Dua Akta Cerai

Wildan Kurniawan
Suka belajar tapi ngantukan


PUCUKMERA.ID – Malam begitu murung. Bintang setitik pun tidak muncul di hamparan langit semesta. Angin berhembus dengan malas. Memilih bersembunyi di balik batang pohon yang tebal nan hangat.

Aku begitu paham bahwa dalam agamaku, Tuhan membolehkan sepasang suami istri untuk bercerai. Namun, meskipun cerai diizinkan, Tuhan begitu membencinya.

***

Nada begitu baik. Ia tidak pernah lupa menyiapkan segelas teh panas di sore hari dan sekaleng biskuit selepas aku pulang kerja. Senyumnya tak pernah habis, merekah dan ranum. Rasa sayangnya begitu tulus dan tanpa pamrih. Seorang wanita sekaligus istri idaman yang bermimpi mendapatkannya saja aku tak pernah.

Kami berkenalan melalui seorang kawan yang memang berniat menjodohkan aku dengan Nada. Setelah beberapa bulan saling mengenal, kumantapkan hati untuk meminangnya. Bulan ke delapan sejak pertama kami bertemu, hubungan kami berlanjut di pelaminan.

Kami lalui setiap detik dengan senyum dan tawa yang tak pernah habis. Ikatan cinta yang kami jalin semakin kuat dan mengakar ke dalam lubuk hati yang tak terjamah dalamnya. Aku mencintai Nada, Nada mencintaiku.

Kami sering pergi berdua untuk menikmati alam. Di akhir pekan, mengunjungi bukit, pantai, danau, berdua saja. Menjalin kisah dengan penuh kasih, merajut cinta dan menjadikan alam sebagai saksinya.

Di usia perkawinan kami yang ke sembilan bulan, di sebuah petang, sebuah tragedi terjadi. Aku sedang di dalam kamar ketika satu pesan teks masuk ke ponsel milik Nada. Satu pesan teks dengan tulisan “sayang” dari kontak seorang laki-laki lain yang tak kukenal.

Selama ini aku hampir tidak pernah membuka ponsel milik Nada. Nada pun sangat jarang membuka atau meminjam ponsel milikku. Aku selalu berprasangka baik dengannya. Dari kejadian itu aku mencoba bertanya dengan halus tanpa menghakimi Nada.

“Sayang, ini pesan dari siapa?” kataku sambil menunjukkan pesan teks di ponsel miliknya.

Tanpa menjawab apa-apa raut wajah Nada berubah. Wajahnya tertunduk, enggan menatapku. Kuulangi pertanyaan yang sama. Jawaban Nada pun tidak berubah. Ia tetap bergeming.

Di atas meja makan, sebuah gelas kaca tergeletak. Hampir saja aku hilang kendali. Gelas yang sudah kugenggam, urung kubanting di hadapan Nada.

Nada tak kuasa membendung air matanya. Pun demikian denganku. Dengan wajah yang masih tertunduk, Nada menceritakan apa saja yang ia lakukan selama ini. Di belakangku dan tanpa sepengetahuanku.

Nada berselingkuh dengan laki-laki lain. Laki-laki yang ia kenal melalui media sosial saat usia perkawinan kami baru menginjak tiga bulan.

Di ujung keributan, aku menyeka air mata terakhir yang menetes dari mataku, “Kamu masih sayang aku, Nada?”

Nada membisu. Kemudian menggeleng perlahan. Kepalanya menunduk. Hujan deras kembali menyelimuti kedua bola mataku. Semakin deras hingga tak terasa semua air dari dalamnya sudah kukeluarkan semua. Hujan yang kering.

Dua bulan proses perceraian kami. Tidak ada aral melintang. Kami berpisah jarak sejak sore itu. Nada kembali ke rumah orang tuanya. Aku menyadari bahwa ikatan cinta tak patut dipaksa. Cinta lahir dan hadir atas nama takdir. Dan sepertinya takdir pula yang membawa cinta kami harus berakhir.

***

Satu tahun tiga bulan setelah aku dan Nada bercerai, aku menikah lagi dengan seorang wanita yang pernah satu kelas denganku dahulu sewaktu SMA. Namanya Yana. Sekali lagi, perkenalan kami tidak lama. Singkat namun aku merasa kami penuh kecocokan. Mungkin karena aku sudah mengenal dia lebih awal di bangku SMA dahulu.

Yana belum pernah menikah dan ia tidak keberatan dengan status dudaku. Bahkan ia memintaku untuk segera melamarnya dan menikahinya. Aku setuju, orang tua kami setuju. Pernikahan dilangsungkan sederhana saja.

Yana memiliki wajah yang bulat dan kulit kuning langsat khas gadis desa. Matanya yang berbinar seperti menjanjikan masa depan yang cemerlang. Rambutnya tebal dan lurus.

Dibanding Nada, Yana lebih pendiam. Rasa perhatian yang diberikan kepadaku tidak sama dengan yang diberikan Nada. Kepada Yana, aku lebih sering memberi perhatian. Meski kami seumuran, aku merasa seperti menjadi kakak bagi Yana. Membimbingnya dalam banyak hal, memberinya perhatian lebih, dan bersabar ketika suasana hatinya sedang tidak karuan entah karena apa.

Pernikahan kedua ini membuatku menjadi sering menbandingkan antara Yana dan Nada. Hingga tiba di suatu momen ketika kami sedang duduk berdua dan mengobrol, secara spontan aku bilang kepadanya, “Dulu, Nada suka sekali membuatkan aku teh panas setiap aku pulang kerja.”

“Maksud kamu?”

“Ngga ada maksud apa-apa. Aku cuma cerita, habis kamu diam saja dari tadi.”

“Bisa gak kita gak usah bahas mantan istrimu lagi? Sekarang dan seterusnya.”

“Iya, maafin aku.”

Setelah obrolan itu, Yana menjadi acuh tak acuh. Pekerjaan rumah hampir semua aku yang mengerjakan. Aku minta maaf lagi, hampir setiap hari aku minta maaf. Tetapi sepertinya obrolan hari itu benar-benar menyentuh relung perasaan terdalamnya.

Demi mengembalikan suasana, suatu hari sepulang kerja aku membawakannya bunga dan seporsi martabak telur bebek istimewa kesukaannya.

Tiba di rumah bukan sambutan dari Yana yang kudapat, tetapi pemandangan rumah yang nampak seperti gudang barang pecah belah. Kursi dan meja ruang tamu bergeser tidak di tempat semestinya. Taplak meja jatuh di lantai. Toples camilan terbuka semua. Baju-baju milikku berserakan sepanjang lantai menuju kamar.

“Yana, apa yang kamu lakukan?” batinku.

Kuhampiri Yana di kamar. Ia terbaring. Matanya terpejam. Aku mendekatinya, memastikan ia baik-baik saja. Napasnya teratur, ia sedang tidur.

Kubereskan ruang tamu dari barang-barang yang berserakan. Sambil terus berpikir apakah Yana masih marah karena ucapanku tempo hari lalu. Aku sudah minta maaf dan berjanji tidak mengungkit atau menyebut nama Nada di hadapannya.

Sepertinya upayaku tidak berhasil. Yana membungkam mulut sejadi-jadinya. Tidak bicara satu patah kata pun kepadaku. Aku ibarat orang lain di matanya. Atau mungkin ia menganggap aku benda mati yang tak bisa diajak bicara.

Satu minggu lebih Yana membisu. Mulutnya hanya terbuka saat ia makan saja. Tiada hari tanpa permohonan maaf dariku kepada Yana. Namun, semua ucapanku hanya dibalas dengan tatapan dari bola mata yang seperti berteriak di hadapanku, “Enyah kau, Gatot!”

Kehidupan rumah tanggaku tak bisa begini terus. Sebagai laki-laki aku harus bersikap. Memelas di hadapan perempuan yang sudah jauh dari kata peduli rasanya hanya membuang-buang energi. Aku tidak bisa membiarkan jiwaku dikorbankan.

Tanpa basa-basi lagi aku bertanya kepada Yana, “Apa yang kamu mau dari aku sekarang? Kita bicarakan baik-baik. Kalau kamu sudah tidak ingin hidup bersamaku, kita ajukan sidang cerai di Pengadilan.”

“Segera saja, kalau perlu hari ini.”

Seperti kilat yang menyambar di pagi buta, jawaban Yana cukup membuatku tersentak. Sekian ratus jam dia membisu, dan sekali dia bicara langsung mengiyakan ajakan untuk bercerai. Janji yang pernah kami buat perlahan menguap. Komitmen untuk bersama hingga tua hanya manis di awal saja.

Aku dan Yana berpisah. Yana Kembali tinggal bersama orang tuanya. Untuk kedua kalinya, rumah tangga yang kubina kandas. Jika sudah begini, siapa yang bisa kusalahkan? Ketika semua jari ini menunjuk sesuatu atau seseorang untuk disalahkan, rasanya semua jari berbalik arah dan menunjuk kembali kepadaku.

Aku tidak begitu mengerti bagaimana konsep jodoh bekerja. Tentang takdir manusia dalam rumah tangga, hubungan antara dua insan dengan latar belakang tak sama. Semua menjadi sebuah puzzle yang kepingannya dipisahkan oleh misteri. Dengan menikah, kita seolah harus menyatukannya demi kesempurnaan dan keutuhan puzzle itu.

Di bawah langit yang tak kunjung cerah, aku melempari danau di hadapanku dengan kerikil yang kuambil di sekitar. Semuanya tenggelam. Kemudian aku mulai memilih batu-batu berbentuk pipih yang dapat berjalan beberapa langkah di atas air, lalu mengikuti batu lainnya, ia tenggelam.

Aku kembali ke rumah. Di ruang tamu, kuamati selembar kertas yang sengaja kuletakkan di atas meja. Di bawah lampu temaram, sudah hampir satu jam pandanganku tidak lepas dari kertas berwarna kuning putih. Selembar akta perceraian yang tertulis namaku, dan seorang wanita yang pernah mengisi hari-hariku dengan samudera cinta dan selangit kasih sayang.

Selembar kertas yang kudapatkan setelah melalui proses persidangan yang menguras tenaga dan jiwa. Lebih jauh lagi menguras emosi dan komitmen suci yang harus dilepas hanya dengan beberapa ketukan palu di meja sidang.

Kini, aku telah memilki dua salinan akta cerai. Akta cerai yang pertama sudah menjadi arsip ketika aku mendaftar untuk menikah dengan Yana. Satu lagi, akta cerai baru yang masih hangat dengan aroma kenangan yang menguar memenuhi relung jiwaku.

Dua perkawinan. Dua akta cerai. Dua suka. Dua duka. Dua kejadian yang tak pernah terlintas sekalipun di benak kepala. Dua cinta yang kandas tanpa ampun. Tampak klise memang, tapi begitulah kehidupan. Hanya sedikit saja yang berani menceritakan.


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka1Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment