Irsyad Madjid
Redaktur Pucukmera.id
PUCUKMERA.ID – The Sons of Liberty, adalah julukan yang diberikan kepada 13 koloni pemberontak kerajaan Inggris di Amerika Serikat. The Sons of Liberty (secara harfiah diartikan sebagai anak dari kebebasan), adalah pesan tersirat yang diberikan kepada pemerintahan Inggris. Kemerdekaan Amerika Serikat dari “penjajah” pada saat itu hanya tinggal menunggu waktu.
Awalnya, eksistensi kelompok “pemberontak” ini ditengarai oleh rasa jengah terkait peraturan pajak yang dianggap terlalu memberatkan para koloni. Mereka merasa bahwa kerajaan Inggris terlalu mengambil untung, dan secara ekonomi merugikan para koloni. Sedangkan, Inggris melihat bahwa berada di bawah kekuasaan Raja Inggris adalah sebuah privilese, sehingga harus dikenakan “biaya keamanan”.
Namun keberatan ini bukan hanya disebabkan oleh motif ekonomi semata, tapi lebih dari itu. Ada rasa keterasingan serta ketidakadilan yang menghinggapi pikiran para koloni di Amerika. Sebab utamanya, dalam struktur parlemen Inggris, wakil-wakil dari koloni Amerika tidak mendapat tempat. Padahal, segala peraturan terkait wilayah Amerika, diputuskan oleh parlemen Inggris yang notabene tempat tinggalnya terpisah ratusan ribu kilometer.
Keputusan ini dianggap tidak “membumi” dan diklaim sebagai puncak dari kegeraman kelompok The Sons of Liberty.
Maka, sejak saat itu, mimpi-mimpi akan sebuah pemerintahan sendiri yang mengutamakan “kebebasan, keterwakilan dan eksplorasi ekonomi yang adil”, muncul menggebu-gebu. Pada “Declaration of Independence” yang menjadi dasar konstitusi Amerika—ibarat pembukaan UUD 1945 bagi bangsa Indonesia—dituliskan sebuah kalimat indah tentang tujuan mengapa negara bernama Amerika harus berdiri:
“Kami memegang kebenaran ini untuk menjadi nyata, bahwa semua manusia diciptakan setara, bahwa mereka diberkahi oleh Sang Pencipta dengan hak-hak yang tidak dapat dicabut, di antaranya kehidupan, kebebasan, dan pencarian kebahagiaan.”
Kalimat ini menjadi sangat masyhur: diklaim sebagai filosofi dasar terbentuknya model peradaban modern. Di saat mayoritas bangsa meletakkan kata-kata luhur seperti keadilan, kesejahteraan sebagai dasar filosofi, tapi kebebasan—utamanya dalam mengejar versi kebahagiaan masing-masing individu—adalah hal prioritas bagi orang Amerika.
Cara pandang seperti ini rupanya juga hinggap di benak salah satu tokoh utama dalam film Ali & Ratu Queens, Mia—yang berperan sebagai ibu dari Ali. Dalam film ini, Mia awalnya adalah wanita yang sudah punya kehidupan yang sempurna, paling tidak dari sudut pandang ayah Ali. Namun bagi Mia, mimpi terbesarnya adalah berkarir sebagai penyanyi di kota New York, Amerika.
Sebuah mimpi yang membuat pencapaiannya selama ini, memiliki kehidupan berkeluarga yang begitu menyenangkan, terasa belum sempurna. Bagi Mia, masih ada impian yang harus dia raih, meski itu artinya mempertaruhkan hidup yang telah ia punya. Sayangnya, ketika menceritakan keresahan batinnya yang merasa belum menjadi “apa-apa”, hanya dibalas dengan sikap denial “Kamu sudah jadi semuanya di sini. Sudah jadi istri yang baik. Ibu yang baik,” oleh sang suami.
Mendengar hal itu, Mia merasa kecewa dan menganggap mimpinya tidak mendapat dukungan yang diharapkan. Menurutnya, sukses tidak sekadar “itu”. Berkarir hingga akhirnya punya kesempatan untuk menetap di Amerika adalah versi kesuksesan yang ia yakini. Obsesi ini pun sebenarnya digambarkan sejak bagian awal di film ini.
“Mama terbang dulu ke New York ya, nak.” kata Mia pada Ali. “Nanti kalau mama sukses, kamu tinggal sama mama di New York.”
Dialog di atas adalah penjelasan yang diberikan Mia ketika sedang memperkenalkan gambar patung Liberty—patung berukuran raksasa sebagai hadiah dari Prancis pada akhir abad ke-19, simbol selamat datang untuk pengunjung, imigran dan orang Amerika yang kembali—kepada Ali yang masih kecil.
Tampaknya, semangat filosofis dari patung Liberty punya koneksi erat dengan kehidupan Ali selama di New York. Ketika memutuskan untuk menyusul ibunya ke New York, Ali malah mendapatkan “keluarga baru”; empat tante-tante cantik imigran dari Indonesia yang sedang mengejar American Dreams-nya. Keempat perempuan itu ditemuinya di sebuah daerah bernama Queens, tempat domisili awal ibu Ali ketika bermukim di New York.
Uniknya, keempat perempuan ini hidup mandiri tanpa bantuan pasangan laki-laki. Meskipun, kehidupan mandiri yang ditempuh harus dibayar dengan pengorbanan yang luar biasa. Mereka semua bekerja keras. Beberapa di antara mereka kerja serabutan—dari tukang bersih-bersih hingga tukang pijat, demi bertahan hidup di New York yang serba mahal.
Pada bagian ini, diperlihatkan sisi kehidupan New York yang “keras”. Tapi, keyakinan tentang American Dreams tampaknya membuat keempat perempuan itu tabah. Ketika Ali harus tinggal lebih lama demi meyakinkan kembali Ibunya—yang telah punya kehidupan dan keluarga baru— keempat tante itu juga menularkan virus American Dreams kepada Ali. Ali, yang perlu waktu lebih lama di New York tentu juga butuh uang yang lebih banyak.
“Ini New York, Man. Gampang cari duit!”
“Iya, kita bisa kerja apa aja di sini”
Namun, meskipun begitu, American Dreams punya sisi yang lain. Dalam keadaan tertentu, ia bisa menjelma menjadi sebuah mitos belaka. Di balik segala kemudahan yang Ali dapatkan, tetap saja ada mimpi-mimpi tentang American Dreams yang juga kandas di New York. Ibu Ali adalah salah satunya. Meski tidak dijelaskan secara detail terkait penyebabnya, pada akhirnya kita tahu bahwa Mia gagal meraih mimpinya meski sudah berusaha keras. Alih-alih menjadi penyanyi, karir Mia hanya berakhir sebagai pelayan di sebuah kafe sebelum menikah dengan seorang pengusaha.
Apa yang dialami oleh Mia sebenarnya tidak mengherankan. Meski menjunjung tinggi kebebasan dan kesetaraan bagi mereka yang bekerja keras, namun di saat yang sama, diskriminasi barangkali adalah wajah lain dari bangsa Amerika. Contohnya saja, dilansir dari situs BBC, suatu kelompok advokasi di Amerika tercatat menerima lebih dari 2.800 laporan insiden kebencian lewat sebuah riset di tahun 2020. Mayoritas dari perlakuan intoleran ini ditujukan kepada orang Asia-Amerika.
Secara rinci, riset itu menjabarkan beberapa tindakan diskriminatif yang diterima oleh orang Asia-Amerika, seperti kekerasan verbal, ancaman pembunuhan, terhindar dari interaksi sosial ataupun diskriminasi di tempat kerja bahkan tidak mendapatkan layanan secara normal. Diskriminasi yang kerap terjadi ini akhirnya memunculkan efek domino pada sektor yang lain, misalnya adalah tingkat kesenjangan sosial yang semakin tinggi.
Oleh karena itu, film ini mungkin memberikan gambaran indah dan menarik soal mimpi-mimpi besar yang dapat terwujud di Amerika. Apalagi, bagian akhir film ini menceritakan bagaimana “kenekatan” Ali berpindah ke New York diganjar dengan kesuksesan yang begitu instan: menemukan keluarga, beasiswa, dan cinta. Namun perlu kembali diingat, di balik semua glorifikasi tentang kebebasan dan kesetaraan, American Dreams juga bisa sekadar berakhir menjadi bayang-bayang.
Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.