Mochammad Fatkhurrohman
Buruh di Lembaga Riset Swasta
Terkadang saya suka keheranan, mengapa beberapa orang senang sekali berkomentar tentang bentuk tubuh seseorang? Ada yang memberikan pujian-pujian terhadap orang-orang yang memiliki bentuk tubuh yang ideal. Dan ada juga yang memberikan celaan bagi mereka yang tidak memiliki bentuk tubuh ideal. Melalui komentar tersebut seakan-akan menunjukkan, mereka memiliki gambaran tentang bentuk tubuh ideal. Dan berhak memutuskan mana yang terbaik.
Gambaran bentuk tubuh yang ideal misalnya, seorang laki-laki itu haruslah putih, tinggi, badan yang berotot, tampan dan maskulin. Sementara perempuan yang dianggap ideal itu harus putih, tinggi, langsing, feminin dan tentu saja harus cantik. Padahal menurut saya tidak ada bentuk tubuh ideal baik itu untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Memang terdengar sedikit naif. Tapi menerut saya memang begitu kenyataannya.
Sebenarnya dari mana gambaran bentuk tubuh yang ideal tersebut? Jawabannya berasal dari pemaknaan sosial terhadap tubuh kita. Yulius dalam bukunya yang berjudul C*bul: Perbincangan Serius tentang Seksualitas Kontemporer (2019) mengungkapkan, tubuh kita selalui dilekati makna sosial. Berat badan berlebihan dibilang tidak menarik atau pemalas. Kurus kerempeng dibilang kurang gizi. Karena tubuh bukan saja sekedar wahana biologis untuk hidup.
Selalu ada makna yang suka atau tidak suka dijahit bersama dengan kehidupan itu sendiri. Melalui pemaknaan tersebut seakan-akan kita “menemukan” bentuk tubuh ideal yang kita inginkan. Hal itu pada akhirnya tertanam di alam bawah sadar kita. Sehingga seolah-olah dengan yakin bahwa bentuk ideal tersebut adalah yang kita butuhkan. Sehingga ketika kita tidak termasuk ke dalam kategori ideal, kita dianggap nyeleneh.
Anggapan tersebut memunculkan pertanyaan selanjutnya dalam benak saya. Bagaimana bisa gambaran tentang bentuk tubuh yang ideal tersebut bertahan dalam pikiran kita? Jawabannya sangat sederhana. Kita masih menggunakan paradigma reproduksi dalam cara berpikir kita yang bertujuan untuk melanggengkan sistem dan struktur sosial yang bisa memberikan dampak buruk kepada kita.
Toto Raharjo dalam bukunya yang berjudul Sekolah Biasa Saja (2018) mengatakan, ada dua paradigma dalam pendidikan yang biasa digunakan oleh para pendidik yaitu paradigma reproduksi dan produksi. Paradigma reproduksi digunakan untuk melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada. Sementara paradigma produksi digunakan untuk keluar dari sistem dan struktur sosial yang berdampak buruk bagi masyarakat.
Umumnya, para pendidik kita sejak dulu sampai hari ini lebih banyak menggunakan paradigma reproduksi. Caranya yaitu dengan transfer pengetahuan yang dimiliki oleh para pendidik kepada peserta didik. Maka sudah dapat dipastikan apa yang menjadi pengetahuan para pendidik juga berada di peserta didik. Akhirnya para pendidik hanya mencetak peserta didik, bukan mengembangkan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik.
Bukan berarti saya menyalahkan para pendidik yang menggunakan paradigma reproduksi dalam kegiatan belajar mengajar. Tetapi kenyataannya sistem dan stuktur sosial kita memang menganggap bahwa ideal itu yang terbaik dan hal tersebut bertahan berkat paradigma reproduksi yang diajarkan di sekolah. Akhirnya, pola pikir kita sama dengan pola pikir orang-orang pada umumnya. Dan bagi mereka yang pola pikirnya tidak sama akan dianggap aneh.
Memang, konteks yang digunakan oleh Toto Raharjo untuk menjelaskan kedua paradigma tersebut berada di bidang pendidikan. Alasannya karena pendidikan mampu membentuk cara pandang kita mengenai suatu hal dan itu berdampak pada cara berpikir kita sehari-hari. Sehingga orang-orang yang dalam cara berpikirnya diajarkan menggunakan paradigma reproduksi, maka dalam kehidupan sehari-harinya pasti akan menggunakan paradigma tersebut.
Tidak percaya? Coba sekarang silakan tanya salah satu teman Anda mengenai bentuk tubuh yang ideal. Pasti jawaban yang akan dilontarkan tidak jauh-jauh dari kriteria ideal yang saya sebutkan di atas. Dan secara umum, jawaban yang Anda dapatkan akan sama. Kalaupun ada yang berbeda dan berada di luar kriteria tersebut, berarti dia mempunyai cara pandangan lain tentang bentuk tubuh yang ideal.
Jawaban yang muncul di luar kriteria tersebut pastinya bukan dari orang-orang yang terbiasa menggunakan paradigma reproduksi, melainkan dari mereka yang biasa menggunakan paradigma produksi. Mereka sadar bahwa pemaknaan sosial terhadap bentuk tubuh seseorang tidak bisa disamakan. Dan setiap orang punya standar masing-masing tentang bentuk tubuh yang ideal.
Paradigma tersebut nyatanya dapat memberikan sikap kritis kepada masyarakat. Dampaknya kita akan mendapatkan kepekaan dalam melihat realitas sosial yang ada di masyarakat selama ini. Pada akhirnya dampak tersebut menurut Sirozi dalam bukunya yang berjudul Politik Pendidikan (2005) membuat kita mendapatkan sebuah stimulus untuk mengorganisasikan dan mengartikulasikan kebutuhan kita yang sesungguhnya.
Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Masyarakat Kota (2008) juga menyebutkan, kepekaan terhadap realitas sosial tersebut sebagai kesadaran kritis. Kesadaran ini akan memberikan pandangan kepada masyarakat tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Namun, dalam mencapai kesadaran ini kita harus menggunakan paradigma produksi dengan tujuan keluar dari sistem dan struktur sosial tentang bentuk tubuh ideal yang ada di masyarakat secara umum.
Walaupun terkadang mulut tetangga, teman dan jempol netizen selalu bisa menjadi hakim “terbaik” dalam memutuskan mana yang terbaik untuk kita. Ditambah kerjasama yang cukup baik antara pemaknaan sosial dengan paradigma reproduksi yang semakin membuat kita terjebak terhadap pandangan umum mengenai bentuk tubuh yang ideal.
Tetapi paradigma produksi dalam cara berpikir bisa menjadi sebuah solusi untuk keluar dari jebakan padangan umum tentang bentuk tubuh yang ideal tersebut.
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id