Rahardika Putra Triawan
Mahasiswa Fakultas Hukum UB
Covid-19 membawa dampak yang sangat besar bagi tatanan masyarakat di Indonesia, bahkan dunia. Dampak yang ditimbulkan pun beragam, mulai dari dampak sosial-masyarakat, dampak politik, dampak keamanan rakyat, hingga yang paling banyak menuai pro-kontra; dampak ekonomi. Tidak sedikit orang yang kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan akibat pandemi ini.
Di tengah pandemi yang tak kunjung mereda. Masyarakat Indonesia dari berbagai golongan, baik tua maupun muda, tergerak memberikan bantuan kepada orang-orang yang kurang beruntung. Tentunya ini merupakan hal positif, seperti halnya oase di tengah tandusnya gurun.
Namun, akhir-akhir ini, terdapat sebuah fenomena yang bisa dibilang cukup menggemparkan masyarakat Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Ferdian Paleka namanya, seorang Youtuber asal Bandung dengan 135 ribu subscriber. Alih-alih memberikan bantuan kepada mereka yang kurang beruntung, ia justru mengunggah video dirinya dan rekannya memberikan bantuan sembako yang berisi sampah kepada sejumlah transpuan di Bandung.
Hal ini menyebabkan masyarakat resah dan geram akan tingkah lakunya yang dinilai tidak pantas. Tak lama kemudian, Kepolisian Negara Republik Indonesia menangkap Ferdian. Dilansir dari CNNIndonesia.com, Ferdian dijerat Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Selain itu, Ferdian juga dijerat dengan Pasal 51 ayat (2) jo. Pasal 36 UU ITE.
Menyikapi hal ini, netizen Indonesia menyampaikan berbagai macam pendapat melalui beragam platform media sosial. Beberapa menyampaikan dukungannya kepada penegak hukum, mereka merasa bahwa Ferdian harus diberikan sebuah hukuman yang menyebabkan efek jera, sehingga keadilan sosial dapat ditegakkan dalam kasus ini.
Salah satu yang mendukung bahwa Ferdian harus dihukum adalah pengguna Twitter @negativisme, ia membuat cuitan yang mengatakan “Youtuber Ferdian Paleka ini harus dijerat hukum, jangan sampe beres pake materai dan kata khilaf. Harus ada efek jera, biar tak terulang kejadian serupa.” Cuitan ini kemudian mendapatkan retweet dari 120 pengguna Twitter lainnya, dan disukai sebanyak 119 kali.
Namun ada pula yang beranggapan bahwa ketentuan tersebut tidak tepat untuk kasus ini. Bahkan, ada yang mengatakan, tidak ada dasar hukum untuk menjerat Ferdian. Penegak hukum terkesan melakukan pemaksaan kasus (kriminalisasi).
Salah satu yang paling gencar menyuarakan kasus Ferdian adalah pengguna Twitter @umaleao. Ia membuat sebuah utas yang berisi, jika Ferdian Paleka sampai dipidana, ini merupakan pemaksaan kasus. Utas ini mendapatkan retweet sebanyak lebih dari 2 ribu kali oleh pengguna Twitter, dan disukai oleh lebih dari 4 ribu kali.
Lanjut, kata dia, para korban merupakan transpuan, sedangkan di Indonesia belum ada pengaturan yang mengakui eksistensi kelompok traspuan. Menurutnya, Ferdian Paleka tidak dapat dipidana.
Kemudian, muncullah anggapan, kriminalisasi kasus Ferdian ini merupakan ajang “aji mumpung” bagi penegak hukum. Untuk menunjukkan eksistensinya yang kini sedang turun, karena banyaknya tingkat kejahatan pada masa pandemi Covid-19 ini pasca dibebaskannya 38.822 narapidana.
Namun agaknya saya tidak setuju dengan anggapan-anggapan kriminalisasi dan ajang “aji mumpung” tersebut. Ketidaksetujuan ini akhirnya menarik saya untuk mengupas dan menelusuri lebih jauh mengenai unsur-unsur dari pasal-pasal yang menjerat Ferdian.
Apakah pasal-pasal tersebut sudah tepat untuk didakwakan pada Ferdian? Apakah ini hanya merupakan kriminalisasi atau ajang “aji mumpung” bagi penegak hukum?
Sudah menjadi rahasia umum, dalam rangka menegakkan keadilan, penegak hukum selalu membuat dakwaan atau pasal yang disangkakan secara berlapis. Dalam kasus ini, pasal yang dijadikan dasar hukum adalah Pasal 45 ayat (3) jo. Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 51 ayat (2) jo. Pasal 36 UU ITE.
Ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE berbunyi, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Selanjutnya Pasal 45 ayat (3) UU ITE, dijelaskan, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
Pasal 36 UU ITE berbunyi, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi o rang lain.
Sedangkan Pasal 51 ayat (2) UU ITE menyelaskan, setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
Dari pasal-pasal yang dijadikan dasar hukuman, apabila dicermati, ternyata semua pasal yang didakwakan mengacu pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Lalu, perbuatan apakah yang dilarang berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE?
Berdasarkan penjelasan Pasal 27 ayat (3), ketentuan ini mengacu pada pencemaran nama baik dan/atau fitnah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam KUHP, ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah diatur pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Pasal 310 mengatur tentang pencemaran nama baik dan Pasal 311 mengatue tentang fitnah.
Menurut pendapat saya, Pasal 311 KUHP tidak relevan, karena Ferdian tidak melakukan fitnah terhadap para transpuan yang menjadi korbannya tersebut. Pasal 310 ayat (3) KUHP pun tidak relevan, karena Ferdian tidak melakukan tindakannya demi kepentingan umum, dan Ferdian juga tidak sedang berada dalam situasi overmacht (keadaan memaksa) untuk membela diri.
Lalu bagaimana dengan Pasal 310 ayat (1) dan Pasal 310 ayat (2) KUHP?
Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” penjelasan Pasal 310 KUHP dijelaskan, yang dimaksud dengan menghina adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, dan seseorang yang diserang ini biasanya merasa malu.
Esensi penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merupakan perbuatan menyerang kehormatan dan/atau nama baik seseorang. Perbuatannya membuat nama baik orang tersebut menjadi tercemar atau rusak.
Oleh karena itu, ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE sudah mengacu pada ketentuan KUHP, yaitu Pasal 310 KUHP. Lalu berdasarkan Pasal 45 ayat (5) UU ITE, tindak pidana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan.
Berdasarkan Pasal 45 ayat (5) UU ITE, tercemar atau rusaknya nama baik seseorang tersebut hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan. Atau dengan kata lain, korban dari penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tersebut yang dapat menilai secara subjektif tentang bagian mana dari tindakan tersebut yang menurut dia telah menyerang kehormatan atau nama baiknya.
Memang benar bahwa belum ada pengaturan yang mengakui eksistensi kaum transpuan di Indonesia. Namun dalam kasus ini, para transpuan harus dipandang sebagai individu/perorangan yang merupakan warga negara. Senada dengan Pasal 28 UUD NRI 1945, setiap orang memiliki hak-haknya yang dilindungi oleh konstitusi. Sebagai individu, mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum (equality before the law).
Sebagaimana orang yang mengalami penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang kemudian menuntut keadilan. Transpuan tersebut juga harus mendapatkan keadilan serupa, karena kehormatan dan nama baiknya telah diserang.
Saya rasa akan salah jika masih ada pendapat yang mengatakan, kasus ini hanya kriminalisasi semata. Tidak ada pemaksaan kasus dalam hal ini. Tindakan Ferdian Paleka dan rekannya tersebut memenuhi unsur-unsur yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Dakwaan yang didasarkan pada Pasal 45 ayat (3) jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut sudah benar, karena mereka telah melakukan penghinaan terhadap sejumlah transpuan.
Juga, menurut saya, kasus ini bukan ajang “aji mumpung” bagi pihak polisi. Polisi mengincar Ferdian dan rekan karena tindakan yang mereka lakukan. Dan, Ferdian pantas disalahkan karena itu.
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id