Greta Thunberg mengagetkan dunia, bukan saja karena keputusannya untuk cuti sekolah, tetapi juga sebab kelugasannya menyampaikan pidato ‘kritis’ di depan para pemimpin Eropa. Sebuah aksi yang menyita perhatian dunia. Thunberg, dengan gagah berani, mengkritik Eropa yang gagal menyelesaikan masalah lingkungan.
Tak urung, aksi Thunberg menyadarkan kita, bahwa bertindak konkreat atas masalah lingkungan sangatlah penting. Gadis Swedia yang baru berusia 16 tahun itu, menunjukkan argumentasinya dengan sangat komplet. Bahkan, 2 bulan lalu, dengan berani, Thunberg mengkritik Theresa May, Perdana Menteri Inggris, soal aksi jalanan yang dilakukannya bersama teman-temannya: “British PM says that the children on school strike are “wasting lesson time”. That may well be the case. But then again, political leaders have wasted 30 years of inaction. And that is slightly worse.” (10:17 pm – Feb, 5th 2019).
Barangkali kita berfikir, tindakan yang dilakukan Thunberg sebatas obsesi permainan, sebab usianya yang baru 16 tahun, ternyata tidak. Thunberg melakukannya dengan serius dan sungguh-sungguh. Ia ingin membangunkan kita dari lamunan panjang tentang lingkungan. Meski banyak yang mengkritik, namun tidak sedikit yang membelanya.
Setelah mendengarkan beberapa pidato Thunberg, setidaknya kita dapat mengambil inferensi bersama, bahwa Thunberg sangat jenius untuk anak usia 16 tahun. Media barat menjulukinya ‘a Swedish climate activist’.
Thunberg membacakan semua fakta permasalahan lingkungan dengan sangat jelas. Misalnya, ketika Ia berpidato di Strasbourg, Prancis, “If our house was falling apart our leaders wouldn’t go on like we do today … if our house was falling apart you wouldn’t hold three emergency Brexit summits and no emergency summit regarding the breakdown of the climate and the environment.”
Lanjut lagi, saat pidato di Stockholm, Swedia, ia menyebut, “…the climate has already been solved, we have already have the solves and solutions. All we have to do is wake up and change.”
Semua isi pidatonya itu, Ia ucapkan dengan penuh keresahan, yang karena itulah Ia memutuskan untuk menggelar ‘school strike for climate’.
Memang, sampai saat ini, terdapat berjibun bukti kerusakan lingkungan yang merugikan ekosistem kehidupan—bukan hanya manusia, melainkan seluruh rantai kehidupan makhluk hidup. Kasus hewan-hewan yang turun gunung dan masuk ke perkampungan warga adalah buktinya. yakni, bagaimana manusia mengganggu habibat alami para hewan tersebut, menunjukkan tangan ‘jahil’ manusia.
Lebih-lebih, isu lingkungan yang begitu kompleks itu, belum jadi fokus para politisi. Yang ada, para politisi kita sekarang lebih menaruh perhatian pada agenda politik pembangunan tanpa memperhatikan keselamatan ekosistem kehidupan. Hal ini menunjukkan, seolah, entitas lingkungan adalah secondary issues yang tak layak diperhatikan.
Di Indonesia, beberapa kali depat capres tidak menunjukkan program pembangunan lingkungan yang lebih serius. Justru, agenda itu banyak mengulas program populis yang merugikan lingkungan. Ini tentu jadi catatan serius bagi kita semua.
Sungguhpun begitu, polemik lingkungan yang semakin hari semakin mengerikan, patut kita selesaikan dari hal sederhana hasil refleksi diri. Kita, sebagai individu, yang berpotensi besar menyumbang kerusakan lingkungan, harus ambil bagian untuk bertindak preventif (pencegahan). Apapun itu, misalnya mengurangi penggunaan kendaraan bermotor—selagi tujuan urusan kita masih bisa terjangkau, mengurangi penggunaan tas plastik yang hanya sekali pakai, termasuk, mengurangi kebiasaan buruk pencampuran sampah plastik dan sampah organik.
Jika ini bisa kita lakukan dengan baik, disiplin , dan rutin, niscaya akan ada dampak yang baik untuk hari depan bagi anak cucu kita nanti. Makanya, yang perlu diperbuat sekarang adalah ‘berfleksi dan beraksi’. Apakah kegiatan harian kita sudah mendukung pelestarian lingkungan? Apakah rutinitas kita sudah ramah lingkungan? Bila belum, apa yang berlu diperbuat? Tidak perlu kita tunggu hari esok, melainkan sekarang juga, kawan. []
1 Comment
Azhar
Isu lingkungan memang penting