, “mungkin bangunannya hemat energi, akan tetapi dampak dari bangunan tersebut (aktivitas manusia) menyebabkan tidak hemat energi.” Seharusnya, menurut Rifqi Ikhwanuddin, “jika bicara zonasi tempat tinggal, maka harus disekitari oleh pelayanan dan fasilitas publik yang memadai.”
Mengelola Energi
Pun, jika kondisi bangunan sudah kepalang tanggung untuk tidak mengkonversi energi, yang harus dilakukan ialah manajemen energi. Yaitu menghitung konsumsi energi dan mengelolanya dengan baik, baiknya dapat memangkas konsumsi energi yang tidak perlu.
“Sebagian besar keberhasilan efisiensi energi diperoleh dari perubahan cara mengelola energi dibandingkan instalasi teknologi baru,” tulis materi presentasi dari Kementerian ESDM di dalam Seminar Nasional Dekarbonisasi di Sektor Bangunan Gedung (20/09/2023).
Untuk mengetahui konsumsi energi tersebut diperlukan audit energi. Mengaudit seluruh konsumsi energi, mulai dari listrik, air, peralatan listrik, dan harganya.
Menurut Sentagi, dkk. dalam bukunya, audit energi dapat dilakukan secara terjadwal untuk menghitungnya secara periodik ¬–waktu yang ditentukan. Dimulai dari melakukan observasi seperti wawancara dengan pengguna di setiap peralatan elektronik dengan tujuan mencari potensi penghematan yang terlihat secara langsung.
Lalu mengumpulkan data energi yang tersedia di dalam suatu ruangan, mulai daftar ruangan, peralatan listrik yang ada, daftar waktu penggunaan. Dari hal tersebut lalu dihitung total penggunaan energi terhadap suatu ruangan tersebut.
Terlebih Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) 30 Tahun 2023 telah mengatur terkait konservasi energi meminta seluruh pihak untuk melalukan audit energi. Salah satunya ialah bangunan, yang wajibnya kepada gedung yang memiliki konsumsi energi lebih besar dari 500 ton per tahunnya
“Salah satu aspek yang diperluas dalam regulasi ini yaitu pelaksanaan manajemen energi,” ucap Menteri ESDM, Arifin Tasrif dalam Seminar Nasional Dekarbonisasi di Sektor Bangunan Gedung.
Dalam peraturan tersebut, diwajibkan setiap gedung yang mengkonsumsi 500 ton energi per tahunnya untuk, “menunjuk manajer energi, menyusun program konservasi energi, melakukan audit secara berkala, melaksanakan rekomendasi hasil audit energi, dan melaporkan manajemen energi,” tulis materi presentasi dari Kementerian ESDM di dalam Seminar Nasional Dekarbonisasi di Sektor Bangunan Gedung.
Selain itu Pemerintah juga telah membuat SNI berbentuk ISO 50001:2018 yang berkaitan dengan sistem manajemen energi. Ditambah Pemerintah menurut Anggraeni Ratri Nurwini, “memberikan standar materi sertifikasi profesi kepada auditor dan manajer energi bangunan,” ucap perempuan yang merupakan Sub Koordinator Penerapan Teknologi Efisiensi Energi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM dalam kegiatan pelatihan efisiensi energi di Bogor (11/6/2024).
Ke depan tambah Anggraeni Ratri Nurwini, akan ada peraturan menteri yang sedang dibahas terkait peraturan manajemen energi, “yang merupakan turunan dari PP No. 33 Tahun 2023, kita bikin untuk pemerintah daerah, pemerintah pusat yang mengatur terkait teknis bangunan.”
Target dari manajemen energi pada bangunan gedung ini, “diestimasikan dapat menghemat energi sebesar 111,6 ribu ton per tahun atau setara dengan 1,9 triliun rupiah per tahun,” ucap Sripeni Inten Cahyani, Tenaga Ahli Menteri ESDM dalam Seminar Nasional Dekarbonisasi di Sektor Bangunan Gedung.
Dalam hal ini Kementerian ESDM mengawasi melalui penerimaan laporan dari tim manajemen energi di gedung-gedung melalui POEM (Pelaporan Online Manajemen Energi), “apa saja upayanya, melakukan apa saja, penurunan energinya berapa, dia (tim manajemen energi) harus melaporkan setiap tahunnya,” ucap Anggraeni Ratri Nurwini.
Namun, aplikasi tersebut belum bisa diakses oleh masyarakat umum, “sepertinya lagi maintenance,” klarifikasi Anggraeni Ratri Nurwini.
Lebih dari itu, kepada tim manajemen gedung yang tidak melaporkan hasil audit energi, “biasanya kita tegur dulu, bertanya kenapa tidak melakukan audit energi, dan juga jika pelaporannya tidak rutin dalam tahun-tahun berikutnya,” ucap Anggraeni Ratri Nurwini.
Dan upaya untuk mendorongnya ialah dengan mengadakan penghargaan subroto di bidang efisiensi energi. “Penghargaan ini diberikan kepada para pemangku kepentingan yang telah berhasil menerapkan efisiensi energi, konservasi energi, dan penurunan emisi gas rumah kaca,” tulis materi presentasi Kementerian ESDM dalam Seminar Nasional Dekarbonisasi di Sektor Bangunan Gedung.
Dalam sektor bangunan, kategori di dalamnya terdapat 3 bagian besar, gedung hemat energi baik itu gedung baru, retroffited (penggunaan teknologi baru pada gedung lama), gedung tropis, bangunan hijau serta inovasi pada bangunan.
Selain itu terdapat manajemen energi pada bangunan gedung baik itu pada gedung kecil dan menengah dan juga gedung besar. Dan terakhir pada gedung instansi pemerintah, baik itu gedung pemerintah pusat dan juga gedung pemerintah daerah.
Partisipasi gedung yang memiliki manajemen energi yang baik ke dalam penghargaan tersebut, “Subroto Award berawal dari laporan POME itu, kita minta untuk menjadi peserta, lalu kita nilai dan ada jurinya juga,” ucap Anggraeni Ratri Nurwini.
“Selain itu terdapat penawaran kepada bangunan lainnya yang ikut serta dalam Penghargaan Subroto,” tambah Anggraeni Ratri Nurwini.
Penghargaan ini tentu memicu geliat bangunan konserver energi, “keberdampakan ini dirasakan dengan peserta tim manajemen bangunan yang bertambah setiap tahun dan setiap kategorinya, salah satu poinnya melalui Subroto Award dapat mengikuti penghargaan internasional lainnya, seperti ASEAN Energy Award,” ucap Anggraeni Ratri Nurwini.
Peranti Hemat Energi
Dari praktik mengkonservasi energi lalu kepada manajemen energi dengan melakukan audit, akan tetapi masih banyak yang belum mengetahui terkait penggunaan alat elektronik yang ramah akan lingkungan.
Hal tersebut senada dengan Peneliti IESR, Marlistya Citraningrum dalam pesan khusus (29/6/2024), “banyak yang sudah mempraktikkan perilaku konservasi energi, akan tetapi banyak yang belum paham tentang peralatan elektronik yg efisien atau desain bangunan yg menggunakan energi secara optimal.”
Penggunaan elektronik tersebut diketahui setelah hasil dari audit energi, perlu sekiranya penghematan atas energi yang tidak perlu, juga mengganti alat yang sekiranya mengkonsumsi energi terlalu boros.
Ada beberapa peralatan elektronik yang dapat digunakan untuk sektor bangunan –baik gedung ataupun non-gedung– yang sudah dipastikan hemat energi karena memiliki SKEM (Standar Kinerja Energi Minimun) atau baku mutu atau batas energi yang boleh dikeluarkan oleh suatu peralatan.
Apalagi jika ingin mengoptimalkan penghematan dengan memilih peralatan berlabel bintang yang tinggi atau LTHE (Label Tanda Hemat Energi), “Jadi semakin tinggi bintangnya, maka peralatan tersebut semakin hemat energi,” ucap Endra Dedy Tamtama, Koordinator Pengawasan Konservasi Energi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM dalam kegiatan pelatihan efisiensi energi di Bogor (10/6/2024).
Sampai di tahun 2024 terdapat beberapa alat yang sudah memiliki label tersebut, di antaranya pendingin udara (AC), penanak nasi (rice cooker), kipas angin, kulkas (lemari pendingin), lampu LED, kulkas warung (showcase), televisi.
Sisanya sampai dengan tahun 2030 terdapat 4 peralatan lagi, di antaranya pompa air, setrika, mesin cuci dan dispenser.
“Dalam pemberlakuan regulasi terkait SKEM ini, (kita) tidak bisa asal dalam memilih peralatan elektronik, maka dibuat pendataan prioritas apa yang harus diregulasi di masyarakat,” ucap Fadel Iqbal Muhammad.
Secara garis besar, maksud dari LTHE juga, menurut Endra Dedy Tamtama, “karena Pemerintah tidak bisa mengkontrol pengunaan energi di setiap lini masyarakat, tidak seperti manajemen energi di industri atau gedung, oleh karena itu membutuhkan adanya LTHE ini.”
Terlebih menurutnya, “Pemerintah tidak perlu mengintervensi pasar dengan pelarangan, akan tetapi mengubah pola pembelian di masyarakat untuk memilih peralatan yang ramah energi.”
Tambahan dari Rifqi Ikhwanuddin sebagai akademisi, “pertama-tama apakah masyarakat sudah sadar terkait mengapa harus membeli peralatan bintang lima? jangan sampai Pemerintah mendorong sesuatu yang tidak dianggap penting oleh masyarakat.”
Selain itu menurutnya juga perlu akan adanya transparansi proses dan data, “transparan bagaimana mendapatkan data terkait label itu juga penting,” bagi masyarakat maupun akademisi.
Tambahnya, “bagaimana kita bisa mengakses dan menguji cara mendapatkan data itu di kampus, apakah itu (label) hanya gimik?,” Menurutnya, “bisa saja (bintang lima) jika ditempatkan di kondisi sebenarnya jauh dari harapan (karena berkaitan dengan instalasinya).” Oleh karenanya proses uji tersebut harus transparan kepada publik.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM menyediakan laman untuk mengecek besaran energi yang dikeluarkan suatu peranti tersertifikasi yang terdapat dalam laman konsumen dalam web Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM dengan fitur tabel dinamisnya.
Refleksi Hijau
Pada prinsipnya penggunaan peralatan hemat energi yaitu untuk mendukung dari konservasi dan manajemen energi. Dalam arti lain tidak bisa menggunakan peralatan hemat energi akan tetapi mengabaikan kedua hal tersebut, yaitu konservasi dan manajemen energi.
Yang lebih penting, ialah mengutip perkataan dari Yu Sing terkait refleksi dari kata hijau itu sendiri, “kita tidak bisa menilai sesuatu itu hijau hanya dari bangunan mati atau alat itu hijau, percuma dia hijau, akan tetapi lingkungannya rusak dan masyarakatnya makin kesusahan, terus apanya yang hijau?”
“Liputan ini merupakan fellowship efisiensi energi oleh SIEJ (The Society of Indonesian Enviromental Journalist) dan CLASP yang bekerjasama dengan kementerian ESDM”
Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.
8 Comments
Spain Euro 2024
Great information shared.
roketbet
roketbet
Kina
Spot on with tthis write-up, I honestly thonk this website neers
far more attention. I’ll probably bee returning tto read more, thanks forr the info!
My wweb site … sitemap.xml
watch child porn
child porn
Escactaps
They ve been aggressively promoted for use in hyponatremia, but they really don t work well for that certainly not in the ICU cronadyn vs priligy
Telegram下载
有道词典是由网易有道出品的全球首款基于搜索引擎技术的全能免费语言翻译软件。简介. 支持中文、英语、日语、韩语、法语、德语、俄语、西班牙语、葡萄牙语、藏语、西语等109种语言翻译。拍照翻译、语音翻译、对话翻译、在线翻译、离线翻译更顺畅。更多的翻译 https://www.youdaoo.com
Telegram下载
WPS官网下载WPS Office: 一站式办公服务平台: 新升级,无广告,AI办公更高效. 立即下载. 登录使用. WPS 365: 面向组织和企业的WPS 365: 一站式AI办公,生产力即刻起飞. 了解更多. 咨询,记忆体占用低,体积轻运行快. 将文字、表格、演示、PDF等融合为一个组件。
Telegram下载
HelloWord翻译Hello World聊天翻译助手专注于为出海企业提供高质量的即时聊天翻译服务,专业聊天翻译技术,极速稳定收发,全球畅游,使用邮箱免费注册登录体验,专业翻译技术团队开发,超数百家企业信赖,支持whatsapp Line Tinder Twitter Instagram Telegram Zalo Facebook Badoo Bumble Quora Linkedin googleVoice Crisp Hangouts TextNow VK等软件的实时聊天翻译,无限网页多开。支持facebook群发,whastsapp群发,googleVoice群发