Covid-19, Pandemi yang Datang Terlambat


Devi Wulantika Nur Fitria
pucukmera.id


Seperti lagu yang dipopulerkan Maudy Ayunda, Cinta Datang Terlambat, Covid-19 bagi saya juga pandemi datang terlambat. Kedatangannya sangat mengejutkan dan tidak terprediksi, walaupun lebih berharap pandemi datang lebih awal. Saya jadi benar-benar sulit membedakan antara Covid-19 dengan dia yang tiba-tiba bilang cinta, padahal saya sudah mengharapkannya sejak lama. Dia dan Covid-19 sama saja! Semprul!

Saya memang mengharapkan Covid-19 datang tepat waktu. Tapi, bukan berarti mengharap bencana biologis ini hadir dalam sejarah manusia. Semua manusia di muka bumi pasti ingin pandemi segera berakhir, saya pun demikian. Namun, jika ketiadaan virus ini mustahil, tolonglah jangan hadir di saat yang tidak tepat.

Covid-19 sebagai pandemi telah datang secara mengejutkan. Tanpa persiapan yang matang, dunia dihajar virus yang kabarnya terus bermutasi ini. Perekonomian lumpuh, dibarengi dengan kekacauan struktur sosial. Penyebarannya juga sangat cepat, walaupun mortality rate-nya hanya tiga persen.

Namun, tiga persen tidak bisa dipandang menjadi ‘tiga persen’ saja, jika penyebaran pandemi terus berlanjut. Peningkatan jumlah manusia yang terjangkit akan memperbesar jumlah kematian. Maka, penyebaran harus dihentikan. Manusia harus melawan egonya dalam bersosial agar perkembangan virus terhenti.

Tapi, bukan Indonesia namanya, kalau sudah mempersiapkan pencegahan pandemi lebih awal. ‘Jiwa santuy’ masyarakat Indonesia belum tergetar, sekalipun jumlah pasien positif Covid-19 terus meningkat. Libur yang seharusnya dimanfaatkan untuk social distancing, justru diterjemahkan sebagai kesempatan berwisata. Alih-alih di rumah dan menjaga pola hidup sehat, kebanyakan masyarakat Indonesia justru memperpanjang silaturahim dengan sanak saudara. Masyarakat Indonesia memang sangat santuy!

Berkenaan dengan itu, saya justru teringat dengan kalimat yang biasa tertulis di batu nisan orang Latin jaman dahulu: “Hodie mihi, cras tibi’. Saya yakin, andai mayat Covid-19 dapat berbicara, mungkin kalimat ini akan mereka katakan. Kalimat tersebut secara harfiah bermakna: ‘Hari ini aku, besok kamu’. Kalimat ini bersifat cukup sinis bagi orang yang memanfaatkan libur social distancing-nya untuk mendatangi keramaian.

Mengadakan social distancing memang sangat sulit, apalagi ditengah budaya yang semakin kompleks. Kita tak pernah bisa benar-benar lepas dari kebutuhan bersosial. Buktinya, sesederhana urusan membuang sampah saja, kita membutuhkan orang lain untuk mengangkutnya ke tempat pembuangan akhir. Ojek online yang membudaya juga telah memudahkan kita dalam pesan antar makanan, bukan? Urusan yang dulu dapat manusia lakukan sendiri, kini dibantu orang lain karena kompleksitas aktivitas manusia.

Kompleksitas tersebut saya anggap mampu menguatkan argumen saya bahwa virus ini telah berkembang di waktu yang salah. Manusia kian sulit menjaga jarak untuk sementara waktu disaat hal tersebut sangat perlu dilakukan. Perkembangan kebudayaan yang pesat telah mempersempit celah kegiatan social distancing di masyarakat.

Perlu diakui, manusia mengalami perkembangan kebudayaan yang cukup pesat. Generasi yang awalnya hanya berburu dan mengumpulkan makanan, tergeser oleh generasi bercocok tanam. Manusia purba awalnya hanya mengalami tantangan kelaparan saat mereka tidak mendapatkan hewan buruan. Namun, budaya setelah masa itu, agrikultur, justru memanjangkan harapan hidup manusia pada generasi tersebut.

Harapan hidup yang tinggi akan memukul angka kematian kelompok. Bersamaan dengan hal tersebut, angka kelahiran akan naik. Kelompok dahulu hanya beberapa keluarga saja, dengan adanya budaya agrikultur, jumlahnya akan semakin berkembang. Kebutuhan hidupnya semakin terjamin, mereka mendapatkan hasil panen lebih menjanjikan daripada mengandalkan perburuan yang hasilnya tidak pasti.

Agrikultur mengakibatkan peradaban manusia semakin berkembang pesat. Budaya ini memberi kebiasaan hidup yang sama sekali baru. Manusia beralih dari kebiasaan tinggal nomaden, ke kebiasaan tinggal menetap untuk bertani dan berladang. Jared Diamond, dalam bukunya yang bertajuk Bedil, Kuman dan Baja (2017) meyakini bahwa agrikultur menjaga kelangsungan populasi manusia yang jauh lebih padat daripada gaya hidup berburu, mengumpulkan rata-rata 10 sampai 100 kali lipat.

Demikian yang terjadi pada sejarah umat manusia. Jumlah manusia semakin berkembang pesat dengan kebudayaan tinggal menetap di suatu daerah tertentu. Maka, tidak mengherankan bila manusia kini tinggal berdesakan, berkonflik karena perebutan tanah, dan berebut sumberdaya alam di wilayahnya. Resiko paling berbahaya dari perkembangan manusia yang berkerumun adalah datangnya wabah penyakit.

Sejarah manusia mencatat banyak wabah yang telah meruntuhkan peradaban. Kemenangan Pizarro beserta 168 prajuritnya melawan pasukan Inka yang 500 kali lipat lebih banyak, bukan hanya karena mereka memiliki senapan saja. Pertempuran yang nahas pada tahun 1531 di pesisir Peru tersebut dibebani pula dengan wabah cacar air dan perang saudara. Wabah cacar air Inka menewaskan sebagian besar penduduknya, termasuk kaisar Huayna Capac dan penerus tahtanya.

Separuh populasi Aztec, pada tahun 1520, juga meninggal akibat wabah cacar yang dibawa pasukan Spanyol. Kedatangan pasukan Spanyol membawa wabah dari Eropa yang belum pernah dihadapi oleh suku Aztec. Tentu, sang pembawa wabah tidak akan terinfeksi karena tubuh mereka sudah memiliki imunitas terhadap penyakit tersebut. Di sisi lain, kerumunan asing mengenai penyakit tersebut akan terserang wabah dan meninggal.

Sejarah telah membuktikan bahwa umat manusia telah menghadapi banyak pandemi dan berdamai dengan pandemi tersebut. Maka, tidak mengherankan jika Covid-19 menjadi pandemi yang menyerang seluruh wilayah. Tubuh semua manusia asing terhadap virus tersebut seperti asingnya suku Aztec terhadap cacar dari Eropa. Imun manusia belum pernah menghadapi virus ini. Ditambah lagi, budaya tinggal berkerumun yang tak bisa dihindari semakin membuka lebar pintu penyebaran penyakit.

Semua orang berharap Covid-19 tidak pernah ada. Namun, saya berharap Covid-19 harusnya datang saat generasi berburu mengumpulkan masih hidup. Itu artinya, tanpa social distancing ataupun lockdown, penyakit tersebut hanya akan menyerang sedikit manusia saja karena manusia kala itu hidup berpencar. Setelah itu, manusia akan memahami penyakit ini dan lebih berhati-hati.

Harapan saya memang harapan kosong yang tak mungkin terjadi. Mau seperti apa pun kondisinya, Covid-19 telah datang dan harus dihadapi. Mau sekeras apa pun usahanya, manusia tetap akan hidup berkerumun dan bersosial seperti kebiasaan nenek moyang sejak ribuan tahun lalu. Pandemi yang pernah menyerang peradaban manusia harusnya jadi pelajaran berharga agar hidup lebih sehat. Mengulang kesalahan nenek moyang sama saja dengan melestarikan kesalahan tersebut.

Maka, kontribusi yang dapat dilakukan manusia untuk menangani permasalahan ini hanya dengan hidup sehat di lingkungan kerumunan. Memenuhi kebutuhan nutrisi dengan baik dan berolahraga secara cukup, dan banyak berdoa untuk keselamatan masing-masing individu untuk mencegah penyebaran penyakit adalah cara-cara dasar yang seharusnya dari dulu kita lakukan.

Covid-19 memang datang sangat terlambat. Namun, seperti halnya seseorang yang datang terlambat dalam sebuah lingkaran kerumunan, sudah seyogianya kita tetap bergeser agar orang tersebut mendapatkan tempat yang menjadi haknya. Biarlah Covid-19 menempati tempatnya, bersama cacar, malaria, difteri, pes, dan pandemi lain. Kita hanya perlu menunggu waktu dan menyesuaikan diri agar hidup lebih sehat dan bahagia tanpa harus mengusik pandemi yang telah manusia alami. Yok, bisa yok!

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment