Garis Syukur dan Selimut Ketenangan

Intan Ghandini

Anggota Komunitas Kampus Literasi, Penggagas Komunitas Pelangi Aksara


PUCUKMERA.ID – Pagi yang cerah untuk memulai segala aktivitas seperti biasa. Tidak ada yang berbeda di pagi ini, kabut putih senantiasa menyelimuti pepohonan hijau, kutilang menari riang di atas dahan, dan sorot cahaya mentari seperti garis kebahagiaan yang terpancar dari ufuk timur. Semua tertata rapi, indah sekali.

Tidak terkecuali, saya, yang telah terbangun sejak mendengar sayup suara adzan mengalun. Di ujung rasa kantuk bahkan mata masih ingin terpejam. Saya teringat pada setumpuk baju yang minta disucikan, sekandang ayam yang minta makan, dan sejibun aktivitas lain yang harus segera saya kerjakan. Saya berusaha mengumpulkan nyali untuk segera mengakhiri kenyamanan di tempat tidur ini.

Sembari berjalan, mata saya melirik almamater kampus yang tergantung di almari kamar. Ia nampak tengah terlelap juga—dari segala kesibukan kampus yang sudah tidak lagi saya jalankan. Sontak saya teringat beberapa pertanyaan kakak tingkat,  “Sudah lulus ya? Kerja di mana? Sibuk apa sekarang? Wah kapan sebar undangan pernikahan?”, dan puluhan kalimat lain yang—dengan tanpa dosa—dilontarkan kepada saya.

Bukan sebuah masalah besar sebenarnya jika saya mendapati pertanyaan demikian. Namun saya yakin Anda dan semua yang sedang berada di titik ‘fresh graduate’ pasti juga menerima pertanyaan itu. Lalu karena saya berposisi sebagai seorang perempuan, maka bagi saya kalimat itu sedikit membuat saya harus berpikir kritis dan tajam untuk menganalisa.

Pendidikan di bangku perkuliahan sering diasumsikan oleh sebagian masyarakat sebagai sebuah sarana untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang mapan dan gaji serupa jutawan. Terlebih mereka juga beranggapan bahwa alumni dari sebuah kampus negeri haruslah bisa menjadi pegawai negeri—mungkin karena ada embel-embel ‘negeri’nya ya, hehe.

Semua anggapan itu tidak sejalan dengan apa yang saya pikirkan. Menjadi seorang perempuan yang saat ini telah merampungkan pendidikan di bangku kuliah membuat saya ingin terdiam sembari mengamati keadaan. Orang lain selalu memberikan batasan waktu yang sempit bagi kaum perempuan, sehingga di mata mereka seorang perempuan tidak bisa terlalu lama menikmati apa yang sudah mereka capai.

Baru lulus sudah ditanya “Kapan kerja?”, setelah kerja lalu ditanya “Kerja terus, gak pengin nikah apa?”, saat sudah menikah lagi-lagi ada pertanyaan “Hei, sudah hamil belum? Kapan punya anak?”, dan saat sudah punya anak masih saja ada kalimat yang menggelitik “Kok satu aja? Nambah atuh biar rame.” Sesempit itukah waktu perempuan sehingga semuanya harus terus menerus dipertanyakan?

Lalu kapan kami akan menikmati masa-masa tenang setelah lulus, tenang setelah melalui masa-masa genting yakni skripsi, tanpa harus diburu oleh kalimat-kalimat membingungkan seperti tadi.

Perempuan bisa loh mengambil peran di posisi yang lain—di luar semburan pertanyaan diatas. Misalkan setelah lulus dia ingin memperdalam pemahaman tentang al-Qur’an, dia ingin mengasah softskillnya di bidang public speaking, dia ingin mematangkan hobi di bidang menulis, atau bahkan dia ingin sepenuhnya belajar lagi untuk masuk tingkat strata dua.

Semua itu bisa saja dan bahkan sangat mungkin dilakukan oleh seorang perempuan tanpa harus tergesa-gesa dengan beberapa target yang dibangun oleh paradigma orang lain. Perempuan bisa hidup diatas pemikirannya dan menunjukkan perannya sendiri.

Saya pernah mendengar pembicaraan beberapa orang yang pada intinya membahas seputar pekerjaan. Ada yang sudah diterima sebagai guru sukuan di lembaga tempatnya magang, dan salah seorang lagi dengan enteng nya berkata “Aku ikut mengajar disana bisa gak?”.

Pernah juga saya mendengar bahwa seseorang telah bergabung dengan komunitas pengacara ternama, lalu seseorang lagi mengatakan “Enak ya kamu sudah bisa bergabung, aku juga ingin.” Saya terdiam ketika mendengar beberapa kalimat tersebut.

Tidak ada yang salah dari pernyataan yang saya dengar itu. Namun saya hanya ingin lebih menata diri saya, menguliti pribadi saya, apakah saya akan merasakan ingin seperti yang lain, ataukah saya berhasil mendukung segala pilihan mereka, atau bagaimana.

Kenyataan membawa saya pada satu keadaan di mana saya sama sekali tidak merasa iri atau ingin yang berlebihan untuk bisa menjadi seperti mereka yang notabene sudah mendapatkan pekerjaan, entah mengabdi sebagai guru atau memang ingin menjadi seorang praktisi. Karena saya percaya mereka telah mengerahkan usaha untuk bisa mencapainya.

Saya juga sama sekali tidak merasa tertinggal dari mereka yang sudah dahulu meniti sebuah karir. Justru yang saya rasakan adalah sebuah kebanggaan, karena orang lain telah menemukan kehidupannya. Itu berarti mereka akan merasakan sebuah ketenangan dalam jiwanya.

Sementara saya merasa bahwa saya telah menemukan hidup saya sejak saya kuliah semester 5. Di mana saya mulai meniti hobi menulis, saya mulai aktif menunjukkan kemampuan publicspeaking, dan bahkan sampai sekarang saya masih bisa menjalankan semua aktivitas itu dengan hati yang tenang.

Saya bahkan tidak merasa bahwa saya sedang menerima takdir paling buruk—meskipun sampai detik ini belum bekerja—daripada takdir yang diterima oleh orang lain. Saya hanya bersyukur sebab saya masih bisa terus aktif belajar dan mempelajari hakikat diri, seperti saya akan belajar tepat waktu, belajar menghargai, dan menjadi diri sendiri yang tidak mudah terobsesi dengan pencapaian orang lain.

Saya pun merasa tenang dengan kehidupan yang saya jalani hari ini. Sebab manusia tidak akan pernah bisa memprediksi apa yang akan membesarkannya di suatu hari nanti. Dan perihal pencapaian diri, saya yakin Anda semua bisa menemukan apa hal terbaik versi diri Anda. Teruslah melangkah dan jadilah pengembara yang tidak akan pernah berhenti melakukan hal baik.

What's your reaction?
7Suka1Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment