Budaya Patriarki dalam Kehidupan

Siti Sahala Tunnazwa


PUCUKMERA.ID — Walaupun kehidupan saat ini sudah modern, ternyata budaya patriarki masih eksis atau berkembang dalam kehidupan sosial. Di beberapa daerah di Indonesia sendiri, praktik patriarki masih dilakukan dengan mengatasnamakan adat, agama, dan aturan yang mana bagian terburuknya bisa disalahgunakan.

Patriarki adalah perilaku atau kebiasaan yang lahir dari manusia sejak kehidupan lampau dan secara turun temurun diwariskan ke anak cucunya. Maka dari itu, patriarki masih ada hingga detik ini karena budaya patriarki diwariskan melalui keluarga. Contohnya saja dari lingkup organisasi resmi hingga rumah tangga, perasaan dan eksistensi perempuan seakan tidak penting dan tersisihkan.

Sejak lampau, eksistensi perempuan sudah tersisihkan sedangkan laki-laki berada di prioritas. Di masa prasejarah nusantara, laki-laki keluar dari hunian untuk berburu agar bisa makan, sedangkan perempuan memiliki tugas merawat anak dan memasak hasil buruan.

Lalu, dalam masyarakat Hindu di zaman Vedric 1500 SM, perempuan tidak mendapatkan warisan suami maupun dari keluarganya. Selanjutnya di Indonesia saat masih dijajah oleh Belanda maupun Jepang, perempuan pada masa itu dijadikan budak seks tentara-tentara asing. Pendidikan juga dilarang untuk perempuan, apalagi perempuan yang bukan bangsawan.

Perilaku-perilaku tersebut akhirnya melahirkan pernyataan jika tugas perempuan hanya sebatas itu. Anggapan perempuan itu lemah dan butuh perlindungan juga membuat perempuan hanya bergerak di ranah domestik saja. Jelas itu sudah melanggar hak-hak yang harusnya dimiliki perempuan, hak-hak untuk berkembang, bersosial, bahkan pendidikan.

Patriarki adalah budaya yang menggambarkan sistem sosial yang mana laki-laki yang mengendalikan kekuasaan atas perempuan. Menurut Alfian Rokhmansyah (2013), laki-laki mempunyai peran sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya.

Dalam kehidupan yang sebenarnya pun para lelaki dianggap sebagai pemimpin dalam rumah tangganya dan pendamping bagi istrinya. Lelaki tersebut patut untuk dihargai, sedangkan perempuan dituntut agar selalu sempurna dalam mengurus urusan rumah sekaligus harus selalu siap menjaga emosional sang suami. Dalam budaya patriarki, sering kali ada konsekuensi jika istri tidak menjalannkan tugasnya. Seringkali konsekuensi tersebut dalam bentuk kekerasan verbal maupun kekerasan fisik.

Ketidakadilan gender ini sudah dialami oleh rata-rata perempuan dalam kehidupannya. Laki-laki selalu diuntungkan, sedangkan perempuan sering tidak diuntungkan. Dari ruang lingkup rumah tangga, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, sains, teknologi, bahkan matematika pun perempuan mengalami diskriminasi. Contohnya, dalam lingkup pekerjaan ada kesenjangan gender dalam bentuk gaji, di mana gaji karyawan perempuan lebih rendah dibandingkan dengan gaji karyawan laki-laki.

Banyak kasus di mana dalam rumah tangga, sikap sang ibu selalu condong lebih perhatian kepada anak laki-laki daripada anak perempuannya. Sang ibu berpikir anak berjenis kelamin laki-laki di masa depan akan diharapkan menjadi pemimpin keluarga dan membawa derajat keluarga lebih tinggi. Pelaku patriarki itu tidak memandang jenis kelamin, tetapi mentalitas individu tersebut. Jadi bisa saja perempuan mendukung patriarkis, ada perempuan yang memegang kepercayaan bahwa peran perempuan itu hanya sebagai penunjang suami. Pola ini akan terus berulang jika tidak ada yang memutus rantai budaya patriarki dalam keluarganya.

Karena budaya patriarki, perempuan dianggap lemah dan laki-laki dianggap lebih kuat dan berkuasa. Pemikiran tersebut menjadi landasan yang memudahkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Bahkan di Indonesia, perempuan yang mengalami tindakan kekerasan malah disalahkan atas kekerasan yang dialaminya. Korban ditempatkan seburuk dengan kejahatan yang dilakukan pelaku.

Banyak kasus yang terjadi di Indonesia, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, perikahan dini, dan perceraian. Angka pernikahan dini di Indonesia di akhir 2022 ini ada sekitar 14,57% perempuan yang di bawah umur 16 tahun sudah menikah dan juga putus sekolah. Ada prediksi bahwa di 2030 angka pernikahan dini di Indonesia akan terus meningkat. Sedangkan angka perceraian di Indonesia adalah 516.334 kasus pada 2022 dan sebagian besar pihak penggugat berasal dari perempuan.

Itulah fakta-fakta praktik budaya patriarki di kehidupan modern, khususnya di Indonesia. Jika kamu merasa penganut patriarki, segera ubah pandangan kamu dan jika kamu korban patriarki, segera suarakan hak-hak kamu.


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka2Banget
Show CommentsClose Comments

5778 Comments