PUCUKMERA – Dibalik jendela berembun. Duduk perempuan dengan jemari menggenggam selembar kertas biru. Tersemat nama di ujung kertas itu, Cakra.
“…Akan selalu kuingat pesanmu, biarkan DIA menggenggam hati kita dalam ridhaNYA. Aku pamit, berdoalah dan bersabarlah.”
***
Mengingat kembali setiap detik tentang pertemuan, ternyata memanglah berat. Wala, begitulah Ia kerap disapa. Seperti sedikit sesak jika Ia mengingat telah memecut hatinya untuk merelakan seseorang yang Ia ingini sebagai pendamping hidup di dunia dan se-syurganya.
Masih sangat jelas, bagaimana Maret hingga Oktober mengumpulkan serangkaian prasasti memori bersamanya. Hingga surat itu sampai padanya.
***
“Wala, masih dimana? Hari ini kamu ingat kalau harus menghadiri acara ‘Diskusi Sosial-Politik Era Millenial’ kan?.” Sebaris pesan WhatsApp muncul di ponsel Wala, dengan nama pengirim Cakra. Tak menunggu lama, Ia balas pesan itu.
“Hampir lupa, makasih sudah diingatkan. Hehe.”
“Dasar tukang lupa. Jam 5 sore di depan kampus, aku jemput.”
“Eh, sekarang masih ada pertemuan Mahasiswa Jurnalis.”
“Iya gapapa. Selesaikan aja dulu.”
Selesai pertemuan Mahasiswa Jurnalis, Wala langsung menuju depan kampus. Menyalakan ponselnya, melihat jam tertera, pukul 16.57. tiga menit lagi Cakra sampai, pikirnya.
Benar saja, tak lama kemudian Cakra datang dengan mengendarai sepeda motor. Kedua makhluk bumi itupun bersama menyusuri jalanan sore yang sedikit macet oleh banyaknya pengendara motor. Wala tak mengomel, sudah terbiasa. Ia malah asyik menikmati jingga di langit barat yang semakin merona menutup hari. Cakra masih fokus menyetir sepeda motor yang jok belakangnya dihuni oleh Wala.
“Setelah ini mau lanjut kemana?” Suara Cakra memecah keheningan.
“Aku? Hmm mungkin nikah. Hahaha.”
“Sama siapa?”
“Bercanda. Belum tau, Cakra. Kamu?”
“Lanjut S2, mungkin. Mau ikut?”
“Kamu aja deh, hehe.”
Dalam diam Cakra terus mengingat kalimat Wala tentang ‘setelah lulus mau menikah’. Kalimat itu seakan seperti playlist musik yang diputar berulang-ulang. Tak bisa berhenti.
Sepulang dari acara ‘Diskusi Sosial-Politik Era Millenial’, Cakra membanting tubuhnya di atas kasur kamar kos berukuran 3×3 m. Ia lempar tasnya ke sembarang arah, mengambil ponsel dan melihat beberapa pesan masuk. Ada satu pesan yang mengharuskannya untuk membaca dan membalas. Ayah.
“Setelah wisuda, pulang ke Lampung. Cari kerja di Lampung atau lanjut S2. Sama kakakmu disuruh daftar S2 Teknik Sipil di Belanda.”
Pesan singkat dari ayah membuat Cakra semakin gundah. Niatnya untuk mengikat hati pada seorang gadis yang dicintainya semakin jauh tergapai. Dai membalas singkat pesan itu.
“InsyaaAllah, Yah.”
Cakra sangat tahu, perempuan tak bisa menunggu dalam ketidakjelasan dan ketidakpastian. Namun, titah Ibu dan Ayah juga tak mampu Ia bantah. Semakin larut membuatnya tak bisa tidur. Ia jengkel, lalu mengirim pesan pada sebuah nama. Wala.
“Target nikahmu kapan?” Lama tak mendapat balasan, Cakra mengira, Wala sudah tidur.
“Belum ada. Kenapa?” Ternyata wala masih terbangun.
“Gapapa. Udah kepingin nikah?”
“Kalau ada yang cocok.”
Wala terdiam, meneteskan bulir sucinya. Semakin deras. Seandainya saat ini Ia bisa mengatakan bagaimana hatinya bergejolak saat Cakra menanyakan hal itu. Sudah lama Wala menaruh hati pada Cakra.
Wala selalu mengingat bagaimana Cakra begitu memikat ketika sedang berbicara atau hanya sebatas memandang saja. Tentang kebaikannya pada Wala. Tentang lucunya. Tentang bagaimana Cakra sangat menyebalkan. Tentang bagaimana Cakra sangat mampu menenangkan Wala. Dan tentang sejuta tentang Cakra terhadap Wala.
Wala menyimpannya, dan Cakra pun tahu. Keadaan yang memaksa mereka untuk diam. Membungkam segala perasaan dalam-dalam.
Cakra beranjak, mengambil wudhu kemudia mendirikan shalat qiyamul lail. Dalam sujud Ia berdo’a. Agar hatinya senantiasa dibimbing olehNYA. Agar pengharapannya tak mematahkan hati siapa saja.
Wala menyeka segala tangis. Membasuhnya dengan air wudhu. Mendirikan shalat qiyamul lail. Dalam sujud Ia berdo’a, agar senantiasa diberikan yang terbaik. Agar hatinya senantiasa bersabar. Agar inginnya adalah kebaikan bagi siapa saja.
Malam berlalu singkat. Cakra malas berangkat. Padahal hari ini Ia harus presentasi Laporan Pertanggungjawaban tentang Kunjungan Industri pada Dosen Pembimbing. Sebenarnya Ia tak wajib mempresentasikan, karena dia sebagai mahasiswa pendamping. Namun ketua kelompok tidak bisa hadir karena sakit, jadi Cakra harus datang presentasi.
Tidak memerlukan waktu lama, seperti biasa, Cakra selalu mampu menjelaskan dengan rincian yang gamblang dan mudah dimengerti. Dosen-dosen selalu memuji bagaimana Cakra mampu memahamkan orang lain tentang mata kuliah yang dipelajarinya. Singkat, tepat, sesuai porsi, dan akurat.
Seusai presentasi, Cakra duduk di bangku kantin pojok yang berada di luar ruangan. Ponselnya berbunyi, panggilan masuk. Ibu.
“Assalamu’alaykum, Bu.” Cakra menjawab.
“Wa’alaykumussalam, Nak. Sekarang dimana? Sama abangmu dicarikan kampus jurusan Teknik Sipil di Belanda. Langsung daftar ya, Nak.”
“Di kampus, Bu. insyaaAllah.” Jawabnya singkat.
“Ibu ingin yang terbaik untukmu, Nak. Jangan mikir yang lain. Fokus S2, lalu kerja ya.”
Cakra meloncat dari bangku tempatnya duduk. Ingin dia meninju tembok sebelahnya, tapi urung, karena tahu hal itu tak menyelesaikan masalah. Bergegas mencari nama Wala di ponselnya. Mengiriminya pesan.
“Dimana? Mau ngomong.” Kali ini Wala segera membalas.
“Teras Fakultas. Nunggu sore.” Jawabnya.
“Ba’da maghrib boleh ketemu?”
“Sekarang aja. Mau ngomong apa?”
“baiklah. Aku jemput. Ada.”
“Oke.”
Wala menelan ludah. Takut akan apa yang terjadi setelah ini. Ia membuka tas, mengecek apakah obatnya sudah dibawa. Sudah. Mengambil nafas pelan sambil berbicara dalam hati, semua akan baik-baik saja.
Cakra tiba, melambaikan tangan pada Wala. Wala menyahutnya. Seperti tak terjadi apa-apa, dia tersenyum. Menghampiri Cakra.
“Kita ngobrol dimana?” tanya Wala
“Ayok berangkat.”
Cakra dan Wala duduk di pinggir sawah pinggiran kota. Terhampar luas area sawah dan jauh dari bising lalu lalang. Matahari bulat penuh jingga keemasan, disertai jingga kemerahan di sekelilingnya. Bayangannya tertangkap petak-petak sawah yang berisi genangan air.
Wala membuka suara.
“Mau sampai kapan diamnya?”
“Sekarang. Aku mau tanya.”
“Apa?”
“Apa yang kamu rasakan Wala?”
“Saat ini? Tentang apa? Hmm maksudnya?”
Diam sejenak.
“Tentang aku.”
“Kamu? Hmm gimana ya.”
Wala hampir tak kuasa. Tangannya dingin. Matanya membendung kucuran yang siap jatuh. Jantungnya sudah hampir meloncat dari posisinya. Ia merogoh tas, menggenggam obatnya, kalau kalau tiba-tiba sesaknya kambuh. Namun mulutnya diam. Bisu. Bungkam.
“Perasaanmu ke aku, Wala. Aku mungkin salah, tapi yang kurasakan ialah kamu sedikit menyimpan rasa itu ke aku. Tolong jawab jujur.”
Tumpah. Buliran itu tak mampu wala bendung. Cepat-cepat Ia mengusap.
“Sebentar.” Ia menjawab lirih.
“Iya Wala, maaf..” cakra kebingungan.
“Kamu mungkin sudah tahu tanpa aku harus menjelaskan Cakra. perasaan ini tumbuh tanpa aku pinta. Aku juga tak tahu alasan apa yang menyebabkan perasaan ini lahir dan berkembang pesat. Maaf Cakra.”
“Maafkan aku, wala. Jika aku membuatmu menunggu lama. Dan mungkin akan lebih lama. Ibu, Ayah, dan Abangku ingin aku melanjutkan studi S2 di Belanda. Lalu setelahnya, aku harus bekerja. Dan kamu? Entah kapan. Maafkan aku, Wala.”
Dengan parau Cakra mengakhiri kalimat itu.
“Lalu maumu bagaimana?”
“Aku bingung Wala. Aku juga tidak tahu.”
Wala mengambil nafas. Memandang lurus matahari bulat. Menegarkan hati. Menguatkan diri.
“Aku yang kedua, Cakra. Ibumu tetaplah yang pertama dan utama untukmu. Mungkin akulah senja itu, tapi ibumu mataharinya. Meski kadang tertutup awan, matahari tetaplah yang menyebabkan senja indah. Dan kamu langitnya. Tempat matahari dan senja bersama. Meluapkan rasa.”
Wala terdiam, menata hati.
“Wala, jika aku langit, bagaimana aku mampu memilih antara matahari dan senja?”
“Kamu tak perlu memilih, Cakra. kamu hanya perlu menyatukannya.”
Cakra menahan semuanya. Menyimak setiap kata yang keluar dari Wala.
Wala menyimpan sesak dan tangis. Semua sudah dia pasrahkan. Apapun yang terjadi, Wala sudah pasrah.
Hari pun berlalu. Senja tetaplah indah. Wala tak bisa menahan diri untuk menuliskan sebaris pesan untuk Cakra.
Cakra, teruslah berlari, teruslah mendaki. Tak usah kamu hiraukan aku. Jika aku takdirmu, sejauh apapun kamu berlari, setinggi apapun kamu mendaki, kamu akan kembali padaku. Biarkan DIA menggenggam hati kita dalam ridhaNYA.
-Wala-
Cakra menerima sebaris surat itu. Membacanya cermat. Membulatkan tekad. Meraih pena dan secarik kertas. Membalas surat itu.
Baiklah, akan kuturuti semua pintamu. Akan kujejalkan otakku pada dedaun hutan atau reranting rimba. Akan ku ringsekkan tubuhku pada serak dunia. Tapi ketahuilah, jangan sekalipun di ingat dan di rumah hatimu kamu ganti aku dengan penghuni baru. Itu sudah milikku, aku yang berhak atas kunci pintu. Aku akan menjemputmu.
Akan selalu kuingat pesanmu, biarkan DIA menggenggam hati kita dalam ridhaNYA. Aku pamit, berdo’alah dan bersabarlah.
-Cakra-
***
Wala terdiam, tergugu. Menjawab pelan dan lirih. insyaaAllah.
Oleh : Sary Nur Handayani
Illustrator : Ifan
2 Comments
Escactaps
Should we be concerned [url=https://fastpriligy.top/]priligy cost[/url] 2002; Mulders et al
can you buy cheap cytotec without prescription
Selective reporting reporting bias Low risk Every outcome proposed in the methods was explored where can i get cytotec for sale The activation of ERОІ by LY500307 promotes the secretion of IL 1ОІ and enhance the infiltration of neutrophils in cancer tissue, which inhibits the tumor progress and lung metastasis 123