Didi Kempot dan Homogenitas Cita Rasa Milenial


Nashir Efendi
Peminat kajian-kajian sosiologi


Siapa yang tidak gelisah jika ditanya penyanyi atau grup musik di era sekarang? Di era dulu dengan mudah kita menjawab Sheila on 7, Slank, Rhoma Irama, dan lain-lain. Yang jelas kita dengan semangat tanpa ragu bisa mengidentifikasi siapa tokoh musik yang bisa nancap ke batok kepala kita.

Saat mengikuti mata kuliah cultural studies, dosen saya pernah bertanya spontan. “Siapa musisi atau group band yang terkenal di era sekarang?” Mengejutkan, semua teman-teman saya diam seribu bahasa. Dengan wajah penuh kebingungan karena terlalu banyaknya musik yang dikonsumsi atau justru jarang update tangga lagu di spotify atau JOOX. Musik menjadi pilihan bahan diskusi yang menarik di antara film dan karya teks, karena secara indera, musik tidak bisa kita tolak meskipun bukan musik yang kita suka.

Di tempat-tempat umum, misalnya di bandara atau terminal, tidak mungkin kita meminta penjaga untuk mengganti lagu sesuai yang kita inginkan, dan indera pendengaran kita tidak bisa menolak lagu itu. Berbeda dengan film yang harus membutuhkan cahaya ruangan dan proyeksi film yang harus kontras.

Lord Didi, begitulah sebutan Didi Kempot dari para milenial. Musisi campursari itu bangkit lagi jadi idola anak muda. Sebutan lain baginya adalah the Godfather of Broken Heart, sementara para penggemarnya menamakan diri sebagai Sadbois dan Sadgirl. Hal itu untuk menggambarkan kegemaran akan lagu-lagu nestapa yang khas Didi. Sedih namun membuat bergoyang alias bergembira dalam kesedihan, begitu kata sebagian orang.

Fenomena naiknya Didi Kempot karena faktor kebosanan atas segala tren yang memuncak. The Godfather of Brokenheart jadi alternatif setelah para pendengar musik bosan dengan semua yang sudah mereka rasakan sensasinya.

Fenomena ini tentunya membuat kegembiraan karena menunjukkan optimisme bagi musik-musik Tanah Air di era digital. Di sisi lain, fenomena ini sesungguhnya bukan hal yang baru.  Maka kita pun diingatkan jika rentang selera musik milenial begitu luasnya. Pertanyaannya kemudian bagaimana musik yang bergenre campursari, yang semula dianggap norak, bisa bangkit? Mengapa lagu-lagu dengan lirik yang sederhana bisa menusuk ke lubuk hati milenial secara radikal?

Musik sebagai salah satu bentuk produk media sekaligus produk budaya yang dibuat dalam jumlah besar (mass production) dan disebarluaskan (dissemination). Dari sudut pandang media budaya, musik adalah suatu pertalian yang ketat antara pesan, suara dan pengalaman kontekstual. Maka, untuk memahami nilai-nilai, kecemasan, dan keinginan tertentu dari suatu budaya, kita harus memahami praktek yang mengelilingi produksi dan konsumsi budaya.

Dahulu, musik campursari merupakan kebudayaan rakyat yang berkembang secara alamiah tanpa adanya unsur komersialisasi. Meski demikian, ketika budaya rakyat ini bersinggungan dengan sistem modernisme, maka campursari berubah menjadi kebudayaan massa melalui media digital. Ciri-ciri yang menyertainya adalah menasional dan mengglobal. Perkembangan musik campursari dewasa ini telah membuatnya bertransformasi dari budaya musik untuk kaum bawah menjadi milik seluruh lapisan masyarakat. Campursari telah dikategorikan ke dalam budaya pop atau budaya massa yang perkembangannya dipengaruhi oleh budaya selera (taste culture), yaitu mereka yang (merasa) mempunyai otoritas untuk memberikan penilaian, yaitu kaum elite kebudayaan dari kelas atas.

Kelas atas yang menjadi penentu selera musik saat ini adalah Jakarta. Bagaimana tidak? Semua instrumen untuk menjadi sosok yang populer ada di ibukota yang kabarnya akan pindah. Semua sumber daya menentukan eksistensi musisi atau grup band. Namun di sisi lain hal itu menimbulkan Jakartasentris. Suatu kebudayaan yang dianggap liyan dari Jakarta seperti norak dan kampungan. Namun media digital membubarkan itu semua, ditambah peran sebuah acara bernama Sychronize Fest yang menghadirkan segala genre musik dalam konsernya, termasuk Didi Kempot.

Peran media digital pada musik campursari telah menyulap campursari menjadi sebuah popularitas baru. Setiap popularisasi pada musik campursari tentu akan selalu dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat, dalam hal ini kaum milenial. Kebangkitan campursari kontemporer menghancurkan monopoli aristokrasi atas budaya musik tradisional. la kemudian menjadi milik semua orang sesuai dengan standar-standar yang ditentukan oleh masyarakat. Yang terjadi kemudian adalah homogenisasi cita rasa.

Musik campursari yang dipersembahkan oleh Didi Kempot mensyaratkan hasil tindakan konsumsi masyarakatnya melalui atribut campursari yang meliputi lirik, busana, alunan musik, dan lifestyle. Trend mendengarkan lagu nelangsa yang sempat berlalu, muncul lagi untuk hinggap pada anak muda hari ini. Sebab pesan yang dibawa Didi Kempot pada tiap lagunya cukup bersifat evergreen. Bukankah prosedur patah hati dari masa ke masa selalu sama? Bahkan jika diperhatikan, ketertarikan anak muda dengan lagu-lagu Didi Kempot bisa lebih dari trend karena sensasi yang diperoleh mengalahkan lagu yang secara waktu release lebih terbaru.

Dalam rangka menemukan kembali penggemar tersebut, strategi yang dipakai Didi Kempot ternyata sangat sederhana, namun terbukti abadi. Yaitu penderitaan, kehampaan, kesedihan, tangisan, kekecewaan, kekalahan, dan akhirnya air mata. Semuanya memang memudahkan untuk menemukan homogenitas cita rasa sesama. Dia mampu mengolah emosi masyarakat menjadi sebuah kenikmatan tiada tara. Jejak auranya tidak hanya di tempat-tempat yang berbau budaya Jawa, akan tetapi Jakarta yang sangat kosmopolit pun dia mampu masuk ke dalamnya. Bahkan, di seluruh penjuru nusantara. Seperti judul lagunya Sewu Kutho artinya seribu kota. Padahal total kota di Indonesia ada 514. Sungguh narasi sastra tingkat tinggi yang dia gunakan.

Akhirnya, Didi Kempot mampu memberikan obat penenang bagi generasi muda Indonesia yang dari tahun ke tahun, dan dari generasi ke generasi semakin cengeng, rewel, manja, baperan, dan rentan terhadap segala sesuatu melalui 800 lagu yang telah dia ciptakan. Lagu tersebut lebih mengandung daya emosional daripada intelektual yang seringkali mengandung kritik sosial, seperti lagu Iwan Fals dan Slank. Meskipun dengan Bahasa Jawa, siapa pun dan di mana pun yang mendengarkannya, semua akan memiliki kesadaran yang sama, yaitu kesedihan memang hal yang sangat lumrah dan manusiawi, apa lagi kesedihan yang dilakukan secara berjamaah?

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment