Cukai untuk Si Manis Beresiko

Atin Agustin, SKM

Mahasiswa Pascasarjana FK-KMK UGM


Konsumsi minuman berpemanis (Sugar Sweetened Beverages) kini menjadi kegandrungan di masyarakat terutama anak-anak, remaja dan generasi muda. Seolah minuman ini dianggap lebih mewah dan bernilai gizi lebih dibandingkan dengan mengkonsumsi air mineral. Minat masyarakat didukung dengan murahnya harga minuman kemasan. Cukup dengan merogoh kantong minimal seribu rupiah, kita sudah dapat memilih minuman dengan berbagai variasi rasa. Minuman ini juga sangat mudah didapatkan, hampir semua toko menjualnya, dari toko terdekat rumah, kantin sekolah hingga swalayan bergengsi. Bahkan kini mulai menjamur kedai-kedai di pinggir jalan yang menjual minuman berpemanis beraneka rasa dengan konsep kekinian untuk menarik minat anak muda.

Masyarakat semakin mudah memilih minuman berpemanis mana yang sesuai dengan kantongnya, bahkan anak-anak pun bisa membeli dan mengkonsumsinya sendiri tanpa pengawasan dari orang tua. Promosi gencar di semua lini media melalui iklan yang menarik sehingga menguatkan pilihan masyarakat bahwa minuman ini layak untuk dijadikan tren konsumsi. Rasa manis dari gula tambahan dapat melepas dopamine otak sehingga penikmat minuman ini menjadi bahagia. Hal ini menjadikan menjadi salah satu penyebab kecanduan sehngga ingin mengkonsumsinya secara terus-menerus.

Minuman berpemanis tersedia dalam berbagai jenis, mulai susu, teh, kopi, jus buah atau sayur, minuman berkarbonasi hingga minuman berenergi. Jenis gula tambahan pada minuman berpemanis dapat berupa sukrosa, gula putih, gula merah, madu, dan high corn fructose syrup (HCFS). Tingginya kandungan gula pada minuman ini dapat berdampak besar terhadap asupan kalori setiap harinya.

Potret kegandrungan konsumsi minuman berpemanis ini sesuai dengan Hasil Riset Center For Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) Tahun 2022. Diketahui bahwa tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk MBDK masih cukup tinggi yaitu 1-6 kali per minggu (46,8%). Padahal minuman kemasan yang beredar di Indonesia mengandung gula sebanyak 37–54 gram dengan sumbangan kalori sebesar 310–420 kkal (Akhriani M, 2016). Hal ini tidak sesuai dengan rekomendasi World Health Organization (WHO) untuk membatasi asupan gula tambahan <5% dari total asupan energi harian dan American Heart Association (AHA) yang menganjurkan konsumsi gula tambahan bagi anak usia 2–18 tahun adalah <25 gram per hari.

Data tersebut sejalan dengan dinobatkannya Indonesia menjadi negara ke-3 dengan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) terbanyak di Asia Tenggara pada tahun 2020. Laporan Center For Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) memaparkan bahwa konsumsi MBDK terjadi peningkatan 15 kali lipat dalam dekade terakhir. Tentu saja ini bukan menjadi prestasi yang membanggakan. Peningkatan yang signifikan ini berimplikasi pada berbagai resiko penyakit tidak menular (PTM) hingga akan menjadi PR besar negara dalam mengatasinya, PTM yang prevalensinya semakin meningkat akan diiringi dengan anjloknya produktivitas masyarakat serta angka kesakitan yang semakin tinggi.

Kekhawatiran peningkatan PTM sejalan dengan hasil Survei Kesehatan Indonesia pada tahun 2023, data tersebut menunjukkan bahwa terjadi kenaikan kejadian obesitas. Jika pada tahun 2018 21,8 % kini menjadi 23,4%. Tentu saja kenaikan angka ini salah satu penyebabnya adalah berlebihan dalam mengonsumsi minuman berpemanis. Bahkan Indonesia menjadi sorotan WHO karena menjadi negara dengan Tingkat obesitas tertinggi di Asia Tenggara.

Temuan tersebut harus segera diatasi lantaran obesitas menjadi faktor resiko berbagai penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, diabetes, hipertensi, kerusakan hati, dan ginjal. Kementerian Kesehatan sendiri merilis tiga penyakit penyebab kematian tertinggi di indonesia yaitu stroke, jantung dan diabetes. Konsumsi MBDK berkaitan erat dengan prevalensi diabetes hal tersebut dirilis oleh International Diabetes Federation (IDF).

Penyakit diabetes ini tidak hanya menyerang orang dewasa saja, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan diabetes juga menyerang anak-anak hingga 31 januari 2023 telah terjadi peningkatan kasus 70 kali lipat. Ini menjadi mimpi buruk yang harus diatasi segera, apalagi di tahun 2045 Indonesia mendapat bonus demografi dimana seharusnya anak-anak dipersiapkan sebaik mungkin dari segi kesehatan dan mental, untuk membangun negara yang berdaya saing tinggi.

Fenomena diabetes ini menyiratkan minuman berpemanis telah menjadi candu bahkan semenjak usia dini. Jika sekedar memberikan edukasi saja tentu tidak akan membuahkan hasil karena sudah menjadi budaya konsumsi yang mengakar kuat di Masyarakat. Pengendalian MBDK penting dan perlu intervensi negara. Salah satu upaya yang dinilai efektif adalah kebijakan pengenaan cukai pada MBDK.

Karakteristik barang yang dapat dikenai cukai adalah barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi dan pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Paparan ini termuat dalam undang-undang nomor 39 tahun 2007 tentang cukai.

Lebih dari 40 negara di seluruh dunia menerapkan cukai pada MBDK untuk mengurangi konsumsi minuman tersebut dan dinilai efektif. Penerapan cukai ini dimaksudkan untuk meningkatkan harga eceran pembelian, mendorong pergeseran ke konsumsi air minum yang lebih aman serta mengubah norma masyarakat dengan mengirimkan pesan yang kuat bahwa konsumsi MBDK secara regular bukanlah bagian dari pola makan yang sehat dan bergizi. Selain itu, jika penerapan cukai menghasilkan pendapatan pemerintah yang signifikan, dapat diinvestasikan kembali untuk Kesehatan dan kesejahteraan Masyarakat.

Hal positif penerapan cukai ini dapat dibuktikan secara global yang dilansir oleh UNICEF pada tahun 2019:

· Cukai 10% yang dikenakan untuk MBDK telah terbukti menurunkan pembelian 8-10%

· Cukai 20% telah terbukti mengurangi prevalensi kelebihan berat badan 1-3% dan obesitas 1-4%

· Cukai MBDK secara signifikan mengurangi kasus diabetes tipe 2, penyakit jantung, stroke, dan kematian dini

· Peningkatan pendapatan pemerintah secara substansial

Penerapan cukai pada MBDK tentu saja akan menjadi problematika tersendiri. Masyarakat menganggap adanya cukai akan berimbas pada penurunan lapangan kerja dan penjualan MBDK yang akan merosot. Meskipun kekhawatiran ini tidak terbukti pada beberapa negara yang telah menerapkannya yaitu Chili, Meksiko dan Amerika Serikat. Berbagai dukungan terhadap penerapan cukai MBDK pun telah bermunculan.

Center For Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) mengatakan, “MBDK harus sudah mulai diperhatikan, karena konsumsi MBDK yang berlebih akan berdampak terhadap kesehatan, oleh sebab itu hendaknya pemerintah segera mengesahkan cukai MBDK”

Ikatan Dokter Anak Indonesia mengatakan hal serupa, “Akses minuman atau makanan yang bergula tinggi ini memang mesti ada pembatasan atau ada regulasi. Jangan sampai anak-anak terlalu mudah, minum minuman manis sehingga kesehatannya jadi terganggu.”

Mengingat urgensi penerapan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK), pemerintah Indonesia harus segera mengesahkan kebijakan tersebut, untuk mengurangi dampak Penyakit Tidak Menular khususnya penyakit diabetes, mengurangi biaya perawatan kesehatan, serta menambah pendapatan negara yang dapat digunakan untuk meningkatkan program kesehatan dalam upaya promotif dan preventif.


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
1Suka5Banget
Show CommentsClose Comments

1 Comment

Leave a comment