Ramadhani Gafar Utama.
Alumni Perbankan Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak bisa dipungkiri, bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar, bahkan masuk 5 negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia. Jumlah muslim yang besar, tidak lantas menjadikan Indonesia sebagai negara yang berkecamuk, sebagaimana dunia muslim lainnya. Indonesia, bahkan, menjadi negara yang paling stabil, baik segi ekonomi, sosial, budaya dan politik yang menandakan Indonesia menarik untuk dikaji.

Persebaran Muslim di Indonesia rerata terpusat di pulau Jawa dan Sumatera. Jika dilihat lebih spesifik, Jawa Timur dan Sumatera Utara adalah provinsi dengan persebaran muslim terbanyak. Islam sendiri, secara historis, salah satu jalur masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan di selat Malaka, yang dilanjutkan oleh Wali Songo di pulau Jawa. Maka sangat logis jika persebaran mayoritas Muslim di Indonesia terpusat di dua pulau tersebut.

Membahas tentang muslim kelas menengah, maka kita perlu memahami tentang dua entitas, yakni masyarakat kelas menengah dan masyarakat muslim. Masyarakat kelas menengah adalah masyarakat yang memiliki peran untuk mendorong perekonomian dengan kekuatan daya beli. Menurut Asian Development Bank, kelas menengah adalah masyarakat yang memiliki pengeluaran $2 hingga $20 atau sekitar Rp 30 ribu hingga Rp 300 ribu per hari. Kelas menengah didefinisikan secara ekonomi dengan pengeluaran yang dikeluarkan setiap hari.

Mayoritas tempat tinggal atau domisili masyarakat kelas menengah terdapat di kota, karena kota merupakan pusat dari perputaran ekonomi dan bisnis. Selain itu kemudahan-kemudahan yang didapat untuk menjadi masyarakat kelas menengah, mulai dari akses lapangan kerja, akses pendidikan, akses sumber daya dan sebagainya ada di kota. Masyarakat kelas menengah tidak bisa lepas dari karakter dan budaya hidup di kota yang cenderung individualis, matrerialistis, dan konsumtif karena kesuksesan yang dicapai, diukur melalui materi yang didapat.

Masyarakat Muslim adalah masyarakat yang beragama Islam dan bertumpu pada ajaran agama untuk menopang nilai-nilai sosial. Masyarakat Muslim lekat kaitannya dengan aspek religiusitas, di mana agama merupakan keyakinan hidup tentang hubungan manusia dengan Sang pencipta. Lebih jauh dari itu, menjadi panduan hidup tentang hubungan antarmanusia. Di Indonesia sendiri, aliran yang dimiliki agama Islam cukup beragam mulai dari puritan, moderat, liberal, hingga radikal.

Dari pemahaman entitas-entitas yang berkaitan di atas, muslim kelas menengah adalah masyarakat yang memiliki daya beli dan juga religiusitas yang kuat. Ajaran agamanya sangat menentukan pola pikir dari masyarakat muslim untuk menentukan jalan hidupnya, selain itu ajaran agama juga telah menuntun hidup mereka dengan cara yang religius. Ajaran agama juga mempengaruhi daya beli masyarakat Muslim kelas menengah.

Islam menjunjung tinggi ajaran untuk berbagi kepada sesama baik aktualisasinya melalui zakat, maupun infak dan sedekah kepada orang yang membutuhkan. Berbagi kepada sesama ini menunjukkan ciri sikap kedermawanan seorang muslim—kita mungkin mengenal istilah lain: filantropi. Potensi filantropi umat Islam juga tertuang dalam ajaran-ajarannya melalui beberapa nash dalam Alquran: Surat At-Taubah, Al-Baqarah, Ali Imran, Faathir, dan beberapa ayat dalam surat lainya.

Kedudukan filantropi dalam Islam adalah sebagai bukti wujud keimanan dan kecintaan seorang muslim terhadap perbuatan baik yang membawa mereka kepada keberuntungan dunia dan akhirat. Seharusnya filantropi dalam Islam dijadikan lifestyle bagi setiap muslim. Kekuatan dan keimanan seorang muslim ditentukan dengan seberapa dermawan dia.

Memang, jika menyandingkan muslim kelas menengah dan filantropi, keduanya sedikit berseberangan secara konsep. Masyarakat kelas menengah diidentifikasikan dengan berapa besar materi yang dia keluarkan untuk kebutuhan konsumsi setiap harinya. Sedangkan masyarakat filantropis terindikasi dengan seberapa dermawan dia terhadap sesama manusia sebagai bukti kecintaannya terhadap manusia yang lain.

Lalu bagaimana cara menyandingkan dua kutub yang berseberangan secara konsep ini? Masyarakat muslim kelas menengah perlu menjadikan budaya filantropi sebagai salah satu kebutuhan konsumsi mereka, sehingga idle fund (dana berlebih) sisa belanja kebutuhan utama, tidak hanya mampu memenuhi keinginan kita namun juga mampu membawa pada kebaikan dunia dan akhirat pula.

Selain itu awareness masyarakat muslim kelas menengah tentang lembaga zakat juga masih rendah. Coba sebutkan, apa saja lembaga zakat bonafide yang kawan-kawan ketahui? Pasti sedikit dari kita yang bisa menyebutkan lebih dari 10 lembaga zakat. Mayoritas masyarakat muslim kelas menengah menyalurkan zakat, infak, sedekahnya melalui masjid di sekitarnya.

Lalu, apakah salah jika kita lebih banyak menyalurkan zakat lewat masjid di sekitar kita ketimbang lembaga zakat? Tentu tidak, namun alangkah baik jika kita menyalurkan zakat pada lembaga yang lebih baik, sehingga dana yang kita salurkan aman dan sampai pada orang yang pas, selain itu juga lebih luas jangkauan penyalurannya, termasuk manfaat yang kita beri bisa semakin luas.

Meskipun kesadaran kita sebagai masyarakat muslim kelas menengah untuk menerapkan budaya filantropi sudah baik, tetap saja kita perlu menjadikan budaya filantropi sebagai bagian dari gaya hidup, lebih dari itu kita juga perlu menempatkannya pada pos dana sendiri yang kita siapkan sedari awal di perencanaan keuangan kita. Kemudian, agar kemaslahatan yang dirasakan semakin luas jangkauannya, kita perlu menyalurkannya pada lembaga yang bonafide dan terpercaya serta memiliki jaringan yang luas.