Bare Kingkin Kinamu
Pemeriksa BPK RI Perwakilan Provinsi Maluku Utara
“Selamat hari bumi!” celetuk teman saya ketika kami sedang menikmati pagi di Pelabuhan Semut Mangga Dua Ternate, 22 April 2020. Langit cerah, biru. Awan menghiasi langit Maluku Utara dengan indahnya. Ada dua kemungkinan, apakah kondisi seperti ini akan setiap hari menghiasai langit Ternate ataukah terjadi hanya saat pembatasan keluar rumah untuk menghentikan penyebaran wabah virus korona (Covid-19)?
Provinsi Maluku Utara berbeda, tepatnya di Ternate, hampir setiap hari saya menikmati pemandangan ini jauh sebelum ada wabah korona menyebar. Di Ternate meski cukup padat penduduknya jika dibandingkan dengan pulau lain di Maluku Utara, kota ini cukup terjaga dari polusi yang meruah. Sebanyak-banyaknya populasi penduduk di Ternate, tidak ada sepertiga dari populasi di Jakarta. Untuk berkeliling satu pulau pun hanya dibutuhkan waktu 1 jam.
Sejak diberlakukannya work from home dan social distancing di Kota Ternate, bumi di tanah cengkeh ini semakin menakjubkan.
Kami berlari-lari kecil mengelilingi pelabuhan, mendengarkan burung bercuit, dan menikmati alunan musik melalui earphone yang kami kenakan. Dengan menghirup udara yang segar menumbuhkan rasa syukur dan takjub akan Indonesia Timur.
Apakah hal yang sama juga terjadi di ibu kota Indonesia? Polusi udara di Jakarta membuat bumi murung melalui awan kelabu yang berkelayut di Jakarta, meski cuaca cerah beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 2018, data yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Direktorat Pengendalian Pencemaran Udara, menyebutkan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Jakarta Pusat mencapai 100, artinya pencemaran udara berada di level sedang. Meskipun mencapai nilai sedang, nilai ISPU di tahun 2018 perlu diwaspadai karena akan mencapai titik membahayakan. Ketika indeks melewati 100, udara tersebut tidak bagus untuk paru-paru. Di tahun 2019, menurut data dari Air Visual Jakarta menduduki kota ketiga di dunia dengan polusi udara tertinggi setelah India, Lahore, dan Pakistan.
Kita perlu bercermin dalam kondisi seperti ini. Ketika pemerintah sedang mencegah penyebaran virus korona (Covid-19) nilai ISPU menurun. Selain itu secara visual langit Jakarta menjadi cerah, biru langitnya membuat tentram.
Tidak hanya di Jakarta saja yang merasakan keindahan bumi dan polusi udara yang turun, di India dan Amerika juga mengalami penurunan tingkat polusi udara. Selain itu, visual yang tak kalah cantik juga sempat diunduh oleh beberapa masyarakat di Indonesia. Puncak Himalaya setelah bertahun-tahun dari India tidak pernah terlihat, akhirnya terlihat juga.
Ada kedamaian yang didapat bumi. Ia berbenah dan menyembuhkan diri dari hiruk-pikuk bahan-bahan kimia yang digunakan manusia di keseharian, seperti asap knalpot. Di hari bumi ini, sudah semestinya manusia bercermin kepada diri sendiri. Apa yang telah dilakukan selama ini untuk kelangsungan jangka panjang bumi?
Masih dengan kesibukan menghentikan penyebaran Covid-19, apakah orang-orang lupa dengan apa yang dilakukannya terhadap bumi? Banyak peneliti telah mengemukakan apa yang terjadi pada bumi di masa depan jika manusia terus menerus dengan cepat membuat polusi udara, menggunakan gas emisi rumah kaca, dan melakukan pencemaran lingkungan.
Di tengah wabah Covid-19, orang-orang tidak keluar rumah sebanyak biasanya menggunakan kendaraan, nyatanya memiliki dampak yang terlihat di bumi. Jakarta memiliki langit biru bersih, puncak Himalaya terlihat dari jarak 200 km-an.
Sejenak manusia perlu merenungkan, kebijakan yang kolektif untuk memperlakukan bumi dengan baik. Jika ditumpuk sedikit demi sedikit penggunakaan bahan-bahan yang menghasilkan karbon dioksida dilakukan jangka panjang, tentu suatu kali bumi akan menampakkan sakitnya pelan-pelan. Perubahan iklim merupakan satu di antara banyak dampak besarnya untuk jangka panjang.
Pemanasan global tentu juga harus menjadi pertimbangan penting untuk selalu memperlakukan bumi dengan baik. Campur tangan manusia terhadap bumi adalah kunci utama untuk mencegah bumi tetap lestari.
“Selamat hari bumi juga!,” timpalku di pagi hari 22 April 2020 di Ternate. Dari tempat ini, puncak Kie Matubu di Tidore dan puncak Gamalama terlihat gagah. Dengan latar langit biru dan awan-awan di langit yang menghiasi, betapa indah bumi ini. Siang-malam-sore bumi tak berhenti bernafas, sama halnya manusia yang hidup.
Apakah manusia gampang melupa untuk selalu menjaga bumi dari hal-hal paling kecil sekali pun?
Pucukmera.ID – Sebagai media tempat anak-anak muda Indonesia untuk berkreasi dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu saja, Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu untuk mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id
2 Comments
Riani
Tuhan memiliki cara unik untuk memberaihkan bumi-Nya.
Mudah-mudahan, diperkenalkannya covid19 a.k.a virua corona, kita aku kamu mereka dan penduduk bumi lainnya lebih bisa aware bersyukur dan memjaga apa yanh sudah dikarunikan oleh Tuhan.
Stay safe, Kin
avirall
Memang berpengaruh banget covid19 dg bumi. The mother earth is healing. Gak cuman ngefek ke bumi, tp juga ke kemanusiaan. Aku liat makin banyak orang saling membantu, makin sedikit orang pamer2 makanan buka, dll.