Penghuni kami ramah dan sopan santun, tak peduli tua atau muda ia akan menunduk dihadapanmu. Kami tak banyak bicara, kami takut suara kami terlalu bising sehingga mengganggu tetangga. Tiada waktu yang kami habiskan hanya untuk bengong atau ngupil di pinggir jendela, kami sangat produktif di dunia maya. Kebanyakan dari kami adalah penduduk yang sangat kompetitif, segala cara akan kami lakukan demi tanda hati di sosial media. Tak heran bila kian kemari kami kian aktif dan sibuk sekali dengan smartphone di genggaman. Tapi tenang, ada sebagian dari kami yang pekerjaannya sungguh mudah. Dia tak banyak berkarya, hanya bermodal ‘pura pura jelek dan bodoh’ merekapun berhasil menduduki trending topic untuk beberapa pekan. Sungguh hal yang luar biasa, bukan?.
Akhir- akhir ini saya dibuat resah dengan kehadiran Nurrani atau kamu bisa menemukannya melalui akun instagramnya di @nurrani_r, makhluk Tuhan yang mengaku sebagai istri sah Iqbaal (Dilan/ex CJR). Perempuan asli Palu Sulawesi Tengah ini menjadi sangat viral lantaran ia selalu mengunggah video atau foto editannya agar mereka (Nurrani dan Iqbal) terlihat bak sepasang suami istri. Hanya bermodal wajah yang ‘dijelek-jelekkan’ dan mengurangi rasa malunya hingga banyak persen, gadis ini sukses mendapatkan followers sebanyak hammpir 800K. Wow!! Seorang selebritis kelas ataspun harus berkarya selama bertahun-tahun untuk mendapatkan followers sebanyak itu. Dengan modal yang pas pasan tersebut, Nurrani kini tidak hanya mampang di instagram saja, beberapa saluran televisi nasional juga berebut mengundangnya ke acaranya agar ratingnya naik. Entah apa yang dimiliki oleh gadis ini. Dewi fortuna seakan mengikutinya kemanapun ia pergi.
Instagram sebagai salah satu media sosial yang paling diminati saat ini merupakan suatu lahan yang memang cukup menggiurkan untuk siapapun yang ingin mempertahankan eksistensinya. Konon instagram di ciptakan sebagai media mengunggah foto bagi para pegiat fotografi dan seni untuk memajang hasil karyanya. Ukuran perseginya membuat feed instagram akan lebih menarik dan enak dipandang. Namun, kini instagram layaknya lahan untuk berebut ketenaran dan pengakuan oleh khalayak. Banyak banyakan followers untuk mendapat gelar ‘selebgram’. Sehingga kalau kita eksplor, maka akan muncul postingan postingan yang jauh dari kata estetika dan lebih mengarah kepada ‘hiburan’ yang saya rasa kurang pantas untuk disebut hiburan. Naasnya, makhluk Bumi yang kita sayangi ini memang memiliki selera yang cukup aneh. Selera yang membuat para ‘selebgram’ ini menjadi ketagihan untuk selalu mengunggah hasil karyanya terus menerus. Tak jarang mereka membumbuhi postingannya dengan hal-hal yang tidak masuk akal sehingga beribu ribu notifikasi akan memenuhi ponselnya. Mereka akan lebih bangga pula apabila followers sudah berates-ratus ribu, maka besar kesempatan mereka untuk menjadi endorse berbagai macam prodak mulai dari peninggi badan hingga pelancar buang air besar.
Lantas bagaimanakah nasib para fotografer dan illustrator yang dulunya berbahagia sebab kini ada platform yang akan memfasilitasi karyanya agar di kenal dunia?. Jelas sekali kaum kaum ini kalah jauh followersnya dibandingkan dengan apa yang saya contohkan sebelumnya. Akhir –akhir ini saya juga mengamati beberapa seniman yang menggunakan instagram sebagai lahannya untuk berkarya baik fotografi maupun artwork dengan berbagai macam jenis. Beberapa diantara mereka sukses menggait para penggemarnya dan mendapatkan apresiasi yang cukup baik. Namun, beberapa diantaranya justru kini mulai jarang menampakkan hasil-hasil karyanya sebab lapaknya kini sepi pengunjung. Beberapa diantaranya memiliki strategi yang tidak main-main agar penikmat karyanya tidak jenuh terhadapnya. Ada yang setiap hari rutin mengupload hasil karyanya, ada yang membumbuhinya dengan cerita, ada yang selalu menanyakan kepada followersnya tentang apa yang seharusnya ia buat, bahkan ada pula yang melebarkan sayap hingga membukukan hasil karyanya. Tentu hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang orang yang memiliki passion dan keinginan yang kuat dibidang tersebut. Namun, tak jarang saya membaca cuitan dari beberapa seniman yang kesal terhadap netizen lantaran mereka terlalu banyak berkomentar daripada mengapresiasi. Tidak salah berkomentar, namun berkomentarpun ada batasannya.
Sebut saja dia Fiersa Besari, penulis; musisi sekaligus seniman fotografi dan videografi. Tak jarang dia bercuit di akun twitternya maupun di instastorynya tentang kekecewaanya terhadap netizen yang kurang mengapresiasi hasil karyanya dengan terus mempertanyakan ‘editnya pakai aplikasi apa?’, ‘nulisnya langsung atau pakai laptop dulu’, ‘motretnya pakai kamera apa’, ‘aplikasi yang instan apa?’, hingga pertanyaan ‘dapat uang berapa kalau bikin kayak gitu?’. Mungkin menurut beberapa orang ini adalah pertanyaan yang lumrah saja, biasa saja. Namun, coba kita bayangkan apabila kita telah berkreasi atas minat kita sendiri, membuat hal baru semalam suntuk bahkan berminggu-minggu kemudian kita bagikan ke khalayak namun respon pertama yang kita dapatkan adalah pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Maka benar, bahwa kita sedang dihadapkan dengan para penikmat seni yang suka instan, semacam juga ingin terkenal tapi dengan cara-cara yang cepat. Melalui akun twitternya (@fiersabesari) ia memposting “Yang lebih penting dari alat edit , konsepmu. Yang lebih penting dari alat tulis, wawasanmu. Yang lebih penting dari kamera, sudut pandangmu. Yang lebih penting dari estetika, ide ceritamu. Yang lebih penting dari karya yang menjual, karya yang sesuai dengan kata hatimu”. Namun lebih lanjut dia juga mengatakan bahwa tidak ada salahnya berkomentar, semoga komentar-komentar yang ia terima justru akan memacunya untuk lebih semangat berkarya.
Para seniman kini kalut dirundung kegalauan dunia yang memuja keviralan. Sosial media kini seolah menjadi hal yang abu-abu untuk membuka lapak karyanya. Beberapa diantara mereka justru lebih suka bersifat tertutup dan tak ingin memperkenalkan lebih jauh tentang dirinya pribadi kepada para netizen lantaran ada beberapa stigma negatif tentang buruknya kehidupan para seniman dibalik karyanya yang mempesona atau enggan diserbu dengan pertanyaan pertanyaan serta tanggapan yang kadang tidak berguna . Sebab tak jarang beberapa seniman/artis yang terlalu terbuka di sosial media sehingga ia termakan oleh kenyinyiran netizen yang mulia. Inilah gambaran betapa dunia maya kini telah mengubah selera manusia. Apapun dilakukan demi mewujudkan cita-cita viral hingga ke mana-mana. Kita lupa bahwa karya dan estetika adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan adanya. Tetaplah berkarya dengan indah, adakan suatu tujuan yang lain selain menjadi terkenal dan dipuja. Karya yang bermanfaat misalnya, atau karya yang berpengaruh untuk kemajuan suatu bangsa misalnya.
Maka, sekali lagi. Selamat datang di planet Bumi, wadahnya makhluk-makhluk yang juga kreatif dan inspiratif. Senantiasa berkarya dengan hati dan pikiran yang jernih. Kami sangat ramah dalam bersosial media. Kami sudah sangat terbiasa untuk mengapresiasi karya dan berkomentar dengan cermat dan membangun sebab kami paham bahwa berkompetisi itu tidak melulu soal menjatuhkan atau bertarung. Bagaimana? Kalau kamu makhluk Bumi, mau jadi yang mana? [Mufardisah]