Kholid Yahya
Seorang Santri
Waktu beranjak menuju pukul 7 pagi, hari Senin. Hari yang menyebalkan. Hari yang membuat anak SMA seperti Alina harus kembali ke sekolahnya. Upacara hari Senin sudah dipersiapkan. Petugas sudah lalu-lalang di halaman sekolah yang cukup luas dan sedikit terik.
Alina datang dengan sepeda motor kesayangannya, Honda Astrea Grand keluaran tahun 1991. Setelah diparkirnya, dia tak langsung menuju kelas. Ada sesuatu yang harus dibelinya di koperasi sekolah; sebuah dasi dan topi. Karena jika tak memakai kedua atribut itu, hukuman atau teguran dari guru bagian kesiswaan sudah menanti.
Dia berjalan sendiri ke arah kantin, berjalan dengan santai tapi tenang. Di antara begitu banyak siswa yang berpapasan dengannya, tidak ada yang menyapa bahkan meliriknya. Entah pura-pura tak kenal atau kehadirannya dianggap tidak ada.
Upacara selesai dan bubar, siswa kembali ke kelas masing-masing. Begitupun dengan Alina. Dia kembali ke bangkunya, sendirian. Bangku sebelahnya tampak kosong. Bangku itu hanya terisi jika ada temannya yang terlambat atau tidak kebagian kursi.
Sembari menunggu guru datang ke kelas, seperti biasa, tingkah yang random khas kelas XII-IPS sudah menjadi hal wajar yang bisa disaksikan. Mulai dari majelis ghibah, pacaran di pojokan kelas, main gim bareng, sampai ada yang mempersiapkan tidur.
Namun, Alina berbeda. Kerjaannya di kelas hanya seputar mengerjakan tugas, mendengarkan musik, bermain HP, dan sesekali tidur. Hampir tidak ada interaksi sosial dengan sesama. Setiap hari terasa sangat membosankan, monoton, dan menyesakkan.
***
Alina bukan tanpa usaha untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial dan sekolahnya. Dulu, dia sempat bergabung dengan kelompok ekstrakulikuler karya ilmiah remaja di sekolahnya, namun akhirnya ia diabaikan dan mereka membuat grup (chat) baru tanpanya. Dia tahu tatkala teman-teman KIR-nya mengadakan rapat mingguan seperti biasanya, tapi anehnya, grup WA-nya sepi seperti tak berpenghuni.
Bukan SMA jika tak mengadakan acara khas remaja. Entah itu pentas seni, classmeeting, atau semacamnya. Di acara-acara tersebut, Alina seperti terpaksa berada di dekat teman-teman kelasnya agar tidak tampak terlalu menyedihkan. Padahal, dia sama sekali tidak mengobrol dengan mereka. Kalaupun ada sesi foto bersama, dia selalu sembunyi atau menghilang sekalian.
Kehidupan sekolahnya cukup menyedihkan memang, dia merasa semua teman-temannya palsu. Dia terpaksa berhubungan dengan mereka saat ada tugas saja. Begitu pun sebaliknya dengan teman-temannya, mereka ada saat ada kepentingan belaka.
****
Jam di dinding kelas yang diapit foto presiden dan wakil presiden itu menunjukkan tepat pukul 15.00. Waktunya pulang. Mayoritas siswa bergerak menuju tempat parkir sekolah, begitu pun dengan Alina. Dia berjalan sendiri, tanpa tengok kanan-kiri, toh juga tidak ada yang mengenali. Sepeda motor kesayangan pun dikendarai dengan santai menuju kediamannya.
Setelah dirasa sangat capai setelah seharian beraktivitas di sekolahnya, Alina merebahkan tubuhnya di kasur warisan neneknya. Diambillah gawai satu-satunya, berharap ada sesuatu yang baru. Namun tetap saja, semua notifikasi media sosialnya hanya berasal dari grup sekolah, kelas ataupun operator provider yang seakan terpaksa menjalankan tugasnya.
Kehidupan dunia mayanya pun tak jauh berbeda. Tidak ada chat basa-basi dengan teman, sahabat, apalagi pacar. Diksi ‘pacar’ atau ‘berpacaran’ tidak ada dalam kamusnya, bahkan didekati makhluk berjenis laki-laki pun tidak pernah.
****
Malam pun menghembuskan udara dinginnya. Bulan sabit dan suara jangkrik menjadi penyedapnya. Sementara Alina masih rebahan dan menyepi sendirian di bilik kamarnya. Kegiatan favoritnya yakni meratapi kesepiannya, sesekali ia merasa sesak sekali, dilanjutkan dengan menangis dalam diam hingga tertidur lelap.
Cerita kehidupannya memang hampa, merasa tidak berguna, sering putus asa, dan sesekali ingin menghilang saja. Teman terbaik baginya saat ini hanya air mata yang keluar tanpa sebab. Sampai lupa bagaimana rasanya punya teman, benar-benar teman, bukan teman musiman.
****
Hari sudah beganti, Selasa menjadi namanya. Pagi pun sudah datang sebagaimana mestinya. Menjadi penanda Alina akan berangkat sekolah. Setelah menyiapkan semuanya, ia berangkat sekolah seperti biasanya, bersekolah seperti biasanya, melakukan semuanya seperti biasanya. Tak ada perubahan yang berarti setiap harinya. Jika kata orang hidup seperti roda yang berputar, mungkin roda Alina berhenti berputar.
Sepulang sekolah, Alina ingin sesuatu yang baru, menyalurkan hobi barunya, menggebuk drum dengan iringan lagu heavy metal kesukaannya. Di samping dia suka dengan lagunya, lagu metal dapat menjadi pelarian dari kesedihan dan kesepiannya, begitulah kira-kira yang ia rasakan.
Setalah berputar-putar mengeliling kota mencari studio musik, tibalah ia di sebuah studio musik yang kecil, usang, dan hampir bangkrut. Setelah tiba dan membayar sejumlah uang kepada penjaganya, ternyata di dalam studio masih dipakai oleh seorang pria. Seseorang itu memainkan drum dengan cukup lihai dan sepertinya memainkan salah satu lagu dari Dream Theater, Panic Attack.
Alina terpaksa menunggu, di luar studio, sendiri. Lagi-lagi hanya telepon pintarnya yang bisa menemani. Satu jam sudah Alina menunggu, akhirnya pemuda itu keluar dengan tas ransel di pundaknya. Tanpa berlama-lama lagi, karena tangannya sudah gatal untuk menghajar drum, Alina memainkan drum dari lagu metal kesukaannya, dari Motorhead sampai Metallica.
Setelah dirasa puas dan capai, ia keluar studio dengan perasaan gembira. Melangkah keluar dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Ia kemudian duduk dikursi kayu depan studio, sekadar meregangkan otot dan menghilangkan capai yang melanda tubuhnya, namun ternyata di sana masih ada laki-laki tadi yang juga sedang duduk-duduk santai sambil memainkan gawainya. Melihat ada Alina yang duduk di sebelahnya, tiba-tiba ia menjulurkan tangannya, aba-aba mengajak kenalan.
“Rayhan, kamu?” Kata Rayhan.
“Alina.” Jawab Alina seraya bersalaman dengan Rayhan dengan gerakan yang kaku.
“Ke sini sendiri saja? Kenapa?”
“Tidak apa-apa, hanya tidak ada teman yang bisa diajak. Kamu sendiri?”
“Ya, saya sudah terbiasa ke mana-mana sendiri. Jika saya sangat ingin ke suatu tempat, saya akan pergi sendiri dan mencari lokasi tempat itu.”
“Kenapa senang ke mana-mana sendiri?”
“Saya sebenarnya tidak ingin ke mana-mana. Bahkan sekadar jalan-jalan ke taman kota. Bukan karena saya tidak mau, tapi tidak ada yang menemani saya.”
“Kamu tidak punya teman?”
“Bisa jadi. Ketika saya membutuhkan teman atau ingin ditemani ke suatu tempat, tidak ada orang yang bersedia menemani saya. Tapi, ketika mereka meminta tolong untuk ditemani ke suatu tempat, saya langsung menemaninya tanpa menolak dengan alasan apapun, atau lebih ke nggak enak nolaknya.”
“Tapi, kamu tidak kesepian?”
“Entahlah, akhir-akhir ini saya sering menghalukan sesuatu atau bicara pada diri sendiri.”
“Tapi, apakah kehidupan dunia mayamu juga sama?”
“Ya. Sebagai contoh, WhatsApp saya isinya chat dari grup semua. Tidak ada teman ataupun kontak WA saya yang chat. Pun kalaupun ada chat, sudah bisa dipastikan orang tersebut sedang butuh saya. Entah yang berkaitan dengan tugas kelompok, minta tolong, atau hanya singgah lalu diakhiri dengan kalimat ‘ok’, ‘iya’, ‘emotikon’, ‘makasih’, dan kalimat semacamnya. Jika telepon saya berdering, sudah pasti yang menelpon adalah Ibu saya, tidak ada orang lain yang menelpon kecuali Ibu saya.”
“Jadi, apa yang kamu rasakan saat ini?”
“Saya rasa tidak ada orang yang peduli padaku. Seumur hidup saya tidak punya sahabat. Ya begitulah.”
Drrrtt….Drrrttt….
Tiba-tiba handphone Rayhan bergetar dan membunyikan nada deringnya. Tampak layarnya memunculkan telepon masuk. ‘Ibu’ yang menjadi nama kontaknya.
“Sebentar ya, biasa, kayaknya dia lagi bertengkar sama Ayah.” Ujar Rayhan seraya meninggalkan tempat duduknya dan Alina.
Alina lalu meninggalkan studio itu. Meninggalkan Rayhan, ‘teman singkatnya’, sendirian dan pulang kembali ke rumahnya. Semua kembali ke dunianya masing-masing, dunia yang kurang bersahabat untuk Alina dan Rayhan. Sepertinya, dunia tidak seseru dan seramai dengan apa yang mereka pikirkan.
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.