Azhar Syahida
Penulis lepas
Beberapa hari lalu, Forbes merilis deretan nama orang-orang terkaya dunia. Dari nama-nama yang tersusun, teranglah tokoh-tokoh lama masih menghuni deretan teratas. Urutan sepuluh besar nama-nama itu boleh jadi sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Berikut saya kutipkan mulai dari yang terkaya: Jeff Bezos, Bill Gates, Bernard Arnault, Warren Buffet, Larry Ellison, Mark Zuckerberg, Amacio Ortega, Steve Ballmer, Michael Bloomberg, dan Larry Page. Kekayaan Jeff Bezos bahkan menyentuh US$ 124,7 miliar. Kalau kita rupiah-kan dengan asumsi kurs Rp 15 ribu, kekayaan bos Amazon itu menyentuh Rp 1870 triliun, lebih dari setengah pengeluaran APBN negeri ini.
Namun sejenak setelah rilis Forbes itu turun, muncul pertanyaan di kepala saya: kenapa kita tidak pernah merilis daftar nama orang-orang termiskin di bumi ini? Saya diam sejenak, berfikir ulang, ingin menarik lagi pertanyaan itu, tapi justru meluncur pertanyaan turunan: Apakah karena kemiskinan itu sebuah aib sedang kekayaan tidak? Ataukah memang kekayaan itu sangat menyenangkan untuk dipuja dan dipunya, sedang kemiskinan tidak? Dugaan saya begitu. Bila dibenarkan, barangkali hal ini juga yang melekatkan pilihan asosiasi kata miskin dengan diksi yang berkonotasi negatif: kumuh, bau, compang-camping, jahat, kasar, dan busuk. Sedang kata kaya berasosiasi dengan lema yang lebih elegan: bersih, wangi, rapi, baik, dan sopan. Ya, walau belakangan hari, yang ‘kaya’ juga punya konotasi jahat dan bengis: korupsi.
Dalam sejarah kita, orang-orang rudin atau orang-orang miskin selalu tersingkirkan. Seorang yang dianggap miskin, sering kali tidak punya kesempatan untuk mengikuti kompetisi kesuksesan dan kemajuan. Jangankan berkompetisi dan bermimpi tentang sukses, akses untuk sekadar hidup layak saja tidak mudah didapat. Inilah bentukan kemiskinan karena sistem yang mengistimewakan kelompok masyarakat tertentu supaya memperoleh akses yang lebih luas, sementara yang lain tidak sama sekali.
Maka, kiranya tidak mengherankan bila orang-orang rudin acap dianggap tidak ada. Dan, hanya dianggap ada yang benar-benar ada, bila ada kesempatan mengeksploitasi mereka. Eksploitasi dalam bentuk apa pun: pemerasan tenaga dalam dunia kerja yang berlebihan tanpa imbalan hak yang setimpal, misalnya.
Benar, begitulah faktanya. Orang-orang miskin ‘terpaksa’ atau ‘dipaksa’ bekerja di sektor-sektor informal yang murni mengandalkan kekuatan raga. Barangkali mereka memang terpaksa memilih pekerjaan itu. Sekali lagi, jangankan berkompetisi dan bermimpi tentang kesuksesan, mencari kelayakan hidup saja demikian sukar. Sehingga, untuk berbicara bahwa orang miskin bisa lebih menonjol daripada orang kaya, agaknya perlu kita urungkan niat itu.
Dalam posisi bahwa orang miskin jugalah manusia yang sama persis dengan orang kaya, maka kemiskinan harusnya kita letakkan sebagai keprihatinan bersama. Lagi pula agama apa pun, saya pikir, memerintahkan umatnya untuk menumpas kemiskinan; mengubur kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Posisi empati, dalam hal ini, kita dudukkan di muka, di depan semua kepentingan pribadi yang merugikan kebersamaan. Fungsinya tentu memberi etos, bahwa kita mesti merawat saudara dan tali kasih (cinta) pada sesama yang tiada daya apa pun di depan sang mahacipta.
Dus, jika kita sepakat berfikir dalam kerangka empati di muka kepentingan pribadi, penyusunan daftar orang terkaya seyogianya kita sandingkan dengan semangat menyokong orang miskin menjadi kaya. []