Bukan Lagi Perubahan Iklim, Tapi Krisis Iklim, ya!

Irsyad Madjid
Redaktur Pucukmera.id


Beberapa waktu lalu, diadakan rapat redaksi Pucukmera. Sebabnya, ada satu kabar kurang menggembirakan; traffic pembaca opini di website agak menurun. Salah satu evaluasinya, topik yang diangkat pada rubrik opini dianggap kurang memiliki “nilai jual”. Akhirnya, kami mengeluarkan beberapa tema alternatif untuk mengembalikan pembaca Pucukmera. Misalnya, ulasan tentang series/film hit di Netflix, atau tulisan ringan soal hubungan, gaya hidup dan berbagai macam tema lain yang lebih “pop”. Isu lingkungan, ternyata tidak dinilai cukup menarik untuk dimasukkan sebagai top-list priority.

“Lingkungan, bukanlah suatu hal yang memiliki kalangan pembaca luas, Tum. Tingkat kesadaran orang terkait isu ini masih rendah.” seloroh Didin, sang pemred Pucukmera.

Kali ini, sebagai seorang environmental enthusiast, saya merasa tersinggung. Namun, saya juga mafhum. Bahkan, saya kemudian sempat berjanji agar tidak lagi serius membahas lingkungan, setidaknya pada tulisan saya di Pucukmera.

Namun, beberapa waktu yang lalu, saya iseng menonton video Mbak Andhyta F. Utami, yang akrab dipanggil Afu, di kanal Asumsi. Dalam video yang berjudul “Banjir Jakarta, Krisis Iklim dan Ekonomi Lingkungan”, Mbak Afu menjelaskan narasi soal perubahan iklim dan relasinya pada kehidupan manusia. Saya kemudian sepakat bahwa nampaknya istilah perubahan iklim itu adalah kejadian yang sudah lewat. Ibarat kenangan romantismu naik motor hujan-hujanan dengan mantan, sudah seharusnya ditinggalkan.

Sekarang, umat manusia sudah memasuki fase lanjut dari perubahan iklim, yakni krisis iklim. Sehingga, kondisi kritis ini tidak boleh lagi disikapi dengan kalimat pesimistis, “Yaudah sih, mau gimana lagi?”

Krisis iklim di depan mata

Untuk itu, edukasi terkait fenomena krisis Iklim perlahan harus terus dilakukan. Diawali dari pengertian sederhana terkait hal ini.

Singkatnya, krisis iklim adalah suatu kondisi yang dialami masyarakat di seluruh dunia, karena terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim sendiri dipicu oleh fenomena gas rumah kaca. Efek ini muncul sebagai akumulasi dari kegiatan manusia yang melepaskan banyak emisi ke udara.

Seperti yang kita tahu, mayoritas kegiatan manusia itu didominasi oleh residu aktivitas di sektor ekonomi. Contohnya, penebangan pohon, polusi kendaraan bermotor dan pembakaran sumber energi batubara. Imbasnya, suhu rata-rata bumi kian meningkat. Nah, suhu bumi yang semakin panas tentu menghasilkan konsekuensi negatif. Hampir sama ketika suhu hubunganmu dengan doi juga meningkat.

Misalnya, kekeringan parah yang melanda suatu tempat tertentu, namun anehnya, secara paradoks, ada curah hujan yang justru semakin tinggi di tempat yang lain. Begitu juga jika hubunganmu semakin panas, akan terjadi kekeringan kasih sayang di satu sisi dan intensitas hujan air mata di sisi yang lain. Wadidaw.

Sekarang, apa tandanya kalau bumi sedang mengalami krisis? Tahun 2009, Environmental Scientist J. Rockström dan W. Steffen mengajukan sembilan indikator sebagai batas kritis planet bumi. Di antaranya adalah: 1) perubahan iklim; (2) pengasaman air laut; (3) penipisan ozon di stratosfer; (4) batas aliran biogeokimia (siklus nitrogen dan fosfor); (5) penggunaan air bersih global; (6) perubahan pemanfaatan lahan; (7) hilangnya keanekaragaman hayati; (8) pelepasan aerosol ke atmosfer; dan (9) polusi kimia.

Oke, mungkin beberapa kalangan masih kurang familier dengan berbagai indikator itu. Namun, ada satu informasi kunci yang harus ditekankan; sudah tiga dari sembilan ambang batas yang telah terlewati. Di antaranya; perubahan iklim, keragaman hayati, dan campur tangan manusia dalam siklus nitrogen.

Dampaknya pun sudah sangat terasa. Pekan lalu contohnya, Environmentalist America, Billy Mckibben, menulis artikel di situs The New Yorker.com “On Climate Change, We’re Entirely out of Margin.” Isinya menjabarkan tentang oksimoron perubahan iklim. Fenomenanya, kekeringan hebat beberapa waktu lalu terjadi di wilayah Colorado, Amerika. Hal ini memicu terjadinya salah satu kebakaran terbesar dalam sejarah. Namun, di saat yang sama, curah hujan yang sangat tinggi sedang melanda wilayah Vietnam. 

Tidak harus saling mengorbankan

Semua tanda-tanda nyata yang ditampakkan oleh alam, nampaknya masih diabaikan oleh manusia. Persis seperti doi yang sering mengabaikan kode darimu.

Salah satu sebabnya, faktor ekonomi dianggap masih jauh lebih penting dibanding menaruh perhatian khusus pada keadaan alam. Nah, sejalan dengan ini, pemerintah juga kerap memberikan alasan dilematis serupa terkait lahirnya kebijakan kontra lingkungan hidup. Contoh kasusnya di Indonesia adalah pengesahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu —Sikat terus isunya, Sis. Semongko!

Padahal, ekonomi dan lingkungan itu bukan hubungan yang sifatnya trade-off. Artinya, masih possible untuk memperbaiki keadaan ekonomi sambil menjaga lingkungan. Economist perempuan terkenal dunia misalnya, Kate Raworth, menjelaskan teori soal ekonomi melingkar di bukunya berjudul Doughnut Economics: Seven Ways to Think like a 21st-Century Economist. Intinya, ada di persoalan efisiensi dan daur ulang.  Dalam konteks ini, Raworth mengambil contoh dari produksi telepon genggam. Setiap tahun, terdapat lebih dari 160 juta ponsel yang diproduksi di Eropa, namun hanya 6% yang dipakai kembali. Mayoritas 85% lainnya berakhir di tempat sampah. 

Terlebih, urusan soal mendaur ulang atau memulihkan sumber daya yang masih bisa terpakai, sudah terbukti menghasilkan keuntungan pada beberapa pihak. Salah satu contohnya adalah perusahaan konstruksi terkenal dunia, Caterpillar. Perusahaan ini berhasil meningkatkan laba kotor sekitar 50% tapi di saat yang sama juga sukses mengurangi penggunaan energi dan air sebesar 90%. Kuncinya ada di proses mendaur ulang suku cadang produknya.

Sayangnya, sistem ekonomi yang berlaku masih menjadikan profit sebagai “goal” utama. Bisa ditebak, jika suatu saat kegiatan daur ulang ternyata merubah neraca keuangan menjadi negatif, dengan segera perusahaan akan berbalik. Melihat situasi ini, ekonom dunia menyerukan ide soal Rethinking Economics. Salah satunya dengan memasukkan gagasan “Pertumbuhan Hijau”. Terpengaruh oleh hal ini, beberapa perusahaan paling inovatif akhirnya berpandangan: bahwa bisnis adalah soal berkontribusi pada dunia yang sedang krisis.

Pada perosalan yang sama, Kate Raworth juga menyerukan bahwa inilah saatnya untuk “turun landas”. Jika ekonomi diibaratkan pesawat terbang, sampai kapankah kita akan terus terbang untuk mengejar pertumbuhan demi pertumbuhan? Sebab, meminjam kata dari Epicurus, “Kekayaan, jika tidak dibuat batas-batasnya, adalah kemiskinan yang besar.”


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
1Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

2 Comments

  • Escactaps
    Posted November 10, 2024 at 4:51 pm 0Likes

    I have had one round of clomid 50mg and i ovulated on day 18 even though we done it before, on and after O we did not get pregnant so i m on second round now 100mg and omg priligy equivalent As a starting point the group determined the intended indications of primaquine Figure 4, a target product profile Figure 5 and common endpoints for infectivity, efficacy and safety studies Figure 6

  • binance sign up bonus
    Posted April 10, 2025 at 6:20 pm 0Likes

    Thanks for sharing. I read many of your blog posts, cool, your blog is very good.

Leave a comment