DILARANG MENCINTAI YUSUF


Oleh: Uswah SahaL
Penulis Buku Merawat Luka


Pada sebuah subuh yang dingin dibekap gigil, laki-laki empat puluh tahun itu tega membawa anaknya sendiri ke dalam hutan. Ia biarkan bocah belia itu terbujur kaku di mulut hutan, tubuh dan kepalanya terbentur benda yang keras saat ia menyeretnya ke dalam hutan. Tetapi anak itu juga darah dagingnya. Anak semata wayang yang seharusnya ia kasihani. Sepasang baju berwarna hijau teronggok ia tinggalkan di hutan dan satu keranjang besar berisi makanan. Mata orang tua itu memerah dengan mata memburah uratnya meregang ototnya menegang. Dengus napasnya tersengal-sengal setelah meninggalkan anaknya di dalam hutan belantara. Sempat dia memandangi anak yang masih terbujur dengan darah bagian tangan kirinya. Namun tiba-tiba hatinya kembali mengeras. Lalu tanpa memikirkan apa pun laki-laki itu bergegas balik.

Malam itu cuaca sangat buruk, hujan menyerbu tak henti-hentinya turun. Jalanan menjadi becek. Rumah-rumah warga ditutup rapat. Sementara sebelum ia pulang ke rumah menemui istrinya laki-laki itu membereskan semuanya agar tidak ada yang mengenali kebiadabannya. Tapi rumahnya lengang, tak ada siapa-siapa, istrinya masih tertidur pulas. Ia menyelinap kembali tidur di samping istrinya. Matanya menatap dalam-dalam perempuan yang telah melahirkan anak itu. Dingin sangat dingin mengalahkan dingginnya cuaca. Calabai telah membuat hatinya mendidih untuk melenyapkan putra kandungnya sendiri. Sebagai seorang calon camat terkuat dia tak ingin warga–warga desa tahu kalau putranya seorang “calabai”. Tidak laki-laki juga tidak seorang perempuan. Beberapa kali kedua orang tua itu sudah membawanya kepada dokter, tabib. Bahkan ia rela merogoh kekayaanya  dalam-dalam untuk membeli ramuan asal india dan Malaysia. Namun hasilnya masih tetap sama. Anak yang diberi nama Yusuf itu tak ada perubahan sedikit pun dan malah semakin menjadi-jadi.

Hingga pagi itu gempar melanda desa itu, kasak-kusuk tentang kehilangan Yusuf menyebar ke seluruh penjuru desa. Semua orang digerakkan untuk mencarinya. Mulai dari aparat kepolisian hingga anak buahnya. Sementara Ibunya pingsan tak sadarkan diri hingga sekarang. Laki-laki yang ia sebut sebagai Ayah memang seperti kawah, diam tapi bergolak. Ia pandai mengarang cerita-cerita. Semua orang riuh mencarinya namun pada kenyataanya sangatlah senyap. Ia membuangnya pada sebuah Hutan yang dilarang dimasuki oleh siapa pun. Orang menyebutnya “Hutan larangan”. Siapa pun yang berani masuk ke dalam hutan dikabarkan ia tidak akan kembali dengan anggota tubuhnya yang lengkap. Konon hutan tersebut pernah menjadi tempat pembuangan mayat-mayat saat terkena abu wedus gembel akibat meletusnya Gunung Merapi. Ada banyak hewan yang bisa menjelma sebagai manusia. Tak akan ada satu pun yang berani memasuki hutan kecuali dia siap mati.

Tidak mudah memang menjadi anak. Tidak mudah lagi menjadi lelaki, begitu pun menjadi perempuan. Tapi lebih tidak mudah lagi menjadi laki-laki yang menyerupai perempuan. Sebagai seorang laki-laki ia harus pandai bela diri, bertani dan berdagang. Apalagi menjadi seorang perempuan itu lebih mudah lagi, sebab hanya dibutuhkan pandai memasak, mencuci, merawat anak dan merawat suami.  Jika sudah membangun keluarga. Tapi tidak dengan menjadi seorang calabai. Kamu akan digiring kepada kenyataan pedihnya menjadi bahan caci makian dan pelecahan tak berkesudahan yang harus disantap setiap hari. Lebih-lebih Ayahnya adalah seorang diktator yang senang mengambil keputusan dengan semaunya. Dulu, sewaktu dia lahir, kelahirannya membawa berkah bagi Ayah dan Ibunya. Bayi itu menunjukkan wajahnya yang bersih dan berseri. Konon kelahirannya paling dinanti-nanti oleh Ayahnya. Sebab memiliki anak laki-laki lebih membanggakan daripada anak perempuan di kampung ini. Pantas kiranya dinantikan penuh dengan suka cita. Semua hewan mulai dari sapi, kambing dan ratusan ayam disembelih untuk merayakan kehadiran bayi yang telah lahir dan kini menjadi seorang calabai. Saat kelahirannya pula Ayahnya rela menjual sepetak tanahnya demi pesta akikah putra sematawayangnya. Undangannya mencapai dua ribu undangan.

Lalu saat umurnya lima tahun bocah itu menjadi bayi ajaib. Ketenarannya dimulai saat Yusuf membeli jajan yang berlogo hadiah. Entah disengaja atau tidak jajan itu selalu berisi uang. Awalnya hanya lima puluh ribu rupiah, lalu dia mencoba membeli lagi dan nasib baik masih terus berpihak kepadanya. Seratus ribu, dua ratus ribu hingga lima ratus ribu puncak paling tingginya. Hingga orang-orang yang tak memiliki uang berburu mencari Yusuf dan memintanya membelikanya jajan hadiahan. Dan ternyata benar apa pun yang berlogo hadiah yang dibeli dengan tangannya akan menghasilkan keberuntungan yang berlipat-lipat. Bocah itu mendadak semakin terkenal. Namun kekhawatiran Ayah dan Ibunya mulai berkelindan lama-kelamaan. Karena banyak yang memanfaatkan putra sematawayangnya. Meski kadang Ayahnya sering berkata bangga karena anaknya berbeda dengan anak-anak yang lainnya. Lebih hebatnya lagi apa yang Yusuf prediksikan selalu benar. Pernah sesekali ia meramal tentang kemenangan sepak bola Indonesia dengan Filipina. Bahwa Indonesia akan keluar dengan memabawa juara. Dan ayahnya meraup uang di meja taruhan. Dan ia dibelikan hadiah sepeda.

Benar apa yang dikatakan pepatah bahwa roda nasib memang selalu berputar. Ketika umurnya menjelang lima belas tahun, Yusuf sering didatangi mimpi-mimpi aneh. Beberapa kali ia melihat dirinya menabuh gendang yang ditabuh meliuk-liuk diiringi dengan tari-tarian erotis. Kadang ia bermimpi tentang laki-laki berwajah perempuan, kadang pula perempuan berkelakuan laki-laki. Tragisnya ia bermimpi orang-orang kampung menyeretnya dalam kehidupan lain yang merasa tak dikenalinya sama sekali yang tak pernah ia bayangkan sama sekali. Anehnya Yusuf menikmati dalam mimpi-mimpinya. Entah memiliki makna apa mimpi-mimpi itu suatu keganjilan di masa lalu atau isyarat untuk masa depan. Sejak mimpi itu bermunculan nasibnya mulai berubah. Sebagai laki-laki ia tak memiliki jakun, suaranya lebih mirip dengan perempuan. Ayun langkah dan lenggoknya tampak melambai dan bagian pinggulnya menyerupai perempuan. Tak ada satupun pada bagian tubuhnya yang khas seperti laki-laki pada umumnya. Sejak itu pula orang-orang mulai berubah dengannya. Ayahnya pun begitu cemas dan kasih sayangnya semakin menurun. Beberapa kali ia dibawa pada orang pintar dan tabib tapi hasilnya masih tetap sama. Sejak peristiwa itu Yusuf putra sematawayangnya tak diperbolehkan kelaur  rumah. Sehari-harinya ia hanya di dalam kamar. Sementara sekolahnya juga diberhentikan dan membuat alibi akan dipindahkan ke kota. Namun sebelum itu terjadi, calabainya malah semakin menjadi-jadi. Putranya seringkali mencuri lipstik dan bedak ibunya untuk berdandan. Saat itu pula Ayahnya ingin menendangnya dari rumah. Sementara ibunya hanya terisak di depan kayu tak bertilam dan tak berseprai di pojok kamar.

Entah berapa lama Yusuf pingsan di dalam hutan, sebelum dia sadar ada sekelebat bayangan menyusup di dalam gelap. Matanya pening, ia mencoba mengendap-ngendap mencari pohon untuk bersandar. Sesaat terhenti tiba-tiba kaki kirinya menginjak rumput berduri. Tak ada suara, sorot matanya menyimpan kecemasan, ia memandang sekeliling; tak ada orang. Kemudian ia mencoba bangun dan melangkah dengan hati-hati. sementara pikirannya berkecamuk ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. kelepak suara codot dari pohon mangga membuyarkan konsentrasinya. “Jangkrik” umpatnya sambil berbisik. Hewan-hewan itu sepertinya merasa terganggu dengan kedatangannya. Perutnya merasa lapar, ia santap buah-buah yang ada di hutan. Sebelum gelap datang ia mencoba mencari-cari jalan untuk keluar. Setelah beberapa jam ia seperti menemui jalan terang. Yusuf memasang telinganya baik-baik dia ikuti dari mana arah tarling dangdut itu berasal, tiba-tiba suara itu mengalun samar. Malam menjadi gelap dan dia masih di dalam hutan. Suara-suara serangga dirimbun gelap kembali bersahutan dengan suara katak yang melompat di udara-udara yang dingin. Yusuf masih berusaha menembus malam yang samar-samar dan sunyi.

Angin dari udara dalam hutan mendorong pohon-pohon. Daun-daun seperti rambut yang berkibar-kibar ada terjatuh dan terlepas, melayang dan jatuh ke tanah. Malam itu langit kembali hitam dengan awan menggumpal. Ia menemui pohon besar untuk berlindung. Dia terhempas diam dan memandangi tubuhnya yang masih tetap sama. Calabai. Yusuf mencoba berbicara namun suaranya masih tetap sama menyerupai wanita. Sesekali ia diam, menikmati aroma angin yang menerpa tubuhnya, lalu menengadahkan wajahnya ke langit. Tuhan akan mengeluarkan dirinya hari ini, pikirnya. Sampai pada akhirnya ia tertidur. Dan ketika matahari mulai menerobos celah-celah pohon, laki-laki itu bangun. Ia lanjutkan perjalanannya. Rasanya belum lama ia berjalan. Tuhan telah mengabulkan doanya. Gubuk-gubuk mungil seperti rumah-rumah asing yang terpencil di antara petak-petak sawah yang menengadah ke langit.

Entah orang-orang menamai desa ini apa, yang ia lihat hamparan sawah yang hanya dibatasi kubah langit yang melengkung dari rimbun pohon yang menyerupai semak-semak, parit di pinggiran sawah. Sungai-sungai yang membelah jalan. Pohon-pohon kelapa berderet di tepian, bau tanah basah yang menguar dari sawah dan kampung-kampung kecil. Laki-laki itu mengintip dari arah kejauhan. Di jalan, beberapa kendaraan sepeda meluncur cepat di ujung jalan. Bocah-bocah kecil. Kemudian dari arah Timur serombongan burung-burung terik melayang di udara. Jumlahnya mencapai ratusan, berputar-putar seperti pesawat tempur mencari musuh. Yusuf benar-benar tertegun dengan desa ini. Gerak geriknya seperti maling. Ia ingin menuju gubuk dekat sawah, namun hati kecilnya masih ada perasaan takut jika warga kampung mengetahuinya. Bukan perkara kedatangannya, melainkan Calabainya.

Setelah melewati beberapa ratus meter dari hutan, ia seolah-olah berada di dunia lain yang hening. Ia melewati beberapa bentangan sawah yang ijo royo-royo, hingga sampailah ia pada sebuah gubuk sawah. Setidaknya ia punya tempat untuk berteduh. Sesekali terdengar suara angin dan daun-daun. Sore itu langit kembali dipenuhi mendung yang merayap-rayap. Dari kejauhan terdengar suara anjing melolong. Suaranya tertinggal di pohon-pohon yang besar, seakan menggema. Semua menyisakan kesepian bagi hidupnya. Kadang Yusuf mendadak menjadi cengeng jika teringat Ibunya. Mengingat kebiadaban Ayahnya yang telah membuatnya terhempas di hutan demi memenangkan dan menjaga  nama baiknya agar terpilih menjadi seorang camat. Angin kumbang semakin menusuk kulit. Terdengar suara-suara merayap dalam gelap. Dalam celah gubuk ada bias cahaya kuning yang menerabas semak-semak yang mengelilinginya. Terdengar suara-suara kodok bersahutan dan jangkrik bernyanyian. Pelan-pelan laki-laki itu tertidur dengan suara mendengkur. Kodok dan jangkrik bagaikan iringan alunan musik saat ia tertidur.

Malam itu Yusuf kembali didatangi mimpi-mimpi aneh itu lagi. Mimpi itu seperti terjadi berulang-ulang. Dia melihat dirinya sedang dikumpulkan dengan orang-orang calabai. Kemudian seseorang yang sudah sangat tua memandikannya dengan kembang tujuh rupa. Seperti terdengar suara orang-orang sedang mengaji. Namun hidungnya dienduskan bau-bau seperti dupa yang sedang berperang dengan dirinya sendiri. Kemudian gendang ditabuh dengan suara melengking. Begitu ganjil dan muskil. Namun Yusuf masih menikmati mimpinya. Ia tak sadar pagi telah datang, gubuk itu masih basah akibat hujan yang deras. Tempias hujan memasuki celah-celah daun pintu gubuk yang masih terbuka. Dengan kaget salah seorang petani membangunkannya. Yusuf terbangun dengan nafas terengah-engah karena kaget.

“Bagaimana mungkin ada anak muda setampan ini di sini dengan baju terkoyak pada bagian depan belakang.” Bisik salah satu petani.

Spontan Yusuf menjawab bahwa dia telah tersesat di hutan belantara. Petani-petani itu justru menaruh perasaan iba padanya. Dibawalah dia ke kelurahan. Lalu diberikanlah laki-laki itu makan yang banyak dan minum yang cukup. Seketika kedatangannya menjadi pusat perhatian bagi perempuan di desa itu. Terutama para gadis-gadis desa ia sangat terpikat dengan ketampanannya. Tingkahnya juga sopan. Yusuf meminta izin membersihkan badan. Setelah semuanya selesai laki-laki itu diinterogasi oleh banyak warga. Dengan tinggi 178 cm, tubuh yang berisi, rambut ikal yang selalu dipotong pendek bergaya spike. Bibir merah kepundung, alis tebal, bulu mata lebat, hidung mancung dan satu lesung pipi yang senantiasa menyertai senyum manis yang selalu merekah pada wajah flamboyannya. Tidak heran kalau ia mendadak digilai gadis-gadis di kampung ini. Tampan sekali! Sejak kapan Calabainya hilang, ia tak sadar. Namun setelah bangun dari tidur dan dirundung mimpi-mimpi aneh, laki-laki itu kembali seperti laki-laki. Ia merasa suaranya menjadi berat. Pinggulnya mengecil dan jakunnya menonjol seperti laki-laki pada umumnya. Kesadarannya benar-benar pulih saat dia membersihkan dirinya di dalam jamban. Antara bingung dan bahagia sejadi-jadinya. Laki-laki itu telah kembali seperti manusia seutuhnya.

Saat Laki-laki itu ditanya tentang asal-usulnya, ternyata dia memang pandai berakting memasang wajah. Seolah-olah ia lupa dengan semuanya. Lupa dari mana ia berasal. Kemudian orang memanggilnya dengan sebutan Yusuf. Dalam hatinya bagaimana mungkin orang-orang memberikan nama yang persis dengan nama yang telah diberikan Ayahnya. Ah, ia tak mau ambil pusing dengan keadaan. Yang penting untuk sementara ini ia punya tempat tinggal dan bisa makan. Bermodal ketampanannya ternyata banyak orang-orang yang tertarik untuk mengajak tinggal di rumahnya. Jika dihitung-hitung ia sudah ditawari lebih dari sepuluh orang untuk tinggal bersamannya. Namun sebagai laki-laki ia memilih tinggal dengan Pak RT yang tak memiliki anak perawan. Yusuf juga minta untuk diberi pekerjaan. Di desa ini tak ada pekerjaan lain selain menjadi petani, orang-orang meragukan jika laki-laki itu bisa bertani, apalagi menanam padi. Sementara perawan-perawan itu berceletuk. Alangkah sudah pantasnya jika Yusuf menjadi artis saja seperti yang ada di televisi. Sementara jauh dari dalam hatinya, ia sedang memikirkan untuk kembali ke kampung halamannya. Laki-laki itu merindukan Ibunya dan ingin membunuh Bapaknya.

Lambat hari, minggu dan bulan Yusuf mulai mengenal desa ini secara perlahan. Lidahnya mulai cocok dengan masakan orang-orang. Saat azan subuh berkumandang dari kejauhan. Lamat dan mengalun. Bertabrakan dengan suara gelepak ayam dan teriakan mereka yang melengking dan berbisik. Laki-laki dengan bibir merah kepundung itu pasti sudah bangun lebih awal dari Pak RT. Sebagai penumpang yang baik ia selalu membuatkan secangkir teh Rosella dengan tangganya sendiri. dan Pak RT Selalu memujinya. Kemudian tiba-tiba laki-laki itu bertanya tentang ketertarikannya dengan gadis-gadis di desa ini.

“Apa kamu tidak merasa banyak gadis yang sengaja mereka-reka cara untuk mendapatkan perhatianmu?” Yusuf hanya tersenyum tipis. Sementara Haji Mukit, imam di surau, juga sering memperhatikanmu, mungkin dia berniat menjodohkanmu dengan Safitri. Yusuf justru mengalihkan pembicaraan. Setelah lama berbincang Yusuf mengajak induk semangnya segera ke sawah. Sebab matahari di Timur sudah seujung tombak. Di desa ini tak ada jam kantor yang dimiliki oleh pekerja mana pun. Sementara gaji buruh tani hanya bisa buat makan sehari-hari. Sedangkan setiap hari orang makan nasi dari hasil kerja keras mereka. Sementara perjalanannya menuju sawah, jalannya menjadi gontai. Yusuf menjadi teringat omongan induk semangnya tentang gadis-gadis yang memperhatikannya. Tentang ketertarikan Haji Mukit terhadapnya. Seperti ada yang ganjil dengan dirinya sekarang. Bagaimana mungkin dia tidak tertarik sama sekali dengan perempuan? Jauh dari dalam hatinya saat gadis-gadis desa meliriknya, ia sama sekali tak tertarik. Bukannya tubuhnya telah kembali seperti laki-laki, atau mungkin Calabai itu masih melekat. Dia tak tahu kebenarannya, yang ia rasakan Yusuf memang tidak tertarik dengan perempuan mana pun. Kekhawatiran tumbuh berkembang dan berbisik bahwa ia belum sepenuhnya menjadi laki-laki. Itulah sebabnya dilarang mencintai Yusuf.

Setelah berbulan-bulan di sini Yusuf mencoba mengingat-ingat dari desa mana ia berasal. Ia paksakan pikirannya menjadi liar. Saat cahaya senja jatuh di rimbun pohonan. Warnanya keemasan menempel di daun-daun, menyelip lalu jatuh ke tanah. Satu-satu cahaya itu seperti ditarik. Perlahan dan kemudian hilang. Bulan masih terlihat samar. Debu mengendap di dedaunan. Hujan sudah tidak turun tiga hari di desa ini. laki-laki itu meminta izin kepada induk semangnya untuk meninggalkan kampung ini selama dua hari. Sebab dia ingin mengunjungi desa lain dan ada hal yang ia ingin temui. Meski dengan berat hati akhirnya Pak RT yang beberapa bulan ini menjadi induk semangnya akhirnya mengizinkannya. Yusuf pergi menembus gelap. Ia melewati jalan-jalan gelap yang lampunya belum merata. Saat ia telah keluar dari kampungnya entah berapa puluh kilometer. Ia masuk pada sebuah kampung dengan jalanan becek dengan hati-hati ia menaiki sepedanya. Ban sepeda sudah penuh dengan tanah lengket. Kemudian Yusuf berhenti untuk mencari kayu untuk membersihkannya terlebih dahulu. Setelah bersih ia kembali melanjutkan perjalanannya. Setelah jauh bersepeda ia melewati jalanan dengan tanaman singkong yang rimbun dengan luas sekitar 8×10 meter. Kemudian dia belok ke arah Selatan. Semakin malam udara semakin dingin, jalannya gelap, hanya lampu kuning pucat yang membias dari rumah-rumah penduduk yang berada di pinggir jalan. Genangan sisa air hujan memantulkan cahayanya yang lesu. Di jalan ini banyak sekali batu kerikil yang bercampur tanah. Terkadang juga gundukan batu atau juglangan. Samar-samar dan semakin dekat terlihat banyak warung yang ramai dan dikunjungi orang. Ada yang berjudi sambil bermain karambol. Sudah ia duga, bahwa itu adalah kampung halamannya. Atau jangan-jangan Ayahnya sedang duduk di sana memegang kartu. Laki-laki bertubuh tegap dengan rambut yang selalu berminyak mungkin tengah membanting kartu. Atau dia sedang sibuk mengurusi jabatannya yang tinggi sebagai camat.

Ketika menuruni sebuah jembatan ia beristirahat sejenak pada pos kampling dekat rumahnya. Tak ada orang yang mengenali bahwa dia adalah Yusuf yang hilang. Air matanya tiba-tiba menetes saat melihat rumahnya dari kejauhan. Sungguh rumah itu belum memudarkan warna cat dan sama sekali belum mengelupas. Mengingatkan dia kembali pada bocah saat bermain dan membawa obor, Yusuf dan teman-temannya akan berduyun-duyun  di jalan kampung. Dari jauh obor itu akan nampak seperti banas pati yang membakar gelap. Berombak. Mendadak dia merindukan kembali seperti bocah yang dicintai oleh orang-orang karena kelebihannya. Azan dikumandangkan oleh anak-anak dengan suara yang nyaring dan indah. Meski terdengar masih fals, tapi Yusuf menikmatinya. Dia teringat masa kecilnya ketika bersaing semerdu mungkin dengan teman-temannya. Mencari referensi di televisi atau radio. Mencari gaya azan yang mereka anggap bagus. Setelah beberapa menit kemudian ia masih memandangi rumahnya dengan daun pintu yang terbuka sejak tadi. Sementara banyak sepeda motor keluar masuk, kalau tak salah dari kerabat Ayah. Lampu-lampu depan rumah juga lebih terang dari biasanya. Mungkin hanya itu yang berubah. Lama-kelamaan orang-orang berbondong-bondong menuju rumahnya dengan berpakaian sopan dengan menggunakan songkok. Apa mungkin Ayahnya sedang menggelar syukuran besar-besaran karena telah memenangkan pemilihan.

Sementara suara Pak Kiai dari kejauhan yang sedang memimpin acara di rumahnya membuat hatinya berdentum dan berdebar-debar. Keringat dingginnya muncul di pori-pori saat Pak Kiai menyebut arwah semacam ayat-ayat kematian. Hatinya bergolak, jantungnya berdegup kencang. Ia bingung dengan sendirinya apa yang harus ia lakukan. Pikirannya membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Ia tak berani membayangkan tentang kematian jika itu benar-benar menimpa keluarganya. Ia tinggalkan sepeda motornya, ia berjalan mendekati rumahnya. Dadanya semakin bergemuruh, mukanya menjadi merah. Nafasnya menjadi tak beraturan saat kakinya semakin mendekati depan rumahnya. Dengan jelas Pak Kiai menyebut nama Ayahnya yang telah disebut menjadi arwah. Ayahnya telah meninggal seusai pemilihan, ia memilih bunuh diri menggantungkan dirinya di dalam kamar karena kalah dalam pemilihan. Sementara tanahnya banyak yang telah dijual untuk kepentingan pemilihan. Laki-laki itu merindukan Ibunya, ia ingin memeluknya dengan sangat lalu menumpahkan semuanya. Itu saja!

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

1 Comment

Leave a comment